Menu
Menu

Setelah Flores Writers Festival kita pulang. Ke Osaka barangkali: sebuah situasi yang menyenangkan. Kita akan berkereta ke sana. Siapa yang mendengar debar cemas dari dada setiap penumpang?


Oleh: Armin Bell |

Kurator Flores Writers Festival. Bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng.


Flores Writers Festival (FWF) yang pertama telah selesai. 2 sampai 4 September 2021. Penulis dan pembaca yang terlibat sudah kembali ke rumah mereka, memeluk orang-orang terkasih. LO juga begitu; melanjutkan percakapan dengan peserta FWF yang mereka temani selama beberapa hari. Di ruang yang lain sama sekali: dari tatap muka ke baku lihat muka di media sosial dan baku doa dalam hati—bisa bilang cie cie cieee di sini, Dodo. Indah sekali.

Panitia masih sibuk beres-beres. Ada ratusan lembar laporan yang harus lekas kelar. Saya kembali buka laptop dan menulis lagi. Ruteng hujan. Sesuatu yang kami khawatirkan akan menghambat jalannya festival itu datang setelah seluruh gelaran. Dan, rumah menjadi tempat paling aman. Tidak boleh ada yang kena flu dan batuk atau kita akan diserang rasa tidak aman sebab baru saja kumpul-kumpul di tengah pandemi.

Ah, iya. Melaksanakan festival secara tatap muka di tengah pandemi, apakah tidak berbahaya? Itu adalah pertanyaan yang kerap muncul selama festival ini berlangsung.

Kegiatan ini digelar dengan mematuhi protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 adalah jawaban paling aman. Sebab memang demikian. Peserta dari kota-kota yang jauh telah melakukan rapid test antigen atau SWAB PCR di tempat mereka masing-masing. Di Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai tempat kegiatan ini digelar, semua yang terlibat juga menjalani tes serupa. Izin Satgas Covid-19 Kabupaten Manggarai sudah dikantongi, Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai stand by di lokasi (peserta harus di-rapid test antigen sekali lagi sebelum mengikuti kegiatan pembukaan), masker dan hand sanitizer disiapkan di setiap sudut, dan lain-lain, dan lain sebagainya.

Tetapi jawaban paling aman itu tentu tidak serta-merta menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Yakin ini aman? Apakah interaksi peserta di luar ruang festival tidak akan menyebabkan apa-apa? Apakah mereka akan pulang ke rumah masing-masing tidak bersama virus corona?

Tim kerja festival telah berusaha menjaga pintu-pintu itu. Para peserta, dari tempat mereka sekarang, mengirimkan kabar bahwa semua tiba dengan selamat. Selamat dalam arti sebanyak-banyaknya, saya kira begitu; selamat dari Covid-19 juga.

Namun, sesungguhnya ada beberapa hal lain yang rasanya baik jika dipercakapkan dengan sungguh-sungguh. Aturan penerbangan yang tidak seiring sejalan dengan kondisi riil di Flores adalah salah satunya. Peserta yang datang dari kota-kota yang mewajibkan tes SWAB PCR dalam aturan penerbangannya jadi soal kami. Labuan Bajo, kota di ujung barat Flores adalah pintu kedatangan para peserta. Di sana, hasil SWAB PCR paling cepat keluar dalam dua hari. Kadang tiga hari. Sedangkan peserta harus ada di Ruteng selama dua atau tiga hari itu dan sibuk dan jadwal kepulangan mereka telah diatur, sehari setelah penutupan Flores Writers Festival. Maka, tes harus dilakukan setibanya mereka di Labuan Bajo, sebelum menuju kota festival. Bisa tangkap situasi ini?

Begini. Yang saya pikirkan adalah betapa kertas hasil tes SWAB PCR itu sebenar-benarnya sesuatu yang ‘kau mau terbang ka tida? kalo mau, urus itu barang‘; siapa di antara orang-orang di balik ‘aturan penerbangan’ itu yang benar-benar memikirkan apa yang terjadi pada pelaku perjalanan selama dua atau tiga hari hingga hasil tes itu keluar? Ah… Itu sudah! Kami semua hanya bisa menjawab begitu. Sebab memang itu sudah… Untunglah, aturan penerbangan ‘wajib tes SWAB’ itu sudah diubah. Tetapi Flores Writers Festival telah selesai dan bagian keuangan tentu sedikit kesal sebab demi kertas itu mereka juga harus mengeluarkan cukup banyak kertas penting lainnya. Pokoknya, itu sudah.

Yang belum selesai adalah pandemi ini. Dengan demikian, aturan-aturan terbaru juga akan tetap (ehm…) diubahsesuaikan berdasarkan pikiran orang-orang atas dan kita adalah warga negara yang (uhukkk…) harus taat. Atau cemas? Flores Writers Festival dalam arti kegiatan yang direncanakan akan terjadi setiap tahun juga belum selesai to? Harus dikerjakan. Dengan cemas?

Saya ingat T, tokoh ciptaan Junichirō Tanizaki (1886-1985) dalam “Teror”, yang (menduga dirinya) mengalami sejenis neurosis: fobia berkereta. Sedapat mungkin dia mencari jalan paling pendek jika ingin bergerak ke tempat yang lain agar tidak harus berkereta. Tetapi kita tahu, agar cerpen “Teror” ini berjalan dengan baik, T akhirnya harus tetap melawan kecemasannya seorang diri. Dia ‘dipindahkan’ dari Kyoto ke Osaka. Tidak dengan kereta api, melainkan dengan trem, tetapi saya kira sama saja akibatnya bagi seseorang yang mengalami gangguan kecemasan pada gerbong yang bergerak. Sebotol kecil wiski diceritakan hadir sebagai usaha membunuh kecemasan itu. Sedikit berhasil, tentu saja, tetapi juga harus ditambah dengan ungkapan penuh harap: “Mudah-mudahan aku selamat sampai Osaka.”

Dan kereta bernama negara ini juga tetap bergerak. Di tengah pandemi. Dengan aturan-aturan yang saya kira ditujukan agar kita merasa aman di gerbong-gerbongnya—soal apakah kau benar-benar aman atau tidak bukanlah perkara yang utama. Dengan kau yang memikul mimpi-mimpi—tanggung jawab kebudayaan atau bukan tidak jadi soal. Osaka kira-kira adalah sebuah situasi yang menyenangkan, kita akan dibawa ke sana. Siapa yang mendengar debar cemas dari dada setiap penumpang? Sopi yang kau minum beberapa sloki di malam penutup festival, apakah kau gunakan untuk melawan dinginnya Ruteng atau mengaburkan kecemasanmu?

Kau bisa cemas tentang apa saja sekarang, seperti juga saya: Flores Writers Festival yang pertama telah berjalan dengan baik, apakah akan yang kedua?; Pada gelarannya yang pertama terlalu banyak laki-laki NTT, apakah ada penulis perempuan di NTT pada tahun berikutnya?; Percakapan tentang rumah yang baik memenuhi ruang-ruang diskusi sepanjang festival, apakah rumahmu benar-benar tempat yang baik?; Pandemi ini belum selesai, apakah vaksinasi akan segera menjangkau seluruh masyarakat (yang siap divaksin)?; Kereta terus melaju, apakah kita harus selalu mabuk agar dapat tiba dengan selamat di tujuan? Tujuan. Apa itu?

Ketika pertama kali percakapan tentang festival literasi di Flores ini mengemuka, yang dipikirkan mula-mula adalah terciptanya ruang perjumpaan. Terjadilah demikian. Kami berjumpa, mengatasi kecemasan secara mandiri, menikmati pertemuan demi pertemuan, menambahkan minyak tanah pada api semangat, dan pulang. Ke rumah masing-masing: tidak ada yang selesai—seperti juga tulisan ini, Osaka adalah tahun-tahun berikutnya. Terima kasih.


Ilustrasi: Photo by Manuel Sechi from Pexels

Baca juga:
Tentang Sajak Huruf Tak Cukup
Hikayat Kelewang Pusaka Bes Ma’tani


Komentar Anda?