Menu
Menu

begitu juga cinta yang setia/ bermain-main di sini/ bagimu yaitu sajak dengan huruf tak cukup


Oleh: Majenis Panggar Besi |

Lahir di Banyuwangi. Pecinta buah dan sayur. Memiliki cita-cita terpendam untuk memelihara koala di kebun belakang rumahnya. Salah satu cerita pendeknya yang berjudul “Sesudah Matahari Terbit dari Barat” terpilih sebagai juara pertama lomba penulisan cerita pendek LPDP Universitas Indonesia 2018. Buku kumpulan cerita termutakhirnya berjudul “Tentang Seseorang yang Gemar Meminta Ciuman” (2018).


Minggu pagi, papa dan mama sedang pergi ke gereja. Kamu sendirian di rumah menyibukkan diri dengan cucian.

Menjelang siang kamu bergegas ke halaman belakang untuk membalik jemuran supaya cepat kering. Angin berembus sepoi-sepoi, mengibarkan cucian di tali jemuran. Setelah membalik semua cucian, kamu kembali ke rumah karena sinar matahari demikian terik. Saat itulah kamu mendengar suara langkah kaki di halaman depan. Kamu beranjak ke pintu untuk melihat siapa yang datang. Yang datang adalah salah satu dari teman Ferdinandus kekasihmu. Dia berdiri diam di halaman, di antara pohon-pohon cendana muda yang tumbuh subur.

Angin berembus menghamburkan debu-debu di antara kaki tamumu. Kamu beranjak dari ambang pintu, menunggu tamumu di teras yang tanahnya lembap karena tadi pagi kamu menyiramkan air sisa cucian di sana. Tamumu terlihat demikian berantakan dan pucat. Kamulah yang pertama menyapa. Tamumu menjawab dengan lembut. Terlalu lembut malah. Membuatmu seketika sadar maksud kedatangan tamumu.

“Ferdinandus, ya?” tanyamu.

“Maafkan aku harus membawa kabar buruk ini kepadamu.”

“Kenapa dia?”

“Ferdinandus meninggal.”

Kamu kembali diam. Menunggu dirimu merasakan sesuatu namun tak merasakan apa pun kecuali selembar kain yang baru kamu angkat dari jemuran. Beberapa helai rambut yang diembus angin jatuh di pipimu. Dengan sebelah tangan kamu menyibak rambutmu ke belakang.

“Bagaimana kejadiannya?” Kamu merasa suara yang keluar dari mulutmu seperti bukan suaramu.

“Hari itu hari ketujuh kami menggali saat tiba-tiba lubang galian kami runtuh. Ferdinandus berada di posisi paling depan dengan dua penggali lain. Semuanya terjadi begitu saja. Kepanikan seketika meledak. Dengan alat yang tersisa kami mencoba menggali reruntuhan karena sebagian besar alat-alat kami ikut tertimbun dalam reruntuhan. Kami tahu hanya keajaiban yang bisa membuat kami menemukan mereka semua dalam keadaan bernyawa.”

Kamu teringat pemuda di kampungmu yang memilih pergi ke Sifanika menambang mangan secara tradisional.

“Banyakkah korbannya?”

“Sekitar separuh dari korban yang tertimbun dapat kami temukan dalam keadaan selamat. Tapi tiga orang yang berada paling depan, termasuk Ferdinandus, tidak dapat kami selamatkan.”

Tamumu menggigit bibir lalu perlahan meraih saku di dadanya, membuka kancing penutup, dan mengeluarkan selembar foto.

“Foto ini kami ambil dua atau tiga tahun yang lalu waktu pergi ke Kupang. Kupikir kamu ingin memilikinya.”

Kamu memerhatikan foto itu, melihat wajah Ferdinandus kekasihmu sedang menoleh dan tersenyum. Dalam foto itu dia mengenakan baju berwarna abu-abu dengan sehelai tenun ikat bermotif Naga Lalang dililitkan di kepalanya sebagai destar. Ujung destar itu menjuntai di bahu dan bergoyang-goyang dipermainkan angin.

“Terima kasih. Kamu baik sekali,” ucapmu. “Aku memang belum memiliki foto Ferdinandus.”

“Apa kau akan baik-baik saja?”

“Tidak.”

“Aku pamit dulu kecuali ada hal lain yang masih ingin kau tanyakan.”

Kamu berpikir sebentar lalu berkata, “Papa dan Mama sebentar lagi pulang dari gereja. Maukah kau membantuku memberitahu mereka tentang Ferdinandus?”

“Kau ingin aku yang memberitahu Papa dan Mamamu?”

“Harus ada yang memberitahu mereka. Aku rasa aku tak akan sanggup.”

“Baiklah.”

Tamumu duduk di teras menunggu papa dan mamamu pulang. Sementara kamu berjalan ke kamarmu seperti orang linglung. Kamu teringat pagi pedih ketika tahu Oma telah tiada dan bagaimana kamu menangis waktu itu. Kamu ingin bisa merasakan emosi seperti itu sekarang ini tetapi tidak ada perasaan apa pun. Yang ada hanyalah kebekuan yang dingin seperti es.

Sesampainya di dalam kamar dan menutup pintu, kamu berdiri mematung menatap kosong pada cahaya matahari yang tumpah pada pohon-pohon di luar jendela. Sebelah tanganmu masih menggenggam kain yang tadi kamu angkat dari jemuran sementara tangan yang lain memegang foto Ferdinandus. Kamu memandang wajah Ferdinandus. Takkan pernah ada kelanjutannya. Takkan pernah ada lagi. Tidak ada yang tertinggal. Kamu teringat bagaimana matanya menyipit dalam senyum ketika memandangmu. Lalu kamu teringat suaranya ketika membacakan puisi itu untukmu. Kamu ingat betul kata-katanya. Tiba-tiba saja kata-kata itu kembali semua, memenuhi kepalamu seperti sajak lagu yang pernah terlupakan:

“maka aku terus menulis agar kau tahu
bahwa semua yang sempurna
adalah ketidakcukupan
begitu juga cinta yang setia
bermain-main di sini
bagimu yaitu sajak dengan huruf tak cukup.
Puisi M Aan Mansyur.”

Tiba-tiba dadamu menjadi penuh oleh sesuatu yang tak dapat kamu jelaskan. (*)

Kebayoran Baru, 2019

Catatan:

Mangan telah mengubah peradaban warga, dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat pertambangan. Tapi, selain membawa berkah, penambangan mangan berpotensi mengancam jiwa. Tidak sedikit warga yang terkubur hidup-hidup dalam lubang tambang mangan yang mereka gali sendiri. Tercatat pada tahun 2010, setidaknya ada 34 warga Timor tewas tertimbun lubang galian mangan.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Komentar Anda?