Menu
Menu

Bahwa masa menghafal arti bom singkatan ini akan selesai, tidak berarti bahwa hidup akan kembali seperti dulu lagi.


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Salah seorang kurator Flores Writers Festival. Bergiat di Komunitas Saeh Go Lino dan Klub Buku Petra.


Kita bisa ada di fase apa saja sekarang. Seseorang selalu bingung melihat singkatan-singkatan yang terus bermunculan akhir-akhir ini. Belum selesai dia berjuang menghafal yang sebelumnya, datang lagi yang baru. Setiap kali melihat, mendengar, atau tanpa sengaja mengeja singkatan-singkatan itu, di kepalanya menari banyak sekali kata. Tak jarang dia terpeleset.

Singkatan-singkatan itu, yang sesungguhnya berhubungan dengan pandemi yang entah kapan selesai ini, membawanya ke singkatan dan akronim lain di masa lalu. Ke pelajaran pendidikan kewarganegaraan, pernah. Ke pendidikan sejarah perjuangan bangsa, pernah. ke masa persiapan pensiun, pernah. Ke mana lagi? PKBM, PPKM, PPKN, PSPB, PSBB, PKK, Klompencapir, Ekraf, PKK, Dekranasda, DKM, 5M, MPP, RIP, arrrrrgh… Itu menjengkelkannya.

Dia berharap masa-masa menghafal daftar kata di balik singkatan-singkatan itu segera selesai. Lalu dia ingat seorang petani yang mengeluhkan kemerdekaan yang tak kunjung selesai. “Kapan merdeka ini selesai?” Tanya petani ini pada suatu hari sebab dia lelah juga mencari tempat berlindung setiap kali ada pesawat terbang rendah. Selalu ada bom yang jatuh ketika itu padahal beberapa waktu sebelumnya teks proklamasi telah bergema dari Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Barangkali petani dalam novel Burung-Burung Manyar karya Y. B. Mangunwijaya itu seperti kita. Yang menduga-duga bahwa masa singkatan-singkatan ini tidak akan selesai. Dugaan yang salah?

Beberapa waktu setelah masa itu, kita tahu, tak ada lagi bom-bom dijatuhkan. Kita merdeka. Seperti ini. Ya… merdeka seperti ini. Yang tetap diisi dengan berita-berita tentang kelaparan, kematian yang sepi, kebingungan-kebingungan. Merdeka yang tidak selesai? Tidak juga, pikirnya. Sebab barangkali begini saja wajah merdeka itu pasca-berhentinya bom-bom menghancurkan sawah dan ladang. Bahwa masa menghafal arti bom singkatan ini akan selesai, tidak berarti bahwa hidup akan kembali seperti dulu lagi.

Pandemi, pikirnya, mungkin seperti usia 40 tahun. Dia pernah dengar, ketika seseorang tiba di usia 40 tahun, dunia tak lagi sama. Ada juga dalam ingatannya kalimat lain tentang usia 40: life begins at forty. Tetapi dia tidak sepenuhnya mengerti. Setelah pandemi tidak ada lagi yang sama (hidup yang seperti dulu lagi) dan kita harus belajar memulai hidup dari nol lagi, begitu? Dia bingung sendiri sebab membuat analogi yang aneh; usia 40 dan pandemi. Duh…

Orang-orang menyampaikan kabar duka setiap hari. Di Facebook, di Twitter, di Instagram, di WhatsApp, di mana-mana. Kematian-kematian yang ramai di berita-berita dan infografik, tampak begitu sepi di rumah duka dan pemakaman. Pandemi merengut nyawa-nyawa tanpa memberi para pemiliknya kesempatan dicium orang-orang terkasih di menit-menit akhir hidup mereka.

Dia, seperti kita semua, berduka sedalam-dalamnya untuk setiap kabar sedih yang datang beruntun itu. Tetapi sedih yang panjang menurunkan imun. Permintaan agar semua orang senantiasa bergembira agar imun meningkat sebab imun yang hebat adalah modal yang baik untuk lolos dari pandemi benar-benar menyusahkannya. Dia harus membiasakan diri menulis requiescat in pace di kolom komentar dan segera mencari video-video lucu setelahnya agar tidak terlampau larut dalam kesedihan sebab imunnya bisa turun dan dia di ambang bahaya. Pandemi, anjing! Dia mengumpat, lalu segera mencari video anjing-anjing yang lucu di linimasa media sosialnya.

Aneh, pikirnya. Bagaimana mungkin semua begitu cepat terbolak-balik? Dia yang tak terlampau sering berlibur sebelum pandemi mendadak merasa sebagai yang anak paling mencintai orang tuanya sebab tak mengunjungi mereka. Ketidakhadiran adalah tanda cinta. Haeh… Ini bagaimana? Sampai kapan? Orang-orang di sekitarnya masih sibuk berdebat: ini konspirasi; tidak ada itu barang; karang-karangnya mereka saja; itu kemarin yang terpapar toh masih baik-baik saja, dan lain sebagainya. Dia tergoda juga untuk memikirkan hal serupa tetapi sirene ambulans nyaring sekali dan adalah yang kelima hari itu; lima penguburan lagi yang hanya boleh disaksikan orang-orang terkasih dari tempat yang jauh, lima daftar baru di infografik, lima tangis yang sepi di rumah duka. Telah datang tamu yang tidak diharapkan. Singkatan apa lagi yang sedang disiapkan bangsa dan negara?

Dia ingin membuka arsip video-video lucu di telepon genggamnya tetapi Sampar-nya Albert Camus menggodanya, dia baca: Dalam hal ini, penduduk kota kami, seperti semua orang, hanya memikirkan diri mereka. Dengan perkataan lain, mereka manusiawi: mereka tidak percaya akan adanya bencana. Bencana tidak berukuran manusiawi. Jadi, manusia berpikir bahwa bencana itu tidak nyata, satu mimpi buruk yang akan berlalu. Tetapi mimpi buruk itu tetap tidak berlalu. Dari satu mimpi buruk ke mimpi buruk lain, manusialah yang berlalu. Dan yang pertama-tama adalah yang bersifat manusiawi, karena mereka tidak bersiap-siap.

Dia berhenti membaca. Dan berjuang keras menjadi lebih akrab dengan singkatan-singkatan dan pesan-pesan di baliknya. Dia tak kunjung mengerti, tetapi dia tahu bahwa setelah bom singkatan ini akhirnya selesai, dunia tak lagi sama: kita seharusnya lebih kuat, dan rendah hati! Kita tidak tahu kita ada di fase apa sekarang.(*)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Mimpi, Istri, dan Serigala – Cerpen Giovanni Boccaccio
Apa yang Membentuk Kelopak Bunga Pohon Sakura?


Komentar Anda?