Menu
Menu

Kita ingat adegan-adegan dalam Makan Siang Okta dengan sangat baik!


Oleh: Hermina Patrisia Nujin |

Peserta aktif Bincang Buku Petra. Tinggal di Ruteng dan bekerja di Klinik Jiwa Renceng Mose sejak 2017.


Tanggal 11 Juni 2021, jam tujuh malam, hari itu hari Jumat. Anggota Klub Buku Petra kembali bertemu dalam Bincang Buku Petra edisi ke-29. Buku yang dibahas berjudul Makan Siang Okta: Sebuah Cerita Tiga Bagian (selanjutnya ditulis Makan Siang Okta) karya Nurul Hanafi, yang menjadi salah satu nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2020.

Bincang buku kali ini dihadiri tujuh peserta: dr. Ronald Susilo sebagai pemantik diskusi, Reynaldo, Abim Gondrong, Retha Janu, Maria Pankratia, Armin Bell, dan saya sendiri yang dipercaya mencatat hasil perbincangan malam itu. Bertempat di Perpustakaan Klub Buku Petra, bincang buku Makan Siang Okta, yang akhirnya mendapat 3,5 bintang itu, berlangsung alot. Selama 90 menit 31 detik, sambil ditemani makan malam yang akrab.

Dokter Ronald mendapat giliran pertama membagikan hasil pembacaannya. Diceritakannya, dua bagian pertama dalam Makan Siang Okta langsung selesai dia baca pada malam buku ini dibagikan. Sedangkan bagian ketiga baru diselesaikan empat hari kemudian. Baginya, novel ini memberi kegelisahan tersendiri. Sebagai keturunan Tionghoa, kisah dalam Makan Siang Okta menggali ingatannya tentang keluarga, bahwa bagi orang Tionghoa, segala sesuatu baik bisnis maupun rencana masa depan, akan selesai dibahas pada saat makan.

Lebih lanjut pemantik mengungkapkan kekagumannya akan konsistensi cara bertutur penulis sepanjang tiga bagian buku yang tidak keluar jalur, unik, mengulik sesuatu dengan sangat detail sehingga memantik banyak ide. Ibarat pistol yang siap diledakkan tepat pada waktunya, menurut Dokter Ronald penulis berusaha menyimpan kisah secara perlahan untuk memantik imajinasi pembaca. Penggunaan bahasa Indonesia dan keterampilan menulis yang begitu baik, juga membuat aktivitas membaca buku ini terasa menyenangkan. Isi cerita dan alur yang lamban mengingatkan Dokter Ronald pada pengalaman membaca novel The Road karya Cormac McCarthy tentang perjalanan seorang ayah dan anak laki-lakinya yang penuh kehampaan. Pada bagian akhir, pemantik memberi kesan kurang menyukai isi novel karena tidak bergerak ke mana-mana sampai akhir akan tetapi merasa sangat tertarik dengan bentuk penulisan yang pasti membutuhkan energi yang kuat untuk menyelesaikan karya ini.

Reynaldo yang juga pustakawan Klub Buku Petra mendapat giliran kedua menceritakan pengalaman membaca novel ini. Tidak seperti biasanya, kali ini Rey bicara singkat. Bagi Rey, novel ini datar, lamban, dan sangat sabar. Terdiri atas premis-premis yang menimbulkan pelbagai kemungkinan. Makan Siang Okta membangkitkan rasa penasaran Rey tentang berapa lama Nurul Hanafi menghabiskan waktu untuk menulis buku ini, dan bagaimana pemilihan momen “makan siang” yang ceritanya seperti tidak bergerak ke mana-mana tetapi berhasil menghabiskan 165 halaman.

Mas Abim mendapat giliran ketiga. Buku ini berhasil membuatnya ‘emosi’ dan mengingatkan perjumpaannya dengan penulis pada tahun 2015 di Yogyakarta. Di matanya, Nurul Hanafi adalah sosok yang sangat kalem dan santun. Buku lain karya si penulis berjudul Piknik yang pernah dibaca Mas Abim, ternyata jauh lebih lambat dari buku ini. Mas Abim menyarankan agar buku ini dibaca dalam sekali waktu jika tidak ingin kehilangan jalan cerita, karena kisahnya tarik ulur. Namun, tidak dapat diingkari, aliran kisah di dalam novel ini ini justru akan menimbulkan efek seperti hipnoterapi; sesuatu yang diulang terus menerus dan membekas di dalam pikiran kita.

Mendapat giliran keempat, mau tidak mau saya menyampaikan keluhan saya. Untuk pertama kalinya, saya tidak berhasil membaca buku yang disiapkan untuk Bincang Buku Petra sampai selesai. Mulai dari cover buku seorang gadis kecil yang sedang membelakangi dan menatap jaring laba-laba besar, sementara isi buku menceritakan pengalaman makan siang tokoh Okta, hingga isi cerita yang tidak konsisten. Belum lagi tingkah laku tokoh yang berubah-ubah, menimbulkan kebingungan sehingga saya sulit memahami jalan cerita dari novel ini.

Selanjutnya Maria Pankratia mendapat giliran kelima untuk berbagi pengalaman hasil membaca. Pada bagian awal, Maria merasa terganggu dengan kalimat “Suasana sepi begitulah ia terdengar di telingaku” sehingga harus dibacanya berkali-kali pada bagian tersebut. Hal ini ditanggapi oleh Armin dan Rey, tentang bagaimana situasi tertentu dituliskan sebagaimana yang sering kita alami dalam kenyataan, sehingga pembaca dapat mengalami pengalaman audio-visual sekaligus saat membaca. Lebih lanjut, Maria menceritakan kalau membaca buku ini jauh lebih menyenangkan ketika bangun tidur di pagi hari. Membaca buku ini juga mengingatkannya pada novel Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Cara Berbahagia Tanpa Kepala karya Triskaidekaman. Rumit dan membingungkan. Selain itu, penggambaran tokoh yang diskriminatif terhadap dirinya sendiri dan terhadap tokoh lain juga dianggap kurang baik. Namun, Maria mengakui konsistensi penggunaan kalimat yang bagus sepanjang cerita, baik dalam diri narator maupun tokoh, menunjukkan bahwa penulis sangat disiplin terhadap karyanya sendiri.

Selanjutnya Retha mendapat giliran berbagi pengalaman membaca novel ini. Sama seperti Hermin, Retha juga tidak menyelesaikan buku ini sampai tuntas. Baginya buku ini sangat lambat dan membosankan. Gaya pembacaan Retha yang fokus pada plot dan momen atau salah satunya sebabnya; tidak berhasil ia temukan dalam novel ini. Namun demikian, novel ini mengingatkannya pada novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder tentang sejarah filsasat yang menggunakan tokoh anak-anak.

Armin Bell mendapat giliran terakhir menceritakan pengalaman membacanya. Ia memberi kesan yang jauh berbeda dengan teman-teman lain yang hadir malam itu. Menurut Armin, ia malah sangat menikmati novel ini, bahkan menahan diri untuk tidak sesegera mungkin menghabiskannya agar lebih lama berada dalam cerita. Menggunakan tokoh anak-anak dari awal cerita hingga akhir, mengingatkan Armin ketika berinteraksi dengan kedua anaknya di rumah. Bahwa menanamkan ingatan dalam kepala anak-anak sama seperti makan siang tokoh Okta yang tidak akan pernah selesai. Perlu dilakukan berkali-kali dan penuh kesabaran, hal yang justru dianggap sangat membosankan bagi orang dewasa. Selanjutnya, Armin juga mengakui penggambaran tokoh dan latar digarap dengan sangat baik.

Menjelang akhir diskusi, kak Veronika mengirimkan hasil pembacaannya. Kesan yang hampir sama dengan sebagian besar anggota yang hadir yaitu merasa jenuh. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat kak Vero untuk membacanya hingga selesai. Sama seperti saya, kak Vero juga tertarik dengan sampul buku Makan Siang Okta. Ia beranggapan novel ini sama seperti laba-laba yang membuat jaringnya, benar-benar rapat. Jika ada bagian yang hilang maka jaring tersebut akan rapuh. Persis seperti novel ini, jika tidak detail maka ada bagian cerita yang hilang.

Di akhir diskusi, ada perdebatan yang cukup panjang antara beberapa peserta. Meskipun kami tampak tidak begitu menyukai alurnya dan bagaimana cara penulis menuturkan kisah-kisahnya di dalam buku ini yang mengesankan cerita bergerak sangat lambat, akan tetapi kami mengingat semua adegan-adegannya dengan sangat detail. Kami bahkan mampu menguraikannya kembali beberapa adegan dengan baik. Salah satunya saat tokoh utama dan Okta bercakap-cakap dengan ibunya di dapur. Kalian ingat bagian ini, bukan? Benar-benar seperti dihipnotis.(*)


Baca juga:
Dharsana dan Kejahatan-kejahatannya dalam Novel Hotel Prodeo
Apa yang Membentuk Kelopak Bunga Pohon Sakura?

Anda bisa berbagi pengalaman membaca novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan buku-buku menarik lainnya di rubrik Saya dan Buku. Kirim hasil pembacaannya ke [email protected].


Komentar Anda?