Menu
Menu

Aku bercita-cita membangunkan sebuah rumah bagus untuk Ibu dari hasil kerja kerasku sendiri. Ruang Negatif.


Oleh: M. Z. Billal |

Lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2019), Antologi Rantau Komunitas Negeri Poci (2020) Membaca Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di sejumlah media. Fiasko (AT Press, 2018) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Kelas Puisi Alit.


Sejak kecil, sebelum masuk sekolah dasar, Ibu sudah mengajariku bagaimana cara menata alat tulis atau perlengkapan sekolah ke dalam tas dengan rapi. Ia ingin aku mandiri sejak dini. Bahkan bukan hanya menata perlengkapan sekolah saja. Menyusun bekal makan siang ke dalam tas perca buatan Ibu yang akan kami bawa ke ladang karet pun telah diajarkan Ibu kepadaku dengan sangat rinci.

“Mula-mula kaumasukkan buku-buku yang berukuran besar. Lalu kau susun buku-buku yang berukuran kecil. Setelah itu barulah kau taruh kotak pensilmu di atasnya. Ingat, jangan sampai kau salah menatanya. Karena jika kau salah menata maka akan membuat tasmu berantakan, dan tentu saja saat kauletakkan tas itu di punggungmu rasanya tidak akan nyaman sama sekali. Itu karena komposisi ruang dalam tasmu tidak benar.” Ibu kembali menjelaskan tata cara menata perlengkapan sekolah ke dalam tas, tepat pada malam sebelum aku akan menjalani hari-hari sebagai siswa kelas 1 SD. “Dan jika pada hari-hari tertentu kau membawa seragam olahraga, kaupastikan seragammu itu terlipat dengan rapi terlebih dahulu. Baik sebelum kaugunakan ataupun sesudahnya. Dan berjanjilah kau akan selalu melakukan ini. Kau sudah mengerti kan, Jamil?” tanya Ibu mengakhiri penjelasannya. Sementara aku hanya bisa membalasnya dengan mengangguk.

Sejak saat itu aku selalu menepati janjiku kepada Ibu. Semua alat tulis kuusahakan tersusun rapi di dalam tas termasuk seragam olahraga. Sebab Ibu memang benar-benar mengeceknya setiap hari. Baik sepulang sekolah maupun saat malam hari usai belajar. Kalau saja aku salah susun maka Ibu langsung menyuruhku memperbaiki susunannya. Pernah pada suatu hari yang sangat melelahkan di kelas 4, bekal air minumku habis pada jam terakhir pelajaran. Aku sudah tidak tahan menahan haus dan buru-buru memasukkan tumpukkan buku, seragam olahraga, topi, dasi, dan botol air minum secara sembarangan ke dalam tas. Maka sesampai di rumah, saat Ibu mengecek tasku yang berantakan, ia langsung marah dan melempar tasku ke lantai. Membuatku sangat ketakutan dan buru-buru minta maaf sambil menangis. Ibu terlihat sangat jengkel melihat ketidakrapianku. Namun ia lekas memaafkanku. Ia peluk tubuhku dan segera membantuku menyusun kembali buku-buku itu sampai betul-betul rapi dan sesuai harapannya. Ruang Negatif.

Namun sungguh, kala itu aku betul-betul tidak tahu alasan kenapa Ibu benar-benar tegas soal kerapian menyusun barang-barang. Ibuku bukan seorang seniman ataupun ahli tata ruang. Ia bahkan tidak tahu soal fotografi dan bagaimana cara mendesain sesuatu secara proporsional. Ia hanya seorang wanita lulusan SMP yang sehari-hari bekerja sebagai penyadap getah karet di ladang milik seorang tauke, dan memiliki hobi sederhana seperti menjahit perca dan membuat bunga-bunga tiruan dari barang bekas. Yang kadang bisa mendatangkan beberapa peminat untuk membeli buah karyanya itu. Lagi pula, kupikir, teman-teman di kelasku tidak akan mendapat perlakuan sama seperti yang kurasakan. Orang tua mereka pasti bisa memaklumi keadaan jika anak-anak ceroboh atau kurang peduli terhadap isi tas mereka.

Jadi, ya, ibuku benar-benar berbeda. Ia selalu berkata bahwa segala sesuatu yang tersusun dengan rapi dan sesuai porsinya akan terlihat indah untuk dipandang dan tentu saja sangat nyaman saat dipakai. Aku sangat setuju pada pernyataan itu. Selain mendapatkan kenyamanan, Ibu menambahkan lagi, kita juga akan memperoleh ketenangan hidup. Proses memahami dan menjalani bahwa hidup memang harus teratur akan menciptakan keseimbangan diri. Maka dari itulah aku juga tidak punya alasan untuk menolak aturan yang Ibu terapkan dan menganggap bahwa Ibu berhak marah ketika aku melanggar ketetapan yang telah ia ajarkan. Sebab bagiku, cukuplah aku mengerti bahwa Ibu senantiasa makin menyayangiku selepas Ayah pergi dari rumah dan tidak pernah kembali lagi.

Aku tahu Ibu memendam semua perasaannya seorang diri. Selama bertahun-tahun ia berduka dan menyembunyikan tangisnya. Hingga ia akhirnya mahir menata hidup dan hatinya secara seimbang. Mampu memisahkan mana yang layak untuk diperlihatkan kepada orang-orang dan mana yang seharusnya disembunyikan, termasuk dari diriku, tanpa membuat orang-orang terus bertanya-tanya apakah ia baik-baik saja atau sedang dilanda kesedihan.

Hanya saja kadang aku merasa bosan dengan sikap Ibu. Ia benar-benar tidak mau berbagi kesedihannya padaku meski berulang kali telah kucoba memintanya bercerita, tatkala aku sudah tumbuh remaja sebagai seorang pelajar kelas 2 SMP. Ia bersikeras untuk tetap terlihat tegar dan bahagia. Kata Ibu, belum saatnya aku mendengar kisah tentang Ayah, nanti saja kalau sudah dewasa.

Potongan terakhir ingatanku tentang Ayah adalah ketika aku membantu Ibu melipat baju milik Ayah dan memasukkannya ke dalam sebuah koper yang cukup besar. Saat itulah pertama kalinya Ibu mengajari aku bagaimana menyusun pakaian dan beberapa perlengkapan agar muat dan terlihat rapi di dalam koper. Mulai dari melipat kemeja, menggulung kaos kaki, sampai meletakkan beberapa lembar kantong plastik di atas tumpukkan pakaian itu. Kata Ibu, susunan yang bagus bisa membuat seseorang jadi lebih percaya diri.

Sungguh, kala itu aku dan Ibu merasa bahagia bisa bekerja sama mempersiapkan seluruh perlengkapan Ayah yang akan pergi merantau ke pulau seberang. Apalagi ketika Ayah berjanji saat nanti ia pulang akan lekas membangun sebuah rumah yang bagus untuk kami, dan Ibu bebas menata seluruh barang sesuai keinginannya. Maka semakin indahlah kenangan yang kurasakan pada saat itu. “Jamil mau minta apa kalau nanti Ayah pulang?” Tanya Ayah waktu itu, sementara aku tidak bisa mengatakan atau meminta apa-apa kecuali berharap besar ayah akan segera pulang. Itu saja. “Terima kasih ya, Nak, sudah membantu Ibu berkemas.” Itu kalimat terakhirnya sebelum benar-benar pergi ke luar dari rumah sewa yang kami tempati, menuju mobil hitam yang sudah menunggunya. Ruang Negatif.

Namun sayang berjuta kali sayang. Sejak hari itu Ayah tidak pernah pulang kepada kami. Tidak pernah memberi kabar. Bahkan mengirimi Ibu uang untuk menyambung hidup kami tidak pernah satu kali pun. Ayah seperti ditelan bumi. Atau barangkali diculik monster laut tatkala ia menyeberang pulau menggunakan kapal. Sementara Ibu, pada akhirnya berhenti membahas tentang Ayah dan memilih untuk menyembunyikan perasaannya seorang diri. Bertahun-tahun setelahnya. Dan aku cuma bisa sebatas merapal doa-doa baik untuk kepulangannya meski kala itu aku masih belum tahu apa sebenarnya yang terjadi kepada Ayahku itu. “Ayah masih butuh waktu lagi untuk persiapan pulang ke rumah, Jamil. Jadi sebaiknya kau tetap membantu Ibu dengan menyusun barang-barang dan perlengkapan sekolahmu dengan rapi.” Demikian kata Ibu ketika aku coba membuka bahan perbincangan tentang Ayah lagi.

Sampai pada hari itu, ketika aku telah benar-benar beranjak jadi seorang lelaki dewasa berusia 20 tahun, barulah aku mengetahui segalanya. Sesuatu yang selama ini diredam dalam dada Ibu. Badai paling kencang, ombak paling ganas, dan langit paling suram yang senantiasa mendera hidupnya tanpa henti. Kenyataan itu membuatku sangat lemah, hingga pada akhirnya aku pun menangis sejadi-jadinya ke dalam dada Ibu.

Waktu itu aku mendapat penolakan keras dari Ibu ketika kuberanikan diri meminta izin padanya untuk pergi merantau ke pulang seberang. Ibu sangat murka. Bahkan saat aku betul-betul mempraktikkan tata cara menyusun pakaian dan seluruh perlengkapan ke dalam tas punggung, Ibu mengeluarkan kembali barang-barang itu sambil mengomel. Tapi aku bersikeras untuk pergi. Karena kupikir kesempatan untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang dapat mencukupi kebutuhan hidup tidaklah mudah. Apalagi Ibu semakin tua. Aku tidak mau Ibu terus-menerus bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua. Cukuplah bagiku Ibu menuntaskan kewajibannya menyekolahkanku hingga jenjang pendidikan D1 di lembaga kursus komputer. Sudah tiba saatnya aku, anak semata wayang, membahagiakan Ibu.

“Aku mengajarimu menata pakaian, buku-buku, dan perlengkapan lain ke dalam tasmu sejak kecil, tidak untuk pergi meninggalkanku, Jamil!” kata Ibu. “Aku tidak butuh banyak uang atau kau mendapat pekerjaan sangat bagus di tempat yang jauh. Semua rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Jadi percayalah kepada ibumu ini!”

“Bu….” Aku berusaha menjelaskan. “Aku hanya ingin membahagiakan Ibu. Aku tahu tempat itu jauh dan betapa kurang ajarnya aku meninggalkan Ibu seorang diri di sini. Tapi seharusnya Ibu percaya padaku. Demi apa pun aku tidak akan pernah meninggalkan Ibu seperti Ayah yang tidak pernah kembali kepada kita. Aku sangat menyayangi Ibu. Justru, aku bercita-cita membangunkan sebuah rumah bagus untuk Ibu dari hasil kerja kerasku sendiri. Jadi kapan pun Ibu membutuhkanku, aku akan segera pulang.”

Aku belum betul-betul menyudahi penjelasanku ketika tiba-tiba Ibu terduduk di ranjang tidurku dan mulai menangis. Sungguh aku merasa sangat berdosa telah menambah kesedihan Ibu. Namun aku benar-benar ingin meraih segala cita-citaku untuk membahagiakannya dan telah bersumpah kepada diri sendiri untuk tidak akan pernah melupakan Ibu meski hidup di kota yang besar sekalipun.

“Jamil,” kata Ibu, suaranya terdengar lirih. Dan aku langsung bersimpuh di hadapannya. “Ayahmu tidak pernah meninggalkan kita. Ia selalu bersama kita setiap hari. Ia menyaksikanmu menyusun buku-buku pelajaran ke dalam tas, membantu Ibu bekerja di ladang, bahkan ia melihatmu tumbuh semakin kuat sebagai anak laki-laki.” Sejenak Ibu menghela napas seraya menatap sepasang mataku yang katanya mirip mata Ayah lekat-lekat. “Kau tahu, Nak, Ayahmu kadang marah kepada Ibu. Ia bilang Ibu terlalu keras mendidikmu. Tapi Ibu tidak peduli. Selama Ibu menyayangimu, Ibu akan tetap mengajarkan padamu arti kedisiplinan.”

Kemudian kulihat sebutir air mata jatuh di pipi Ibu. Namun lekas diusapnya. Ia betul-betul masih berusaha bagaimana melawan kesedihan yang dipendamnya selama bertahun-tahun. Akan tetapi, usahanya kali ini gagal. Sebab aku tahu Ibu telah kecewa padaku. Air mata itu adalah air mata paling duka yang pernah kusaksikan. Ruang Negatif.

“Ayahmu selalu ingin menemuimu, Jamil.” Ibu melanjutkan kembali kalimatnya. “Tapi ia tidak pernah punya waktu untuk itu.”

Sontak aku mengerutkan kening. Aku tidak mengerti apa maksud Ibu berkata seperti itu. Namun entah kenapa dadaku mulai sesak mendengarnya.

“Kenapa Ayah tidak punya waktu, Bu? Bukankah kita sudah terlalu lama menunggu?” Tanyaku.

“Berjanjilah kalau kau akan tetap menyayangi Ayahmu,” jawab Ibu sembari tersenyum. “Kini sudah tiba saatnya Ibu memberitahu segalanya kepadamu, Jamil. Ibu tahu ini akan sangat menyakitkan. Namun kau berhak tahu kalau Ayahmu sebenarnya telah tiada sejak sebulan ia pergi meninggalkan kita waktu itu.”

Mendengar pernyataan Ibu, kedua mataku langsung terasa panas, menggenang dan mengalirlah air mataku. Tenggorokanku tercekat dan tidak tahu harus mengatakan apa atau bagaimana cara mengungkapkan kesedihan itu. Aku hanya merasa mendadak semuanya jadi begitu hening, hingga jeritan hatiku bisa terdengar jelas. Aku benar-benar mengerti sekarang bagaimana rasanya menjadi Ibu yang menyembunyikan cerita ini selama bertahun-tahun dariku. Sampai aku tidak punya cara lain untuk bersedih selain memeluk tubuh Ibu erat-erat dan tangisku pecah di dadanya. Ruang Negatif.

Kata Ibu, Ayah adalah seorang pegawai yang rajin. Ia juga sangat tangkas dan rapi dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sama seperti Ibu. Di pabrik ia selalu baik kepada semua rekan-rekannya. Tidak pernah mengeluh ketika dimintai pertolongan. Bahkan ia cepat peduli hanya dengan melihat kesedihan di wajah teman-temannya. Pemilik pabrik memperhatikan kinerja Ayah. Sebulan Ayah bekerja, mendapat tawaran untuk naik jabatan. Betapa senangnya Ayah kala itu. Ia buru-buru mengabari Ibu. Teman-temannya pun demikian, ikut berbahagia.
Akan tetapi, soal maut, itu benar-benar di bawah kendali Tuhan. Siapa sangka, salah satu di antara teman Ayah memiliki niat jahat. Merasa sangat iri, dan akhirnya menikam tubuh Ayah dalam kegelapan. Tak hanya itu, si pembunuh juga mengubur tubuh Ayah di suatu tempat yang sunyi. Sungguh tidak ada yang pernah tahu meski semua orang bahkan pihak kepolisian telah mencari. Sampai sebulan kemudian, akhirnya tubuh Ayah ditemukan telah membusuk oleh seorang warga.

Mendapati kabar itu, Ibu memilih untuk tidak pernah ingin memercayainya sama sekali. Dadanya hancur. Meski ia sadar bahwa kenyataannya memang menyakitkan, namun ia dengan tegas mengatakan bahwa ia mengizinkan jenazah Ayah tidak perlu diantar pulang ke rumah. Biarlah jenazah Ayah dikubur di kota itu asal doa-doa kami tetap sampai kepadanya. Lalu kemudian, Ibu memohon dengan sangat kepada seluruh keluarga untuk menutup rapat-rapat kisah ini dariku, sampai tiba waktu yang tepat bagiku tahu seluruh rahasia suram itu. Ibu tidak ingin meruntuhkan harapanku terhadap Ayah. Ia membiarkan aku tetap berkhayal tentang kepulangan Ayah agar aku tetap bersemangat menjalani hidup. Ruang Negatif.

Namun seketika mendengar cerita itu, semua harapanku telah berubah jadi lautan kesedihan. Ombak besar menggulung dadaku sendiri. Sebab selama ini kupikir Ayah benar-benar jahat karena telah meninggalkan kami berdua untuk waktu yang sangat lama. Tapi ternyata tidak. Ayahku tetap pria hebat yang rela mengorbankan dirinya untuk menanggung kehidupan kami, meski pada akhirnya aku tahu kenyataannya begitu menyakitkan. Barangkali itulah sebabnya Ibu melarangku pergi merantau. Ibu tidak ingin aku bernasib sama seperti Ayah.

“Tapi, Jamil….” kata Ibu lagi. “Sekarang Ibu sepenuhnya telah percaya kepadamu. Pergilah. Asal kau bisa menjaga dirimu sebaik mungkin. Dan jangan lupa, susunlah seluruh yang ada pada hidupmu dengan baik. Ibu merestuimu.”

Padahal, aku baru saja ingin membatalkan semua keinginan itu. Memutuskan untuk tetap berada dekat dengan Ibu. Tetapi ia malah memberiku restu yang tulus untuk pergi merantau seraya menanamkan doa baik ke dalam diriku. Membuat dadaku jadi kembali terasa hangat.

Sungguh, aku jadi semakin mengagumi sikap Ibu yang bijaksana. Ia perempuan yang berhasil menciptakan ruang proporsional dalam hatinya. Mengajarkanku banyak hal yang tidak bisa terbalas oleh apa pun. Kelak, aku berjanji, akan membawa Ibu pergi ke tempat yang paling ingin ia kunjungi. Tempat di mana Ayah tertidur dan begitu merindukan kami, bertahun-tahun. (*)


Ilustrasi: wikiart.org || Ruang Negatif |

Baca juga:
Cara Lain Membaca Sajak Cinta
Variasi Kesendirian
Yang Abadi dari “The King” Black Finit


Ruang Negatif


Komentar Anda?