Menu
Menu

Tentang dua cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma.

Oleh: Gregorius Reynaldo |

Notulis. Pustakawan Klub Buku Petra.


Minggu, 11 Oktober 2020, salah satu program dalam jaringan dari Klub Buku Petra, Bincang Karya Vol.02 akhirnya dilaksanakan kembali setelah jeda selama dua bulan. Sebelumnya, 15 peserta mendaftar untuk mengikuti diskusi ini. Akan tetapi karena berbagai kendala, salah satunya tentu saja yang sangat klasik di Nusa Tenggara Timur yakni sinyal yang sangat buruk, beberapa peserta yang terus berjibaku dengan jaringan, keluar masuk ruang pertemuan, akhirnya tidak bisa menyampaikan hasil pembacaannya.

Namun demikian, diskusi tentang dua cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma ini tetap berjalan menyenangkan. Dua cerpen tersebut adalah, Mayat yang Mengambang di Danau (Kompas, 8 Januari 2012) dan Dodolitdodolitdodolibret (Cerpen Pilihan Kompas 2010). Diskusi dipandu Maria Pankratia.

Retha Djanu, yang bertugas sebagai pemantik pada malam itu, membuka diskusi dengan menyatakan kebingungannya akan topik yang sebenarnya ingin disampaikan Seno melalui cerpen Mayat yang Mengambang di Danau. Meski sudah membacanya berulang-ulang, Retha tetap kesulitan menghubungkan cerita tentang ikan dengan kematian Klemens di bagian akhir cerita. Ia menduga bahwa penggambaran tentang ikan di dalam cerpen Mayat yang Mengambang di Danau bertujuan untuk memperkuat latar danau. Namun begitu, hingga akhir cerita, di mana diceritakan Klemens, yang pernah mengikuti sebuah gerakan tertentu, mati, Retha mengambil kesimpulan sementara bahwa cerpen ini adalah sebuah cerita yang berhubungan dengan sejarah Indonesia.

Karena tidak kunjung menemukan topik pada cerpen pertama, Retha beralih ke cerpen selanjutnya, Dodolitdodolitdodolibret. Pada cerpen ini, Retha mulai menemukan kesamaan antara cerpen pertama dan cerpen kedua, meskipun diakuinya ada rentang waktu yang cukup jauh antara dua cerpen itu.

Kedua cerpen sama-sama mengangkat tema tentang keyakinan. “Di cerpen pertama, keyakinan yang ditonjolkan adalah keyakinan positif, sementara cerpen kedua, saya menemukan hal yang sebaliknya, kumpulan orang-orang yang tidak yakin,” jelas Retha.

Keyakinan yang digambarkan pada cerpen pertama ditunjukkan melalui Barnabas yang tetap pada keyakinannya sebagai pemburu yang berburu ikan  dengan cara lama, dan Klemens yang meninggalkan sekolah pendetanya dan terlibat dalam sebuah gerakan. Sementara pada cerpen kedua, yang menurutnya lebih jenaka, Retha mulai dengan sebuah pertanyaan: “Sebenarnya, seberapa besar ukuran keyakinan yang pas untuk setiap orang?”

Tokoh Guru Kiplik dalam cerpen Dodolitdodolitdodolibret menurut Retha adalah sosok yang tidak memiliki keyakinan. Guru Kiplik digambarkan sebagai sosok yang hanya mencari pengikut yang banyak dan mendapatkan kebahagiaan dari hal tersebut, bukan karena ajaran yang dibagikan. “Cerpen kedua ini juga menjadi refleksi banyak orang yang yakin dengan orang lain, tetapi tidak yakin dengan dirinya sendiri, dan itulah mengapa kita kehilangan jati diri,” tutup Retha. Retha memberikan bintang empat untuk kedua cerpen ini.

Kesempatan kedua diberikan kepada Hermin. Pada cerpen Mayat yang Mengambang di Danau, Hermin membagikan hasil pembacaannya dengan menggali filosofi-filosofi dalam cerpen tersebut. Barnabas misalnya, yang dikisahkan berenang seperti ikan. “Ikan itu tidak pernah berenang mundur, dia pasti bergerak maju. Dan dia selalu melawan arus,” ungkap Hermin yang menangkap situasi itu sebagai: Barnabas berusaha mempertahankan keyakinan melalui cara-cara lama.

Barnabas dan Klemens juga digambarkan sebagai dua tokoh yang kontras. Ketika Barnabas terus melawan arus dengan tetap menjadi pemburu ikan dengan cara tradisional, Klemens memutuskan menjadi seorang pendeta dan melakukan perlawanan dengan cara yang ekstrim hingga akhirnya dibunuh.

Sementara untuk cerpen Dodolitdodolitdodolibret, Hermin memberikan kesan yang menarik. Menurut Hermin, hal tersebut nampak sangat familiar. “Saya sering bilang ke teman-teman kalau Labuan Bajo itu keren, di sana ada komodo, tetapi saya sendiri belum pernah ke Pulau Komodo sampai sekarang, jadi sebenarnya saya meyakinkan orang lain dengan sesuatu yang saya sendiri belum tahu. Seperti Guru Kiplik yang meyakinkan orang lain untuk berdoa dengan benar supaya bisa berjalan di atas air tetapi ternyata dia sendiri tidak yakin akan hal itu,” tutur Hermin. Ia memberikan lima bintang untuk kedua cerpen.

Selanjutnya ada Edi, yang malam itu baru bergabung di Bincang Karya. Edi adalah mahasiswa di STFK Ledalero. Edi mengaku hanya membaca cerpen Mayat yang mengambang di Danau. Menurut  Edi, cerpen ini ditulis dengan bahasa yang baik untuk menggambarkan realitas yang ada. Tema yang diangkat dalam cerpen menurut Edi adalah wacana kebangsaan.

Edi menggunakan kutipan Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesama, untuk menghubungkan cerpen ini dengan situasi yang sedang terjadi di Papua; “yang belum tenteram secara sosial dan ekonomi, dan mahasiswa Papua yang tidak diterima di pulau lain, dan isu ini secara implisit maupun eksplisit diangkat dalam cerita.” Hasil pembacaan Edi terhadap cerpen Mayat yang Mengambang di Danau juga terfokus di Papua, karena Seno menuliskan Jayapura sebagai latar tempat di akhir cerita. Hal ini dibuktikan dengan Klemens yang diikat dengan bendera berwarna biru putih dan kain merah di mulutnya yang membuat Edi sampai pada kesimpulan bahwa bukti tersebut adalah bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka). Menutup hasil pembacaannya, Edi mengatakan, Seno melalui cerpen ini, ingin mengangkat isu kebangsaan, kebebasan, dan kesetaraan dengan memberikan bintang lima pada cerpen ini.

Setelah Edi, ada Arsy Juwandi yang menyampaikan hasil pembacaannya. Arsy memulai dengan cerpen  Dodolitdodolitdodolibret. Menurut Arsy, cerpen ini “bukan dunia milik Seno Gumira” jika dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain milik Seno, yang konsisten dengan isu-isu kemanusiaan. Namun, satu hal yang menarik menurutnya dalam cerpen ini adalah sudut pandang tentang nilai salah dan benar.

Pada cerpen Mayat yang Mengambang di Danau, Arsy tertarik dengan analogi ikan yang digunakan Seno. Dalam cerita, ikan-ikan lama semakin sulit dicari dan danau mulai dipenuhi ikan-ikan asing yang baru. Analogi ini tepat untuk menggambarkan situasi pembangunan di Papua yang salah satu dampaknya membuat masyarakat kehilangan bahasa ibu mereka. Arsy memberikan bintang dua untuk cerpen Dodolitdodolitdodolibret dan bintang empat untuk cerpen Mayat yang Mengambang di Danau.

Simak bagian selanjutnya tentang negara dalam dua cerpen Seno Gumira Ajidarma.

[nextpage title=”Cerpen Seno Gumira Ajidarma dan Negara”]

dr. Ronald Susilo, yang mendapat kesempatan berikutnya mengatakan dua cerpen Seno Gumira Ajidarma sangat relevan dengan kondisi kenegaraan saat ini sekaligus membuka cara pandangnya bahwa cerpen tidak melulu tentang cinta. Menurut Dokter Ronald, cinta pada dua cerpen ini berada pada taraf yang yang berbeda.

Cerpen Mayat yang Mengambang di Danau menurutnya merupakan ciri khas Seno Gumira Ajidarma. Hal tersebut tampak pada kisah orang-orang yang dihilangkan, juga kritik tentang negara demokrasi yang tidak bertindak demokratis. “Cerpen ini sangat relevan dengan keseharian kita di masa-masa sekarang, menjelang Pilkada. Orang-orang yang tidak sependapat, orang-orang yang mempertanyakan sesuatu, dianggap sebagai orang yang salah, orang yang harus dihilangkan, atau harus dimusnahkan,” tuturnya.

Tentang Dodolitdodolitdodolibret, Dokter Ronald menegaskan bahwa cerpen ini juga sangat relevan dengan tema kenegaraan kita saat ini, yaitu tentang agama, yang pertentangannya seputar tata cara agama yang menurut Dokter Ronald sangat teknis, tidak mendasar.

Armin Bell mendapatkan giliran setelah Dokter Ronald. Armin, yang memilihkan cerpen Mayat yang Mengambang di Danau untuk dibincangkan pada kesempatan ini, memberikan sejumlah alasan. “Lepas Reformasi ’98, ada banyak gerbang yang coba dibuka, termasuk tentang Papua. Cerita-cerita yang selama ini tidak kita ketahui tentang Papua, akhirnya dimunculkan ke publik. Dan butuh beberapa tahun bagi Seno Gumira untuk menulis kisah tentang itu,” jelas Armin.

Armin, yang juga mengikuti perkembangan isu di Papua—menjelaskan hal-hal yang diperjuangkan oleh masyarakat di Papua dan mengapa akhirnya mereka berbicara tentang kemerdekaan—menilai Seno sedang berusaha menceritakan apa yang ingin dilakukan Indonesia di Papua. “Dan karena dia wartawan, dia bisa menuliskan itu dengan sangat baik,” lanjut Armin. Pemilihan ikan dalam cerpen Mayat yang Mengambang di Danau juga sebagai pilihan yang sangat Indonesia, terlebih karena Indonesia adalah negara maritim. Cerpen ini layak dipilih untuk dibincangkan karena temanya yang ramai diperbincangkan saat ini. “Karena konflik kepentingan, konflik daerah, konflik agraria, SARA, adalah konflik yang tidak akan pernah selesai,” tutur Armin. Menurutnya, Seno Gumira Ajidarma menulis dengan intensi bahwa, ketika membaca ceritanya orang-orang akan terhubung ke situasi mereka, di mana saja dan di tahun berapa saja mereka membacanya.

Geero menyampaikan hasil pembacaannya setelah Armin. Pengalaman Geero membaca karya Seno Gumira Ajidarma sejak SMA serta menemukan sejumlah cerpen Seno yang muncul di cerpen pilihan Kompas, membuat Geero tertarik dengan diskusi kali ini. Menurutnya, karya-karya Seno tidak lepas dari profesinya sebagai wartawan. Kredo ‘ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara’ ditunjukkan dalam karya-karya Seno Gumira. “Kalau kita cek bagaimana profesi dia sebagai wartawan, pengalaman dia di lapangan seperti apa, kemudian dia berhadapan dengan rezim orde baru, dan seandainya media tidak bisa mengangkat itu, dia selalu mem-back-up itu dengan media lain, yaitu cerita, untuk menyampaikan kegelisahannya,” jelas Geero.

Tentang hasil pembacaan kedua cerpen ini, Geero merasa terbantu dengan referensi cerpen-cerpen ini yang sangat dekat dan mudah divisiualisasikan. Namun, sama seperti Retha, Geero juga mempertanyakan apa yang ingin diceritakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen-cerpennya ini? Geero kemudian mengakui bahwa jawaban-jawaban dari pertanyaan ini akhirnya ia dapatkan dari hasil pembacaan peserta Bincang Karya Petra malam itu. Jawaban-jawaban itu juga, setelahnya, mempengaruhi Geero untuk merasakan tegangan-tegangan yang muncul di dalam cerpen. Geero memberikan bintang empat untuk kedua cerpen ini.

Marto, yang mendapat kesempatan selanjutnya, memulai dengan kredo Seno Gumira Ajidarma yang spiritnya mempengaruhi percobaan-percobaan bentuk pada kedua cerpen. Pada cerpen Mayat yang Mengambang di Danau, Marto menikmati diksi-diksi dan rangkaian kalimat yang dipakai. Menurut penulis cerpen Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya ini, penggambaran tentang ikan dalam cerpen membawa pembaca untuk masuk dalam visualisasi itu dan fokus untuk menikmati pengalaman seolah-olah berada di sana. Bentuk-bentuk tersebut juga ditemukan Marto lewat paragraf-paragraf yang muncul dalam cerita: “Setelah paragraf yang panjang, akan muncul paragraf yang hanya berisi satu atau dua kalimat saja.”

Menanggapi tegangan-tegangan yang sebelumnya disinggung oleh Geero, Marto menjelaskan bahwa tegangan-tegangan itu bisa dirasakan ketika pembaca mampu memahami konteks, sehingga pembaca bisa merasakan ketegangan apa yang ingin disampaikan oleh Seno melalui cerpen-cerpennya.

Dalam cerpen Dodolitdodolitdodolibret, Marto mengagumi kepengrajinan Seno untuk membuat cerita ini menjadi versinya sendiri. Cerpen ini sendiri pernah dianggap tidak orisinil sebab sangat dekat dengan The Three Hermits (Tiga Pertapa) karya Leo Tolstoy. Marto sendiri mengamini cerita ini sebagai cerita yang familiar, yang ada di setiap agama, dan budaya, dan Seno berusaha untuk menyampaikan hal tersebut kepada pembaca dengan caranya sendiri melalui cerita pendek. Marto memberikan bintang 4 untuk kedua cerpen ini.

Dede Aton (Eka Putra Nggalu) yang juga bergabung malam itu dan merupakan seorang pembaca setia karya-karya Seno, mengaku penasaran, mengapa Seno memiliki intensi untuk menulis kembali cerita dengan tema seperti yang terdapat di dalam cerpen Dodolitdodolibret dengan gaya yang menurutnya tidak cukup inkulturatif. “Nilai-nilai Indonesia-nya tidak terlalu muncul, lokalitasnya juga tidak begitu mencolok,” ungkap Dede.

Namun, menurut Dede cerpen ini bisa mewakili seluruh ide dan visi estetika dari karya-karya Seno Gumira Ajidarma yaitu karya postmodernisme. “Kalau kita lihat, konten di Dodolitdodolitdodolibret ini, kritiknya terhadap modernitas kuat sekali. Kalau kita melihat Kiplik sebagai guru, dia pada akhirnya mendapatkan cara berdoa yang baik, berarti dia mendapat pencerahan. Kalau kita lihat sejarah modernisme dimulai dari Renaisans dan lalu pencerahan, dan misi katolik sebenarnya juga bagian dari kolonialisme, yang kemudian ide berdoa dengan cara yang baik itu dijalankan lewat misioner ke daerah-daerah,” jelas Dede yang beberapa tulisannya ada di bacapetra.co.

Menurut pegiat Komunitas KAHE ini, karya yang melampaui modernisme dan mengambil corak kolonial salah satunya ada dalam cerpen ini. “Cerpen ini sangat postmodernis, sangat kaya akan kritik terhadap klaim kebenaran tunggal, kebenaran yang universal, juga kritik terhadap mekanisme kolonialisme yang tanpa sadar terjadi di berbagai kebudayaan dan masyarakat,” lanjut Dede.

Ide yang sama, menurut Dede juga muncul di cerpen Mayat yang Mengambang di Danau. Jika Marto mengangkat perkara bentuk pada cerpen tersebut, Dede mengangkat cara Seno menyejajarkan metafor-metafor. “Misalnya, Barnabas pernah mendengar anaknya mengatakan Homo Homini Lupus, dia juga memiliki pengalaman melihat ikan memakan ikan, lalu dia bertanya apakah manusia juga memakan manusia?” Penyejajaran lainnya juga muncul; “ketika ikan besar keluar dari kawanan, ada upaya disintegrasi, lalu dia (SGA) tambahkan kalimat bahwa cukup tangkap dua atau tiga ikan besar saja, yang lain itu dibiarkan saja, yang disejajarkan dengan Papua yang kaya, yang patut dipertahankan.”

Pada cerpen ini, Dede juga kembali mengangkat tentang modernisme dan kolonialisme (dengan kemerdekaan menjadi buah dari kolonialisme). “Seno menyampaikan kritik kepada modernis melalui kehadiran gereja, dan momen Klemens keluar dari sekolah pendeta menjadi sebuah bentuk pembangkangan dalam cerpen ini,” tutur Dede.

Terakhir, Dede menyoroti simbologi tentang kain yang mengikat dan menyumbat Klemens, yang merupakan warna bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagian ini menjadi hentakan dalam cerpen Mayat yang Mengambang di Danau.

Hasil pembacaan tentang bendera OPM ini kemudian ditanggapi oleh Maria Pankratia yang menanyakan, “Siapa yang sebenarnya membunuh Klemens? OPM atau pihak lain yang menggunakan OPM?”

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Armin Bell, yang menjelaskan bahwa praktik-praktik ini adalah hal yang biasa dalam kolonialisme. “Yang Seno tampilkan adalah praktik-praktik yang sudah lama ada di Papua. Ketika seseorang dibunuh, mereka akan meletakkan satu barang bukti, yang jika ditelusuri seolah-olah merujuk musuh atau pihak oposisi. Hal ini adalah hal yang biasa dalam praktik kolonialisme, dalam skema perebutan wilayah,” papar Armin.

Armin juga menanggapi hasil pembacaan Dede Aton tentang dunia perlawanan yang dibawa Seno Gumira ke dalam cerpen-cerpennya. Menurut Armin, menjadi wartawan di era orde baru mempengaruhi kesulitan Seno untuk menurunkan hasil liputannya ke media yang saat itu dikuasai rezim. Hal inilah yang kemudian membuat Seno menulis cerpen sebagai formulasi baru, agar hasil liputannya di lapangan bisa sampai kepada publik dan dibaca.

Demikian bincang karya malam itu berlangsung menarik dan luar biasa padat. Diskusi ditutup tepat pukul 23.00 Waktu Indonesia Tengah. Pantau terus media sosial Klub Buku Petra untuk mendapatkan informasi tentang Bincang Karya selanjutnya. Sampai Jumpa!


Baca juga:
Cerpen Surya Gemilang | Mimpi-Mimpi Seorang Buruh
Cerpen Selo Lamatapo | Lubang Besar di Hutan Tebu

Komentar Anda?