Menu
Menu

Boko dan Wakyat adalah dua cerpen Putu Wijaya yang dibahas dalam Bincang Karya Klub Buku Petra.


Oleh: Saverinus Suhardin |

Notulis. Penulis buku “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”. Salah satu cerpennya akan diterbitkan dalam Antologi Cerpen ODGJ (Kerja sama Klub Buku Petra dan Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose).


“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” (Pramoedya Ananta Toer, House of Glass).

Kalau kita adaptasi kutipan penulis kondang itu untuk menggambarkan secara umum jalannya diskusi atau bincang karya yang dihelat oleh Klub Buku Petra (KBP) atas dua cerpen milik Putu Wijaya, Boko dan Wakyat, maka bisa dituliskan seperti ini: Cerpen itu sungguh sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsiran pembacanya saja.

Sebelum kita masuk pada penafsiran pembaca yang hebat-hebat itu, ada baiknya saya perlu jelaskan dulu kenapa tugas notulis ini tidak dilakukan oleh Maria Pankratia sebagaimana biasanya. Dari belasan laporan bincang buku yang tayang di bacapetra.co, sebagian besar ditulis Kak Mar; begitu ia biasa disapa.

Bermula dari Kelas Klub Buku Petra (KBP) yang mengangkat topik khusus tentang Mengelola Bincang Buku, selanjutnya kami sebagai peserta didorong untuk mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dan didiskusikan bersama. Karena itu, KBP meluncurkan program baru yang bernama: Bincang Karya. Konsepnya sama dengan Bincang Buku KBP, tapi yang terbaru ini jenis karyanya berupa cerpen dan berlangsung secara daring dengan memanfaatkan aplikasi Zoom.

Setelah selebaran Bincang Karya itu telah disebarkan, di grup WA Kelas KBP, Kak Mar menawarkan kepada peserta untuk menjadi penggantinya sebagai notulis. Saya berpikir, barangkali ini juga kesempatan praktik dari kelas yang kami ikuti, sehingga tanpa menimbang terlalu lama, saya langsung menyatakan kesediaan. Itulah kenapa catatan saya ini sampai kepada Anda, menggantikan posisi Kak Mar yang sudah sering Anda baca selama ini.

***

Baiklah, kita kembali pada laporan jalannya kegiatan Bincang Karya KBP pertama yang berlangsung pada Sabtu (18/07/2020) jam 19.00 WITA itu. Peserta yang bergabung dalam ruang Zoom memang segaja dibatasi demi efektivitas diskusi, hanya 14 orang ini saja: Maria Pankratia, dr. Ronald Susilo, Hermina, Marto Lesit, Retha Janu, Ricky Ullu, Ikbal, Sahnaz, Saverinus Suhardin, Yanti Lengo, Arsy Juwandi, Mario Geero, Fr. Lolik, dan Armin Bell.

Kak Mar memulai perbincangan malam itu dengan sedikit basa-basi pembuka, kemudian dr. Ronald yang bertugas sebagai pemantik diskusi langsung mengambil alih dengan penuh semangat. Hal itu tergambar jelas dari ekspresi wajahnya yang sangat antusias, vokal suaranya yang terdengar lantang, dan senyuman ramah yang terus terlihat di layar laptop.

Dokter yang mencintai dunia literasi itu bercerita sebentar tentang alasan kenapa cerpen milik Putu Wijaya yang diperbincangkan pada malam Minggu itu. Ternyata beliau adalah penggemar berat sastrawan asal Bali tersebut. Begitu ditawarkan pada anggota KBP lainnya, ternyata disambut positif.

Selain itu, bila dibandingkan dengan buku novel, karya cerpen yang pernah terbit di media massa jauh lebih mudah didapatkan peserta yang domisilinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setiap orang mendapatkan file cerpen yang diakses secara gratis dan legal.

Ada dua cerpen yang dibahas malam itu: Cerpen “Boko” yang terbit di Kompas pada 22 April 2018 dan cerpen “Wakyat” yang terbit pada media yang sama pada 28 April 2019. Sebagai orang yang pernah membaca sebagian besar karya Putu Wijaya, dr. Ronald menyinggung tentang karakteristik judul dari setiap karyanya yang selalu pendek; paling banyak menggunakan judul satu kata saja. “Tapi, satu kata ini akan mengundang banyak tanya dan banyak diskusi,” jelasnya kemudian.

Pendiri Yayasan Klub Buku Petra itu sangat terkesan dengan paragraf pembuka dari cerpen Boko: langsung menyajikan masalah utama dari cerita. Putu Wijaya tidak bertele-tele dengan bahasa yang mendayu-dayu, tapi langsung mendeskripsikan adegan. “Paragraf pertama ini sangat Putu Wijaya,” katanya dengan mantap.

Ada dua kata yang tidak lazim didengar dari cerpen Boko, dan menurut sang pemantik perlu dibahas juga, yaitu: Bromocorah dan Kereng. Setelah dicek pada KBBI, ternyata kata pertama itu bentuk tidak baku dari “Bramacorah” yang merupakan padanan dari residivis atau orang yang melakukan pengulangan tindak pidana. Sedangkan kata yang kedua sepadan dengan kata “Garang” atau kita biasa bilang muka keram.

Kenapa penulis sekelas PW dan editor Kompas membiarkan penulisan kata pertama yang tidak baku tersebut? Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh dr. Ronald, mungkin itu sebagai bagian dari gaya khas PW juga dikenal yang ceplas-ceplos, sehingga tidak memedulikan soal baku atau tidaknya kata tersebut.

Pemantik diskusi itu juga terkesan dengan cara PW dalam melukiskan suasana atau adegan sedih tanpa menggunakan kalimat yang terlalu mendramatisir. Pengarang menerapkan prinsip “Show, don’t tell” dengan sangat baik, seperti contoh ptongan kalimat ini: “’Aku yang peduli, Pak’, kata istrinya sambil menghapus air mata.” Bagi dr. Ronald, kalimat itu sangat kuat, sehingga membuat dirinya ikut merasa sedih.

Bagian akhir cerpen Boko itu juga tidak kalah memikat hati dr. Ronald. Menurutnya, akhir cerpen itu sangat unik, menyisakan suatu keadaan yang ia istilahkan sebagai “teror mental.” Artinya, cerita itu terus melekat dalam benak dirinya sebagai pembaca dan memantik banyak pertanyaan dalam rongga kepala.

Cerpen itu ditutup dengan kalimat, ”Sialan, aku kira si Boko. Untung orangnya polos.” Itulah salah satu contoh teror mental yang dr. Ronald maksudkan, kalau salah satu tokoh menganggap orang yang ditemuinya itu bukan Boko, terus tokoh Boko yang dinarasikan dalam cerita itu siapa?

Bagian lain yang disoroti pemilik blog opinisehat.com itu adalah tentang panjang-pendek atau jumlah kata cerpen yang telah terbit di Kompas tersebut. Setelah diteliti, ternyata hanya berjumlah 1.065 kata saja, padahal Kompas mensyaratkan sekitar 2.000 kata. Menurutnya, cerpen itu tetap layak terbit karena nama besar penulisnya. Karena itu, bagi yang masih belajar menulis, dr. Ronald menyarankan patuhi ketentuan redaktur media massa yang ingin dituju.

Cerpen kedua, Wakyat, dr. Ronald memberi penilaian yang kurang lebih sama dengan cerpen pertama. Bagian pembukanya, sama-sama memikat, hanya pada cerpen ini dibuka dengan dialog yang lumayan panjang antara Bu Amat dan suaminya. Dialog itu mungkin terkesan sederhana, tapi menurutnya, membuat dialog seperti itu tidaklah mudah.

Mengenai hal itu, AS. Laksana yang dikenal sebagai penulis kaliber sekalipun, masih mengeluhkan betapa sulitnya membuat dialog yang berkesan dalam cerita. Dalam status FB-nya yang teranyar, Sulak menulis seperti ini: Apa bagian yang paling mudah dikerjakan di dalam penceritaan? Tidak ada. Dan, dari semua bagian yang tidak mudah itu, dialog adalah yang paling sulit. Setidaknya, ia paling sulit menurut saya.

Bagi dr. Ronald, dialog yang dibuat Putu Wijaya cukup berhasil. Dia merasa seperti sedang menonton teater, drama atau pentas seni lainnya ketika membaca bagian tersebut. Konflik yang diciptakan dalam cerpen ini juga dianggap masuk akal; memenuhi syarat sebagai sebuah cerita yang baik.

Cerpen Wakyat ini juga menyisakan teror mental bagi dr. Ronald. Ia terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Wakyat itu? Wakil rakyat, kah? Atau apa? Dari sisi jumlah kata, cerpen ini pun tergolong pendek dibandingkan syarat yang biasa ditetapkan redaktur media massa.

Bagian selanjutnya berisi komentar peserta Bincang Karya yang lain.

[nextpage title=”Putu Wijaya Menyentuh Rasa dan Logika”]

Hermin, salah satu anggota Bincang Buku KBP yang berdomisili di Ruteng, mendapat giliran kedua untuk menyampaikan hasil bacaannya. Saking bagusnya kedua cerpen tersebut, ia mengaku langsung jatuh cinta dengan Putu Wijaya, yang disebutnya sebagai: penulis yang simpel tapi bikin orang punya pikiran itu ke mana-mana.

“Dia penulis yang mampu membuat pembacanya tidak hanya rasa yang bermain, tapi juga logika,” aku pengagum Remy Sylado yang malam itu harus menduakannya dengan Putu Wijaya. Perbincangan sesi ini agak tersendat karena gangguan jaringan internet. Pada akhirnya Hermin berikhtiar untuk membaca terus karyanya yang lain.

Marto Lesit sebagai pembahas ketiga menilai, dari karakter cerpen atau karya lainnya terlihat bahwa Putu Wijaya punya kacamata sosial bagus dan sangat kental dengan dramaturginya. Pemenang I Lomba Cerpen ODGJ yang diselengarakan KBP itu juga memberi penilaian cukup banyak, yang bila diringkas mencakup hal berikut ini: penulis memulai cerpennya tanpa mengenalkan isi ceritanya lebih dahulu; Boko dan Wakyat ini sederhana karena datang dari hal yang sangat relate dengan banyak orang; dan tergolong sebagai flash fiction karena pendek.

Dia menambahkan keunikan dari cerita-cerita ini terletak pada kemampuannya membuat pembaca harus punya persepsi sendiri atas cerita, penggunaan kata yang unik seperti “Wakyat”, mampu memindahkan lakon sehari-hari ke dalam cerita, dan alur cerita sangat sederhana.

Dia juga mengakui Putu Wijaya sangat baik dalam riset dan sastra, sehingga menghasilkan karya yang mudah diterima pembaca. Meski begitu, diksi yang biasa dipakainya dianggap terlalu biasa dan Putu Wijaya kurang banyak memberikan deskripsi tentang tokoh dalam ceritanya.

Retha Janu, pembahas ke-4 malam itu mengaku baru membaca karya Putu Wijaya. “Saya kurang suka dengan Wakyat,” terangnya lugas. Alasannya, cerpen itu tidak memberi kepuasan apa-apa. Bagi Retha, cerpen yang baik adalah cerpen yang memberi rasa puas bagi pembacanya.

Lantas ia bertanya, apa kriteria karya sastra yang baik? Apakah cukup dengan kriteria puas dari pembaca saja?

Dokter Ronald yang menjadi sasaran pertanyaan itu berusaha menjelaskan panjang-lebar. Intinya, pembaca diberi kebebasan menilai sebuah karya. Penilaian itu sangat subyektif, sehingga kalau mau memakai kriteria “puas” sebagai indikator karya yang baik, itu sah-sah saja.

Ricky Ullu dari Atambua sebagai pembahas kelima menilai “Wakyat” lebih baik daripada “Boko.” Pegiat Komunitas Pohon Asam itu lebih tertarik pada cerpen Wakyat karena cara dialog para tokohnya yang menarik. Sialnya, kondisi sinyal membuat beberapa bagian pembahasannya sempat terpotong.

Pembahas ke-6 datang dari jauh, ia orang Makassar yang saat ini sedang kuliah di Jogja. Namanya Ikbal. Secara umum ia kagum dengan sosok Putu Wijaya yang meski sudah berusia lanjut, tapi daya imajinasinya tetap kuat. Ikbal setuju dengan pandangan umum pembaca sebelumnya, tapi ia lebih fokus pada isu-isu kesetaraan gender yang terimplisit dalam Boko dan Wakyat. “Keduanya sama-sama menyajikan tokoh suami-istri, sehingga relasi keduanya menyajikan isu keseteraan gender yang cukup kental,” tutur Ikbal.

Seperti Retha, ternyata Sahnaz sebagai pembicara ke-7 juga baru pertama kali menikmati karya Putu Wijaya. Meski begitu, ia cukup menikmati ceritanya, sehingga langsung menangkap gaya khas sang maestro sastra.“Cerpen ini menyindir kan, tapi yang disindir nggak membaca dan nggak tau diri,” begitu kesimpulan umum dari Sahnaz yang disambut antusias oleh peserta lain.

Pada cerpen Boko, ia menilai kalau di situ juga tersirat tentang praktik oligarki yang ditunjukkan orang atau tokoh yang berlencana; ia membujuk Boko untuk kembali menjadi penjahat. Sedangkan pada cerpen Wakyat, Sahnaz menganggap ada cerminan dari masyarakat kita, khususnya yang tinggal di pedesaan, tidak begitu update dengan berita politik atau hal yang berkaitan dengan wakil rakyat. Dari kedua cerpen tersebut, ia lebih menyukai Boko.

Saya agak kaget ketika Ka Mar yang berperan sebagai moderator diskusi kami saat itu, tiba-tiba menyebut nama saya sebagai pembahas ke-8. Saya sontak diserang sindrom bingung mau bicara apa, sebab hal yang sudah disiapkan sejak awal, hampir sudah disinggung oleh pembicara sebelumnya.

Tapi karena forum ini mewajibkan setiap peserta berkomentar, saya mulai berimprovisasi sebisanya, meski pada akhirnya tetap lebih banyak klise. Intinya, saya menyukai cerpen-cerpen Putu Wijaya. Dua cerpen yang dibahas pun sarat makna. Putu Wijaya sangat baik membangun karakter setiap tokohnya, sehingga terus membekas dalam ingatan. Saya ikut simpati dengan setiap konflik yang dihadapi para tokoh dalam cerpen tersebut.

Selanjutnya Yanti Lengo yang mendapat giliran bicara. Pembahas ke-9 itu mengaku baru pertama kali ikut kegiatan bincang karya. Meski begitu, ia tetap menyampaikan hasil bacaannya dengan baik.

“Iya sepakat dengan pendapat Retha, bahwa cerpen Wakyat itu kurang menarik. Iya menilai cerpen Boko yang lebih bagus, dengan alasan yang kurang lebih sama dengan pembahasan dr. Ronald dan pendapat saya tentang karakter istri Boko yang begitu tabah menghadapi cobaan hidup,” jelas Yanti.

Arsy Juwandi yang dapat giliran berikutnya memuji kemampuan Putu Wijaya dalam menggunakan simbol pada cerpen Wakyat. Ia juga tertarik pada tokohnya. Bagian awal, Wakyat digambarkan sebagai satu orang tokoh. Tapi, pada bagian akhirnya malah disebut sebagai “wakil rakyat” yang ditafsirkan menjadi sekelompok orang.

Sebagaimana Ikbal, Arsy juga melihat ada masalah gender yang digambarkan dalam cerpen tersebut. Selain itu, kemampuan Putu Wijaya dalam bercerita juga menyadarkan kita bahwa, jika ingin menyampaikan sesuatu, bisa disalurkan lewat medium tulisan sederhana sebagaimana Boko dan Wakyat, dua cerpen yang diperbincangkan malam itu.

Pendapat Mario Geero kurang lebih sama dengan Marto, bahwa Putu Wijaya memiliki kegelisahan pada masalah-masalah sosial di sekitarnya; sebagian besar ide cerpennya tentang masalah sosial dan ia dianggap berhasil menyampaikan pesan karena mampu menulis cerita dari kehidupan sehari-hari menggunakan kalimat pendek dan mudah dipahami. Geero hanya bermasalah pada selera Putu Wijaya yang terlalu “tua” dan belum mampu menyesuaikannya dengan kegelisahan remaja masa kini.

Fr. Lolik berseberangan dengan Marto dan Geero. Menurut dia, Putu Wijaya justru tidak menunjukkan adanya kegelisahan sosial. Calon pastor itu menganggap Putu Wijaya sedang mengelola psikologis pembaca lewat cerpennya itu. Boko dan Wakyat itu memainkan psikis pembaca, sehingga ikut merasa terlibat dalam cerita dan bebas memberi penilaian.

Kae Armin Bell sengaja diberi kesempatan terakhir. Penulis kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam itu menilai, Putu Wijaya lebih unggul dalam (menulis) novel dan naskah monolog dibanding cerpen. Kelemahannya, menurut Armin, ada pada ketidakmauannya menggambarkan lanskap sebuah cerpen, sehingga tidak memberikan imajinasi yang jelas pada pembaca. ‘Ketidaklengkapan’ unsur itu membuat karyanya kurang layak dijadikan contoh bagi pembelajar yang ingin menulis cerpen.

Meski begitu, secara umum, Armin tetap memuji Putu Wijaya yang diidolakan dr. Ronald dan mayoritas peserta lainnya. “Tapi, Putu Wijaya hebat, Nal,” tutupnya sambil menggoda penggemar berat Putu Wijaya itu.

Demikian bincang karya malam itu diakhiri dengan memberikan bintang kepada dua cerpen Putu Wijaya yang telah kami bedah bersama. Masing-masing cerita disemat Bintang Tiga oleh seluruh peserta. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam tersebut ditutup oleh Kak Mar selaku moderator menjelang pukul 22.00 WITA. Kabarnya, Bincang Karya ini akan rutin dilakukan setiap bulan. Pantau saja media sosial resmi Klub Buku Petra untuk mendapatkan informasi selanjutnya.(*)


Baca juga:
– Cara Berbahagia Tanpa Kepala dan Gerbang yang Masih Tertutup
– Menikmati Konflik dalam Novel Kerudung Merah Kirmizi

Ilustrasi diambil dari sini.

Komentar Anda?