Menu
Menu

“Gunung Ungaran” adalah novel otobiografi Nh. Dini. Novel ini terbit beberapa bulan sebelum sastrawan besar itu tutup usia. Siapa Nh. Dini dan apa yang dia ceritakan?


Oleh: Ronald Susilo |

Dokter Ronald menulis artikel-artikel kesehatan dan esai-esai tentang buku dan literasi di opinisehat.com. Sehari-hari mengelola praktik pribadi di Ruteng. Juga menjadi pendamping ODGJ di Klinik Jiwa Renceng Mose.


Nh. Dini telah pergi ke tempat yang lebih tinggi dari Gunung Ungaran. Penulis besar itu telah kembali ke pangkuan Ilahi akhir tahun 2018 lalu; “Gunung Ungaran” adalah judul bukunya yang terakhir.

Saya mendapat buku terakhir Nh. Dini ini, saya menyebutnya: harta. Tentu tidak berisi warisan berupa uang, tanah, atau surat-surat berharga, tetapi kekayaan proses kreatifnya. Ditulisnya dengan baik dalam buku yang judul lengkapnya adalah “Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya”.

Eh, sabar dulu. Anda tahu Nh. Dini itu siapa? Jika tidak mengenalnya, saya pikir Anda lahir di zaman milenial pertengahan ke atas. Atau tidak terlampau gemar membaca novel.

Bagi generasi X dan milenial awal, seperti saya tentunya, novel-novel Nh. Dini sangat fenomenal. Siapa saja yang pernah membacanya mungkin akan bilang, saya juga bisa menulis novel seperti itu. Benar belaka. Tulisan Dini sangat mudah untuk diikuti. Diceritakan dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Alur plotnya linear, sehingga hampir semua umur bisa menikmatinya. Kecuali anak-anak tentunya.

Kembali ke pertanyaan tadi. Apakah Anda, yang membaca tulisan ini, mengenal salah satu pengarang besar Indonesia ini? Mengenal maksudnya, pernah membaca karya-karyanya.

Untuk lebih mudah (atau malah memanjangkan cerita?), saya ubah pertanyaannya. Apakah Anda pernah mendengar film ‘Despicable Me‘? Pernah mendengar nama boneka animasi lucu: Minion? Saya yakin kalau mendengar minion hampir semua orang tahu. Minion itu ciptaan salah seorang anak Nh. Dini. Anaknya dua orang. Satu tinggal di Kanada dan satunya lagi di Perancis. Anak yang di Perancis inilah ‘bapak’ dari Minion itu. Masih bingung? Pokoknya begitu.

Tulisan ini adalah cerita tentang bagaimana saya ‘bertemu’ dengan buku terakhirnya beberapa saat setelah penulis bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini itu meninggal dunia di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang pada tanggal 4 Desember 2018. Dia lahir pada tanggal 29 Februari 1936. Juga di Semarang.

Gunung Ungaran

Ketika mendengar kabar Nh. Dini telah mangkat, saya menemukan satu bukunya di toko buku. Buku ini terbit pada Agustus 2018, berjudul “Gunung Ungaran”, sebuah novel yang lebih banyak berisi otobiografi proses kreatifnya.

Novel otobiografi ini mengambil plot antara tahun 2006 sampai 2018. Mulai kepindahan Dini dari Yogyakarta ke rumah tuanya di Semarang. Dari buku itu (dan cerita-cerita lainnya) saya tahu, hingga berumur 82 tahun, Dini masih menulis setiap hari. Luar biasa daya tahannya. Menulis baginya adalah kewajiban.

Tidak hanya menulis ternyata. Dia juga pandai melukis. Beberapa lukisannya pernah di pamerkan dengan ilustrasi katalog oleh Triyanto Triwikromo. Siapa pula Triyanto ini? Silakan cari informasinya lebih banyak di banyak tempat.

Setelah membaca buku ini dan saat mulai menulis catatan ini, saya kembali teringat judul tulisan berseri Armin Bell di blognya, “Menjadi Blogger Tidak akan Buat Seseorang Mendadak Keren”. Menjadi penulis juga begitu. Tidak langsung membuat orang menjadi keren. Yang diperlukan adalah konsistensi menghasilkan karya. Seperti yang dilakukan Nh. Dini.

Dalam Gunung Ungaran, dia berkisah tentang susahnya hidup dari menulis. Kesan dari kisahnya: penulis-penulis belum dihargai dengan baik. Honor-honor penulisan masih jauh di bawah standar. Untuk mengikuti festival atau pertemuan sastra, banyak penulis tidak bisa hadir karena biaya.

Mendapat penghargaan dalam kepenulisan, tidak membuat orang mendadak keren. Ingin menerima penghargaan di Bali atau Jakarta misalnya, penulis harus memikirkan biaya transportasi, akomodasi dan lain-lain. Di manakah peran pemerintah?

Satu nasihat Dini tentang ini. “Jika menulis tidak menghasilkan uang, maka carilah pekerjaan lain untuk membiayai proses menulis Anda”.

Di negeri tetangga, penulis mendapat gaji tetap dari pemerintah. Bahkan sampai gaji pensiun dijamin. Alasannya, karena sudah membantu negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Di satu negara yang lain, para pengacau dan perusak kehidupan orang banyak malah disegani pemerintah dan tidak sedikit juga dibiayai. Apakah itu di Indonesia? Saya kurang tahu.

Suka Duka Menjadi Penulis

Di satu bagian buku Gunung Ungaran, Dini menulis betapa iri dirinya terhadap penulis-penulis baru. Betapa tidak, mereka baru saja menulis satu atau dua novel langsung mendapat penghargaan bergengsi. Dini merasa dunia menjadi sangat tidak adil. Telah menulis puluhan tahun, tetapi tidak pernah mendapat satu penghargaan prestisius. Salahnya di mana?

Akhirnya Dini menemukan jawaban. Ternyata pergaulan dan konektivitas dengan para teman sejawat penulis adalah penting, bahkan sangat penting. Dia mengawalinya dengan mengikuti Akademi Jakarta (AJ): kumpulan para dewa sastra Indonesia yang saat itu berkantor di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dengan bergabung di situ, Dini mendapat konektivitas tanpa batas.

Langkah berikutnya mengikuti pertemuan di Korea Selatan dengan tema: Pertemuan 100 Pengarang Asia-Afrika. Di sana Dini menemukan banyak penulis besar, salah satunya adalah Nawal El Saadawi. Untuk yang satu ini, saya yang iri dengan Dini.

Dini mulai mendapat hasilnya. Ada penghargaan Francophonie untuk penulis yang menggunakan Bahasa Perancis dalam karyanya. Dini pernah menerjemahkan novel Albert Camus, terbitan Obor: “Sampar” (1983). Setelahnya ia mendapat penghargaan dari Bakrie Foundation.

Berbagai festival sastra diikutinya. Festival Sastra di Ubud dan di Makasar, sampai ke Jerman untuk mengikuti Frankfurt Book Fair bersama Sapardi dan Ahmad Tohari. Dini meluangkan waktu untuk itu: masuk dalam lingkungan para penulis.

Bakdi Sumanto, Goenawan Mohamad, Radar Panca Dahana, Rendra, Taufiq Ismail, A.A. Navis dan masih sangat banyak lagi para dewa Sastra Indonesia mulai menjadi teman diskusi Dini. Akhirnya, Dini mendapat penghargaan paling bergengsi: Life Achivement Award di Ubud Writer & Readers Festival 2017. Terjawab sudah kegalauan hatinya.

Hidup Nh. Dini

Sejak dahulu, Dini mempunyai jadwal tetap menulis. ‘Tidak ada kata tidak ada waktu menulis’. Kurang lebih begitu nasihatnya.

Menulis tidak ada hubungannya dengan latar pendidikan. Sebab, Dini ternyata tidak pernah menempuh jenjang pendidikan standar (S1, S2, S3). Demikian juga sekolah khusus untuk menulis. Membaca dan membaca lebih banyak adalah jurus memperbanyak ide tulisan. Menulis itu soal kemauan.

Di usia 82 tahun, di tengah kedisiplinan menulis, Dini digempur penyakit vertigo dan osteo artritis. Namun, ia tetap menulis. Tidak ada alasan untuk berhenti menulis. Di penghujung buku ini, Dini kembali mengingatkan pemerintah pusat sampai ke daerah akan perannya sebagai katalisator dunia tulis menulis.

Pemerintah, yang fungsinya mengatur kehidupan masyarakat, sangat diharapkan memikirkan juga bidang budaya literasi di daerah masing-masing. Tidak hanya bidang infrastruktur jalan dan bangunan. Kalimat terakhir itu tentunya adalah tambahan saya. Agar paragraf menjadi lebih lengkap dan afdol.

Baiklah, sampai di sini dulu tulisan ini. Terima kasih telah membacanya. Selamat jalan Ibu Nurhayati Sri Hardini. Jasamu akan kami kenang lewat tulisan-tulisan yang tidak akan hilang ditelan waktu. Semoga kami akan selalu mengikuti jejakmu, yang kini ada di tempat yang paling tinggi, tanpa mengeluh. Tidak ada waktu untuk tidak menulis. (*)


“Saya dan Buku” adalah rubrik baru di bacapetra.co. Semua orang boleh menulis untuk rubrik ini, berbagi pengalaman personalnya tentang buku, tips membaca, cara menata buku, atau cerita-cerita lainnya. Kirim tulisan Anda ke [email protected].

Komentar Anda?