Menu
Menu

Monolog Hikayat Resah dipentaskan di Ruteng pada tanggal 27 Desember 2020.


Oleh: Geril Ngalong |

Dipercaya oleh kawan-kawan sebagai koordinator Komunitas Rumah Baca Aksara.


Pekik melengking. Suara minta tolong berulang-ulang diteriakkan dari balik panggung sebelum tiba-tiba semuanya hening tepat ketika lampu dimatikan. Masing-masing menunggu dengan sunyi. Membendung rasa penasaran. Apa yang akan terjadi?

Tak lama berselang, sang aktor, yang mengenakan pakaian putih lusuh itu, memasuki panggung dengan mimik dan gerak yang ekspresif. Mengisyaratkan ketakutan. Ada keresahan yang terpampang yang ingin segera ia sampaikan, ada ketakutan yang tak tertahan, juga ada amarah yang tak terbendung. Sambil berlari, ia menarik-narik rambut panjangnya hingga tak beraturan.

Ia menangis, tubuhnya tergeletak di lantai. Bahasa mulai bergerak ke arah paling batin dan cukup sulit diartikulasikan. Hampir mirip orang kesurupan. Disusul suara lantang berteriak: “Saya ada di sini karena saya sudah resah dengan keadaan. Tolong hentikan semua ini, tuan. Tentang kalian yang begitu serakah membuat kawan menjadi lawan. Saya ada di sini karena saya sudah gelisah dengan keadaan, tolong hentikan semua ini, tuan. Saya ini manusia.”

Suguhan awal yang cukup mencekam itu merupakan prolog yang diperlihatkan oleh Yudi Pous selaku aktor utama dalam pementasan monolog bertajuk Hikayat Resah, yang dilaksanakan pada hari Minggu, 27 Desember 2020 di Aula Ka Redong-Ruteng.

Menghadirkan panggung kesenian di penghujung tahun, projek kolaborasi yang digagas bersama Valeria Rahmat sebagai sutradara ini, begitu menghibur sekaligus mengisyaratkan makna refleksi yang mendalam tentang situasi sosial masyarakat di tengah pandemi global Corona Virus Disease 2019 atau disingkat Covid-19.

Adegan per adegan ditampilkan dengan lugas. Dialog, gerakan, dan ekspresi mengungkap tabir yang mampu membangkitkan daya imaji penonton. Transisi lakon dari dua karakter dengan percakapan yang tajam, kerap menarik pusat perhatian penonton. Ada beragam cerita yang diutarakan, khususnya kondisi yang melumpuhkan setiap sendi kehidupan masyarakat. Dari dunia pendidikan, kegiatan keagamaan, hingga roda perekonomian yang menjadi sumber kehidupan kian tersendat, diutarakan secara gamblang.

Di sisi lain, fakta satire yang juga menjadi bagian menarik untuk disimak dari monolog Hikayat Resah adalah kemarahan sang aktor dengan hadirnya pemberitaan media yang intens menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat; tentang berseliwerannya kabar korban meninggal dunia yang menyebabkan rasa cinta dan kemanusiaan berubah memudar menjadi saling curiga, saling mengklaim seolah jago mendiagnosa antar-sesama.

Tak cukup sampai di situ. Cerita tentang kehadiran negara yang masih memberi ruang untuk tetap menyelenggarakan pesta demokrasi seperti Pilkada, serentak beserta aktivitas kampanye politik para pasangan calon pemimpin daerah di tengah situasi darurat kesehatan akibat pandemi, menjadi daya tutur yang tepat untuk melepaskan penat sambil berteriak lantang meluapkan kemarahan.

Di penghujung penampilan, sang aktor menyampaikan pesan tentang apa yang mesti disadari oleh manusia demi memerangi pandemi Covid-19. Namun berbeda dengan imbauan pemerintah, aktor menyampaikan kalimat satire dengan logika terbalik.

Dalam perannya, Yudi Pous menyatakan sikap tentang kerinduannya tentang hikayat resah yang bersumber dari refleksi beragam situasi, konflik, persoalan yang terjadi di tahun 2020 ini berubah menjadi hikayat cinta.

Scene terakhir, menampilkan suasana bahagia Natal, yang sekaligus menjadi doa dan harapan untuk kembali memupuk rasa kemanusiaan. Pesan tentang kekuatan masyarakat lewat budaya gotong-royong, solidaritas persaudaraan dan kepedulian terhadap sesama adalah satu-satunya yang dimiliki oleh masyarakat untuk tetap bertahan melawan pandemi covid-19.

“Sepertinya menjadi manusia adalah masalah buat manusia. Manusia? Saya manusia, kamu manusia, kalian manusia, kitalah manusia, kitalah masyarakat, kita paling banyak. Kita yang terkuat, kitalah yang punya kekuatan untuk mengambil sikap atas segala situasi dan kondisi yang terjadi. Kita paling hebat, kita paling kuat,” tegas Yudi Pous usai melakoni adegan pertikaian yang memperlihatkan kekuatan paling hebat dari dua karakter yang berbeda. Di antaranya tokoh politik dan Wuhan, tokoh tamu asing yang konon menjadi penyebab utama kekacauan di setiap lini kehidupan.

Valeria Rahmat selaku sutradara pementasan monolog Hikayat Resah ini mengatakan, seni pertunjukan tersebut sebagai bentuk refleksi, evaluasi, sekaligus kritik tentang kegagapan dunia menyikapi pandemi. Carut marut kebijakan serta penanganan yang menjadikan virus berkembang semakin masif, termasuk di Indonesia, sangat berdampak pada masyarakat luas.

“Karya ini murni lahir dari keresahan dan permenungan saya bersama Yudi. Yudi kemudian merampungkan keresahan itu lewat narasi yang dia buat sendiri. Sementara untuk alur dan maksud cerita, lahir dari diskusi dan keresahan bersama. Ada banyak kegelisahan dan keresahan yang terjadi di tahun 2020. Bagi saya, kesenian adalah juga wujud sebuah doa untuk menyalurkan keresahan yang ada. Semoga apa yang disuarakan melalui monolog ini tersampaikan ke setiap hati banyak orang yang menyaksikan,” jelas Valeria.

Valeria yang juga aktif bersama komunitas Rumah Kreatif Gendang Waso itu menambahkan, bahwa proses penggarapan yang terbilang cukup singkat (satu bulan saja), tidak mengurangi emosi dan rasa yang diperlihatkan, karena dimensi imajiner sudah sesuai dengan gejolak perasaan yang dihadapi. Mulai dari pemilihan nuansa, latar, ruang, penokohan, sudut pandang, bersinergi dengan suasana batin dan perasaan yang kental dengan rasa kekalutan, takut, cemas, sedih, kecewa hingga amarah di kehidupan nyata.

“Pastinya seni pertunjukan monolog Hikayat Resah tidak berhenti sampai disini, lantaran akan berkembang sesuai dengan realita dan keresahan yang ada. Sejauh ini saya dan Yudi juga sudah berpikir akan ada pengembangan dan berharap bisa lahir karya baru,” imbuh Valeria.

Sementara itu, terkait tantangan saat menyutradarai naskah yang ditulis oleh sang aktor, Yudi Pous, Vale mengaku banyak mendapatkan pengalaman sekaligus tantangan baru. Ini merupakan kali pertamanya menggarap seni pertunjukan monolog, juga mengarahkan sekaligus membentuk aktor ke berbagai sudut pandang dan karakter. Bukan suatu pekerjaan yang mudah.

“Kemudian tantangan untuk menemukan metode latihan dan pendekatan bersama aktor pun masih dirasa sulit. Karena faktor kedekatan untuk saling mengenal dengan sang aktor belum cukup lama. Tapi ternyata chemistry dan saling memahami sangat membantu saya menemukan metode dalam mengarahkan aktor,” tutup seniman muda yang sempat banyak berkarya bersama komunitas LESOBUR ART LABORATORY di Bandung.

Sementara itu, Yudi Pous ikut bercerita terkait alasan mengapa harus mengutarakan keresahan akan isu sosial  lewat kemasan panggung seni pertunjukan berupa monolog. Menurutnya, semua itu adalah konflik batin yang bersumber dari hasil refleksi panjang di penghujung tahun 2020. Sebagai media cerita, laki-laki berambut gondrong yang cukup getol terlibat merancang beragam kegiatan bersama komunitasnya di Rumah Baca Aksara ini, selalu menarasikan keresahan-keresahan ke dalam karya puisi. Namun, hal itu belum cukup memuaskan hasratnya dalam berkesenian.

“Sehingga seiring waktu, saya pun bertemu dengan seorang yang sudah hampir enam tahun bergelut dalam bidang teater maupun monolog, namanya Valeria. Beliaulah yang ingin menggarap dan siap menyutradarai monolog dengan keresahan yang saya tulis. Beliau menjahit beberapa puisi saya hingga menjadi naskah monolog. Tidak butuh waktu lama, saya menerima tawaran itu. Karena menurut saya, monolog dapat menjadi wadah meluapkan rasa, salah satunya keresahan,” ungkap Yudi bersemangat.

Baginya, projek kolaborasi atas dasar inisiatif dirinya bersama Valeria merupakan pengalaman istimewa. Sebab ada ruang kebebasan yang ingin diluapkan sekaligus sebagai media untuk saling belajar serta mengembangkan beragam potensi yang dimiliki. “Dalam kesenian, apa pun bidangnya, tidak ada dan tidak bisa diintervensi. Jadi semua yang dilakukan pegiat seni menurut saya merupakan pengalaman istimewa,” imbuhnya.

Pun ketika banyak terlibat dalam proses berkesenian, alumnus IKIP PGRI Bali ini tidak mengelak, bahwa kunci sebuah kesuksesan adalah solidaritas dan pertemanan antar sesama yang sefrekuensi. Turut mendukung dan mendorong dalam mengeksplorasi potensi. Terbukti dari keterlibatan banyak pihak yang mendukung ide dan gagasan mereka tentang monolog  Hikayat Resah. Terlebih khusus kawan-kawan Komunitas Rumah Baca AksaraRumah Kreasi Gendang Waso, Orang Muda Katolik Ekaristi Kudus Ka Redong, Generasi Beat Box Manggarai, dan man behind the cam, Appolinaris, yang begitu antusias terlibat ambil bagian dalam kepanitiaan acara seni pertunjukan monolog Hikayat Resah.(*)


Baca juga:
Posisi Sastra di Maumerelogia IV
Peer Gynts di Larantuka: Idiom Kegelisahan-Kediaman dan Estetika

Komentar Anda?