Menu
Menu

Gerakan Literasi Sekolah ini merupakan upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah baik guru, peserta didik, orang tua/wali murid, dan masyarakat…


Oleh: Maria Pankratia |

Bergiat di Yayasan Klub Buku Petra, Ruteng. Mengelola Pustaka Bergerak dan agenda bulanan Bincang Buku. Cerpen-cerpennya disiarkan di Bali Post, Jurnal Sastra Santarang, Pos Kupang, dan beberapa antologi bersama.


Sabtu malam, 27 April 2019, saya bertemu Oga dan Tere. Di LG Corner, Ruteng. Dua pelajar SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng itu datang memenuhi undangan: Syukuran Yayasan Klub Buku Petra dan Buka Dapur BACAPETRA.CO.

Malam itu, keduanya mendapat kesempatan menceritakan pengalaman literasi di sekolah mereka. Di hadapan sekitar empat puluh undangan lainnya.

Oga adalah Ketua Osis, sedangkan Tere adalah Pengurus Majalah Dinding Sekolah. Bagi saya, mereka adalah tandem yang menarik untuk diajak berdiskusi. Sayang, kami tidak memiliki cukup waktu untuk bicara banyak hal. Saya sedang memandu Jangka, mata acara malam itu, yang namanya diambil dari salah satu rubrik di website ini. Beberapa komunitas lain belum kebagian bicara, sementara Oga dan Tere tentu saja tidak bisa berlama-lama di cafe itu setelah acara selesai sekitar pukul 22.00 Wita.

Dalam kesempatan bercerita, Oga berkisah tentang guru-guru di sekolahnya yang memberi keleluasaan pada para murid untuk membawa bahan bacaan ke sekolah. Perpustakaan di sekolah mereka bukan lagi tempat yang penuh dengan tekanan—atau mitos bahwa hanya ‘siswa-siswi yang ingin menaklukan dunia’ saja yang mampu bertahan dan bermarkas di sana—karena telah disulap menjadi tempat yang menyenangkan. Lagi pula, mereka boleh memanfaatkan setiap sudut sekolah untuk membaca. Tidak harus selalu di perpustakaan.

Meski demikian, ketika sampai pada cerita tentang majalah dinding, Oga dan Tere sadar bahwa ada kekeliruan dalam pengelolaannya. Bahwa, terbentuknya tim khusus yang bertugas mengerjakan majalah dinding sesuai jadwal yang telah ditentukan, justru mengerdilkan kreativitas pelajar lain yang bisa jadi memiliki minat dan bakat pada dunia kepenulisan. “Mungkin ini masih menjadi kekurangan sekolah kami yang perlu dikoreksi, karena Mading di sekolah kami dikelola oleh pengurus yang mengerjakan semuanya untuk setiap edisi,” papar Oga.

Ingatan saya kemudian terlempar cukup jauh. Ketika masih menjadi siswi di sekolah yang kurang lebih menerapkan sistem yang sama. Mading sekolah dipercayakan kepada pengurus yang dipilih oleh Guru Pembina. Guru Bahasa Indonesia, yang ditugaskan oleh Dewan Guru untuk menangani hal tersebut. Pengurus Majalah Dinding akan menjadi bagian dari Kepengurusan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Sie Minat dan Bakat. Seingat saya begitu.

Mading akan muncul sebagai edisi bulanan pada sebuah papan panjang yang dipenuhi potongan kertas warna-warni dan hiasan unik sebagai dekorasi, yang menarik perhatian siswa-siswi di sekolah agar berhenti dari kesibukannya hilir mudik sepanjang koridor sekolah, dan berhenti sebentar untuk membaca karya-karya yang ditempelkan di sana.

Pengumuman tema dan penerimaan karya biasanya disampaikan pada edisi bulan sebelumnya. Harapannya, minimal seminggu sebelum edisi bulan selanjutnya dipublikasi, sudah ada banyak tulisan yang masuk. Pertanyaannya: Siapa saja yang kemudian mengirimkan tulisan? Jawabannya: Hampir tak ada.

Pengurus mading mau tak mau harus putar otak, mencari solusi untuk memenuhi isi papan yang mendadak menjadi sangat panjang dan lebar. Tak jarang, kiat-kiat menarik, tips-tips a la remaja, atau pengetahuan umum dan ramalan bintang yang dicopot dari sumber mana saja, menjadi sebagian dari rubrik yang membantu meramaikan isi mading. Selain cerpen, puisi, dan tentu saja salam redaksi yang dikerjakan dengan terburu-buru oleh para pengurus mading sendiri, demi kejar tayang: mematuhi jadwal yang telah ditentukan.

Andai malam itu bisa mengajak Oga dan Tere untuk berbagi lebih banyak, barangkali kami dapat memikirkan, atau bisa jadi, akhirnya menemukan solusi, untuk soal-soal klasik pengelolaan mading sekolah tadi. Misalnya, menghapus keberadaan pengurus mading sekolah, dan menggantikannya menjadi tugas bulanan setiap kelas bersama wali kelasnya masing-masing.

Apa Sebenarnya Gerakan Literasi di Sekolah?

Setelah Oga dan Tere, ada Ovin dan Stefani. Keduanya adalah siswi SMPN 4 Langke Rembong, yang malam itu bertahan hingga sesi Jangka berakhir. Ovin kemudian menuturkan tentang program 15 Menit Membaca sebelum jam pelajaran dimulai, sebagai salah satu dari pengalaman berliterasinya bersama kawan-kawan sekolahnya. Ini merupakan salah satu implementasi dari Gerakan Literasi Sekolah yang juga merupakan salah satu bagian dari Gerakan Literasi Nasional.

Dalam “Panduan Gerakan Literasi Nasional” yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2017), Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah gerakan dalam upaya menumbuhkan budi pekerti siswa yang bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.

Gerakan Literasi Sekolah ini merupakan upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah baik guru, peserta didik, orang tua/wali murid, dan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem pendidikan sehingga membutuhkan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Di sekolah, pada 15 Menit Membaca, guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati.

Tentu saja, literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Di dalamnya tercakup pula keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, dan auditori. Di abad 21 ini , kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi.

Cerita Ovin dan Stefani tentang 15 Menit Membaca di SMPN 4 Langke Rembong, mau tak mau (sekali lagi) mengingatkan saya pada masa-masa sekolah. Dulu. Di awal ’90-an. Di Sekolah Dasar terdapat mata pelajaran Kepustakaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan di masa itu. Dalam seminggu, setiap kelas mendapat jatah satu setengah jam untuk mata pelajaran ini. Siswa-siswi diajak ke perpustakaan oleh Wali Kelas. Atau, Ketua dan Wakil Ketua Kelas ditugaskan ke perpustakaan untuk meminjam buku bacaan sejumlah peserta didik dalam satu kelas.

Jenis buku yang dibaca setiap minggu berbeda-beda. Tergantung pada Wali Kelas masing-masing. Bukan buku pelajaran. Melainkan buku bacaan anak, seperti: Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara, Kumpulan Dongeng Klasik Dunia, atau Cerita Petualangan Anak-Anak, dan lain sebagainya. Hingga saat ini, saya mengenang masa itu sebagai pengalaman paling nikmat dan mewah luar biasa. Kepustakaan adalah pelajaran favorit dan selalu saya nantikan.

Ketika menulis ini, saya tidak sedang pamer—dengan membagikan pengalaman sekolah saya di atas, apalagi membandingkan situasi literasi dulu dan sekarang. Toh, menurut penelitian, minat baca dan menulis orang Indonesia masih saja buruk dari tahun ke tahun.

Namun, apakah kita tidak pernah sekalipun merasa terganggu atau bertanya-tanya: apakah perubahan sistem maupun pola pengembangan literasi ini memberikan dampak yang signifikan? Minimal cukup efisien meningkatkan kualitas individu manusia Indonesia dalam menyikapi hoax, misalnya. Sebelum akhirnya meningkatkan presentasi minat baca kita di mata dunia.

Belum ada jawaban atau ukuran yang tepat sepertinya. Pengambilan sampel kadang hanya dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang berujung pada pernyataan kontroversial para pejabat negeri ini.

Literasi di Komunitas-Komunitas

Malam itu, setelah Oga, Tere, Ovin dan Stefani membagikan pengalaman mereka di sekolah, ada para sahabat dari beberapa komunitas di Ruteng yang ikut berbagi. Ada Komunitas Sastra Hujan, Teater Saja, Manggarai Arts, Buku Bagi NTT, Rumah Baca Aksara, Sanggar Tari Nusantara Awit Te Sae, dan akhirnya Komunitas Saeh Go Lino yang malam itu mengorganisir agenda Klub Buku Petra ini. Semua berkisah tentang geliat mereka di bidang literasi ini.

Komunitas Sastra Hujan dengan pertemuan bulanan yang menganalis karya-karya sastra seperti puisi dan cerpen. Komunitas Teater Saja yang mengadakan pembacaan dan bedah naskah bersama sebelum sesi latihan. Komunitas Manggarai Arts dengan penciptaan karya-karya seni rupa. Komunitas Buku Bagi NTT yang mengadakan penggalangan buku bekas dan mendistribusikannya ke rumah-rumah baca. Rumah Baca Aksara melalui kelas dongeng “Sabtu Bercerita”. Sanggar Tari Nusantara Awit Te Sae yang mengadakan kursus tarian Nusantara bagi adik-adik usia sekolah dasar. Komunitas Saeh Go Lino yang aktif belajar dan berkegiatan dalam berbagai bidang seni budaya dan ekonomi kreatif.

Paling tidak, sekecil-kecilnya faedah yang akan lahir dari kegiatan tersebut, dapat membebaskan individu yang terlibat lebih dahulu dalam mengekspresikan diri sebelum menghasilkan dampak lanjutannya.

Akan tetapi, mengutip Evan Lahur yang menyampaikan kisah berliterasinya bersama Komunitas Sastra Hujan, berapa lama sebuah komunitas akan bertahan menjalani kegiatan-kegiatannya? Setahun? Dua tahun? Seberapa kuat kita menghadapi perbedaan karakter para anggota, dan, mengesampingkan kesibukan dan urusan pribadi? Semua terdiam.

Jawabannya ada di dalam kepala kita masing-masing.


panjang umur gerakan literas

| Jangka di LG Corner Ruteng


Malam itu, acara Syukuran Yayasan Klub Buku Petra dan Buka Dapur Bacapetra.co berlangsung meriah. Komunitas Saeh Go Lino yang dipercaya menata seluruh acara ini berhasil memastikan seluruh agenda berjalan dengan lancar. Dan sukses. Semua yang hadir berbahagia.

Sembari menikmati pangan lokal, kopi dan teh, mereka mendengarkan kisah-kisah menarik. Dari dr. Ronald Susilo tentang pembentukan Yayasan Klub Buku Petra, Armin Bell yang membuka dapur redaksi BACAPETRA.CO, hingga akhirnya sesi Jangka bersama pegiat komunitas dan utusan sekolah-sekolah.

Jangka sendiri adalah salah satu rubrik di website ini. Rubrik yang dikelola khusus oleh ‘orang-orang dalam redaksi’ dengan semangat sebagaimana arti kata itu. Dalam bahasa Manggarai, Jangka memiliki dua arti: obrolan atau perbincangan yang mengandung pesan/nilai, dan sisir yang fungsinya adalah memaniskan penampilan dengan merapikan rambut seseorang.

Sementara itu, sebagaimana kita ketahui, dalam bahasa Indonesia, Jangka adalah nama sebuah alat ukur yang biasa digunakan dalam kebutuhan tertentu. Di LG Corner Ruteng, Jangka (on location) juga berhasil menampilkan semangat itu.

Bagaimanapun, pada akhirnya, berbagai gerakan literasi di lingkungan kita, mestilah mendukung Gerakan Literasi Nasional yang menjadi konsentrasi utama Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Panjang Umur untuk Gerakan Literasi Nasional. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Salam dari Ruteng!


Foto-foto: Tim Dokumentasi Saeh Go Lino

Komentar Anda?