Menu
Menu

Benarkah Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga adalah sebuah novel etnografi?


Oleh: Gregorius Reynaldo |

Pustakawan Klub Buku Petra dan Penyiar Radio Manggarai.


Agenda rutin Bincang Buku Petra ke-28 berlangsung di Perpustakaan Klub Buku Petra pada 27 Mei 2021 yang lalu. Diikuti oleh delapan peserta, bincang buku kali ini membahas novel pememenang ketiga Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2019, Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga, sebuah novel karya Erni Aladjai yang dalam pertanggungjawaban Dewan Juri DKJ disebut sebagai novel etnografi.

Secara singkat, novel ini menghadirkan ibu-anak Haniyah dan Ala serta sejumlah tokoh di sekitar mereka dengan mengambil sebuah latar desa bernama Kon tahun 1990-an. Interaksi berupa konflik, relasi, dan kepercayaan khas masyarakat pedesaan menjadi ciri utama dan bertebaran sepanjang novel setebal 143 halaman ini. Selama satu setengah jam, bincang buku Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga yang dipandu oleh Mas Abim berlangsung seru dan menarik.

Mas Abim, yang bertugas memantik jalannya bincang buku memulai dengan mengungkapkan kekagumannya terhadap pemilihan kata-kata oleh Erni Aladjai dalam novel ini.  Salah satu hal yang menurut Mas Abim membuat alurnya mengalir perlahan dan tetap menarik adalah kemampuan penulis memilih dan menggunakan kata dan kalimat; “Kata-kata dalam buku ini, beberapa jarang saya temukan pada buku-buku lain. Saya harus buka kamus KBBI dulu. Menarik karena ini juga menambah kosa kata, terutama untuk pembaca awam.”

Novel ini dibuka dengan tragedi dan setelahnya mengalir lambat dan pelan, sebuah model yang oleh Mas Abim dihubungkan dengan Pramoedya Ananta Toer, ketika seseorang sudah membahas tragedi di awal, berarti dia sudah merebut hati pembacanya.

Mas Abim juga menemukan setidaknya enam kritik selama proses membaca novel ini. “Bagi saya, ini novel yang cukup satir. Dia bercerita secara sederhana, lambat dan detil, juga unik. Saya setidaknya menemukan ada enam kritik di sini,” jelas Mas Abim lalu menguraikan enam kritik tersebut. Kritik terhadap kolonialisme, sistem pendidikan, kritik mistisme, gender, kritik kekuasaan, dan sistem sosial terdapat dalam banyak kasus dalam novel ini. Seperti konflik Ala dengan gurunya yang menggambarkan buruknya sistem pendidikan sejak lama, mistisme dan kepercayaan-kepercayaan masyarakat khas perkampungan Indonesia Timur, juga kritik terhadap gender yang digambarkan melalui tokoh utama Haniyah yang menjadi ibu tunggal bagi Ala.

Sebelum menutup hasil pembacaannya, Mas Abim juga menyoroti nilai-nilai toleransi melalui pemetaan wilayah yang baik dan detail oleh Erni Aladjai. “Kalau kita petakan, Erni Aladjai menggambarkan sebuah pulau dalam buku ini, di Utara ada muslim, di Timur ada (perkampungan) nelayan, di selatan ada kristen. Tetapi rumah Teteruga ini ada di antara masyarakat kristen.”

Hermin mengambil kesempatan berikutnya setelah Mas Abim. Menurut Hermin, Erni Aladjai dalam novel ini adalah pencerita yang baik, dan buku ini bercerita selayaknya dongeng. Dengan alur yang lambat, transisi antarbab yang tidak terlampau jauh, dan kandungan cerita dalam cerita buku ini selesai sekali baca dan setelahnya tetap dapat diingat dengan baik.

Beberapa momen dalam buku ini diingat dengan baik oleh Hermin, dan berkesan. “Saya suka di halaman 44, ketika Ala bertanya bagaimana cara melawan anak-anak yang mengejeknya, Ido bilang cara melawan yang baik adalah dengan tidak terpengaruh. Saya lalu mengingat sebuah obrolan tentang ketersinggungan. Kadang-kadang, kalau kita tersinggung, itu karena kita memilih untuk tersinggung.”

Sejumlah kesan menarik  seperti di atas juga ditemukan Hermin dalam sejumlah halaman. Pada halaman 94 misalnya, Hermin juga tertarik dengan bagaimana cara Haniyah menganggap segala sesuatu bernyawa dan berharga. Bahkan kayu, tanaman, dan tanah sekalipun.

Saya mendapat giliran ketiga menceritakan hasil pembacaan Haniyah dan Ala, begitu akhirnya buku ini kami sebut untuk tidak membuatnya terdengar panjang ketika diucapkan. Pertama, saya senang karena ini buku yang selesai cepat dan bisa dibaca sekali duduk. Di tengah kesibukan dan pekerjaan yang cukup banyak, buku seperti ini cocok dibaca, walaupun ketika pembacaan terhenti, saya harus kembali satu atau dua halaman sebelumnya untuk tetap terhubung kembali ke cerita.

Dibanding buku sebelumnya yang dibincangkan, Sang Keris karya Panji Sukma, novel ini menurut saya tidak punya cukup hal yang memenuhi syarat bereksperimen dengan bentuk, sebuah pertimbangan yang sering sekali dipakai dalam proses penjurian Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.

Meski begitu ada hal-hal menarik dari novel ini yang bisa diulas setelahnya sebagai hasil pembacaan. Salah satunya adalah karena semua tokoh, alat, dan instrumen dalam buku ini yang bekerja dengan baik dan tidak terbuang percuma. Keberadaan tokoh-tokoh seperti petani sampai ke bebek peliharaan di Rumah Teteruga memainkan peran yang tidak sedikit dan membantu menghidupkan cerita sampai di halaman terakhir. Novel ini juga, meski tidak terlalu tebal, tetap mampu menghadirkan lanskap yang luas, walaupun di sisi lain mengorbankan kedalaman cerita. Ketika konflik antara Ala dengan Guru Hidjima misalnya, Erni Aladjai mampu mengambil lanskap yang lebih besar dari konflik itu dengan menggambarkan sekolah Ala dengan guru serta wataknya masing-masing, sesuatu yang menguatkan pemahaman pembaca tentang konflik murid-guru ini.

Setelah saya, ada Vero, peminjam aktif di perpustakaan Petra yang baru pertama kali mengikuti bincang buku. Pengalaman tinggal selama dua tahun di Papua membantu Vero selama proses pembacaan untuk memahami sejumlah kata seperti tete pada rumah teteruga yang berarti nenek bagi masyarakat Papua dan Ambon. Selain itu deskripsi soal tempat, nama sayuran dan perahu juga ditemuinya ketika tinggal di Papua. Namun begitu, dugaan-dugaan soal lokasi persis Desa Kon masih menjadi pertanyaan.

“Dari segi cerita, buku ini menarik karena hal-hal yang diangkat di dalamnya, yang menurut saya bercerita tentang kehidupan yang pada umumnya terjadi setiap hari. Hal-hal seperti konflik antara guru dan murid, yang masih terjadi sampai hari ini. Juga tentang kepercayaan-kepercayaan lokal yang masih relevan sampai sekarang,” Vero menjelaskan.

Namun ada hal-hal yang dirasa kurang, seperti konflik yang tidak dalam. Vero melihat buku ini seperti buku dongeng, yang umumnya datar secara penceritaan. Meski muncul hal-hal yang lebih kuat dan berpotensi memperdalam konflik seperti kehadiran Ido dan cerita soal pemenggalan kepala, sayangnya belum cukup untuk menjawab soal konflik yang tidak dalam itu.

Setelah Vero, ada Dokter Ronald. Dokter Ronald yang membaca buku ini secara elektronik, mengaku lebih menikmati membaca buku fisiknya. Pertanyaan sejumlah peserta bincang buku tentang lokasi persis Desa Kon ini terbantu dengan hasil pembacaan Dokter Ronald yang sebelumnya sudah mengenal Erni Aladjai melalui bukunya yang lain, Kei. Dokter Ronald juga menemukan perbedaan yang jauh lebih baik antara buku Kei dengan Haniyah dan Ala.

Menyoal konflik yang terdapat dalam buku, Dokter Ronald punya sudut pandang yang berbeda dengan Vero. “Saya setuju dengan Vero bahwa minim konflik dalam buku ini. Memang konflik besarnya tidak ada, tapi saya melihat novel ini sebagai kumpulan konflik-konflik kecil dalam cerita yang panjang.”

Meski buku ini secara keseluruhan baik, Dokter Ronald mengungkapkan ini buku yang tidak cocok lagi dibacanya. Juga di akhir pembacaan, ditanya apakah akhir ceritanya memuaskan, Dokter Ronald mengaku bingung. “Ceritanya terputus begitu saja.”

Retha mengambil giliran selanjutnya. Menurut Retha, ini buku yang cocok untuk mendongeng, karena ceritanya mudah dipahami, juga karena tokoh yang tidak banyak. Dalam novel ini, terdapat banyak hal yang juga dibuka melalui kehadiran anak-anak, semisal pada kisah Ido dan Ala. Walaupun alurnya lambat, momennya dapat diingat dengan baik. Berbeda dengan saya yang masih harus kembali dua halaman sebelumnya untuk bisa kembali terhubung dengan cerita, Retha tidak merasa kesulitan ketika pembacaannya terputus dan buka sekali duduk.

“Di kalimat terakhir prolog, banyak orang percaya tidak ada kebaikan dalam diri Naf Tikore, saya pikir ini kutipan yang cukup reflektif, dekat dengan banyak pengalaman pribadi. Saya menikmati membaca buku ini setelahnya, dengan prolog yang saya pikir cukup dekat.”

Klaim Haniyah dan Ala sebagai novel etnografi menjadi sorotan dalam hasil pembacaan Retha. “Hal-hal soal kepercayaan dalam buku ini, soal bagaimana kita membangun hubungan dengan alam, dan beberapa lainnya adalah bagian yang baik, tapi saya pikir tidak digambarkan dengan dalam. Klaimnya sebagai novel etnografi harusnya membuat buku ini bercerita soal aspek-aspek seperti ini lebih dalam, lebih detail lagi. Banyak mitos, banyak nilai-nilai lokal yang sekadar dikeluarkan, tapi tidak dalam, meskipun deskripsinya baik.”

Retha mengaku khawatir pembaca akan terjebak menyebut Haniyah dan Ala sebagai novel etnografi, karena menurutnya novel ini kurang etnografi. Begitupun aspek etnohistorisnya yang perlu ditambahkan atau didalami lagi.

Maria Pankratia menjadi peserta selanjutnya. Sepaham dengan Retha, Maria juga tidak melihat Haniyah dan Ala sebagai sebuah novel etnografi. Meski begitu, Maria melihat cerita dalam buku ini sebagai sesuatu yang dekat dengan masa kecilnya, juga menggambarkan hal yang umumnya ditemui di Wilayah Indonesia Timur. “Saya melihat ini seperti cerita anak-anak, karena sebagian cerita dalam buku ini datang dari sudut pandang anak-anak. Cerita-cerita dalam buku ini memang sebagian besar adalah cerita yang bisa ditemukan di hampir semua wilayah di Indonesia Timur,” terang Maria.

Kisah lain di dalam buku ini, tepatnya di halaman 93 dan 94 dari buku ini, saat Ala mengelus tumbuhan, mau tidak mau melemparkan ingatan Maria kepada seorang kawan bernama Kaka Liz. Seorang perempuan Flores yang bersama komunitasnya mengembangkan Dapur Tara dan Stand Lodge di kedalaman hutan Manggarai Barat, tepatnya di Lembah Pesari, Desa Melo, Labuan Bajo. Bagi Kaka Liz, “Memasak itu Meditasi.”

Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, makanan juga sebagai media untuk menyembuhkan. Koneksi antara manusia dengan benih akan memberikan dampak yang berbeda terhadap makanan yang dikonsumsi. Manusia menanam sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kadang-kadang, bibit yang ditanam juga sebenarnya memilih siapa yang akan memeliharanya. Ada ikatan sejak benih yang hendak ditanam hingga memberikan hasil seperti yang diharapkan. Makanan disapa, diajak berbicara. Meminta izin ibu bumi dan bapa langit saat memanen. Saat memasak juga, emosi perlu dijaga sehingga dapat menyuguhkan makanan yang sehat karena sejak awal makanan tersebut telah diperlakukan dengan baik. Sebagai contoh, bumbu yang diblender selalu dikatakan kurang begitu sedap rasanya, karena bahan-bahannya telanjur stres ketika diperlakukan tidak semestinya, dalam hal ini sebaiknya diulik di batu cobek secara perlahan dan penuh perasaan.

Maria sendiri, sebelum Haniyah dan Ala, sudah lebih dulu membaca dua cerpen Erni Aladjai di buku Dari Timur 1 dan Dari Timur 3. “Cerpen yang ada di buku Dari Timur 3 hampir mirip dengan novel ini. Cerpen itu bercerita tentang kampungnya di Palopo, Sulawesi. Ada kampung Kristen, Muslim, China. Sebenarnya Erni tidak jalan jauh dari karya dia sebelumnya. Lalu juga ada peningkatan dari gaya bercerita. Saya pikir ketika membaca buku ini, saya seperti sedang mendengar teman saya bercerita.”

Arin menjadi peserta terakhir di malam itu yang menceritakan hasil pembacaanya. Sama seperti peserta-peserta lain yang menduga-duga lokasi persis di mana latar cerita ini dibangun, Arin memiliki penelusurannya sendiri. “Ada beberapa pertimbangan kenapa saya menduga latar lokasi cerita ini awalnya ada di Maluku, yaitu soal cengkih, lalu kata-kata yang mengaitkan identitas itu, seperti kata nona jua pada pantun.” Namun dugaan ini patah karena pada masa itu, Maluku berada di bawah kekuasaan Spanyol dan Portugis, sementara dalam cerita disebutkan Belanda.

Menyoal bentuk, Arin merasa kehadiran dongeng dalam novel bisa jadi adalah sebuah pertimbangan dewan juri ketika melihat Haniyah dan Ala dari sudut pandang bermain dengan bentuk dalam penjurian.

Malam itu, para peserta menyematkan Bintang Tiga untuk Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga karya Erni Aladjai. Selanjutnya untuk notula Bincang Buku Petra yang ke-29 akan tayang di Bacapetra.co awal bulan Agustus nanti, hasil obrolan Cerita Tiga Babak: Makan Siang Okta.(*)


Baca juga:
Cerpen Jeli Manalu – Kucing Penunggu Susteran
Puisi-Puisi Grace Celine – Perempuan Buta dan Matahari


Komentar Anda?