Menu
Menu

Membaca novel berlatar budaya seperti Sang Keris adalah bagaimana memahami budaya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa. Artinya tidak bisa hanya terbatas pada logika tetapi mesti pula dirasakan.


Oleh: Margareth Febhy Irene |

Anggota Bincang Buku Klub Buku Petra. Bekerja di Wakil Rektor 1 Bidang Penelitan dan PKM Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Menyukai traveling dan puisi. 


Novel Panji Sukma, Sang Keris, akhirnya menjadi buku yang mempertemukan semua anggota Klub Buku Petra, secara tatap muka, untuk pertama kalinya di tahun 2021. Tentunya dengan tetap mematuhi protokol kesehatan karena masih dalam situasi pandemi.

Pertemuan yang dilakukan pada hari Kamis, 13 Mei 2021 itu menghadirkan 13 peserta: Hermin Nujin yang juga menjadi pemantik diskusi malam itu, Rey Gregorius sebagai moderator, Gerson Djehamun, Armin Bell, Marcelus Ungkang, Retha Janu, Arsy Juwandi, Arin Dampus, Mas Abim, Mersinta, Maria Pankratia, dr. Ronal Susilo, dan saya sendiri yang dipercaya merekam hasil diskusi.

Pertemuan yang juga bertepatan dengan Hari Kenaikan Isa Almasih dan Hari Raya Idul Fitri tersebut dimulai tepat pada pukul 19.00 WITA. Bincang Buku merupakan agenda rutin Klub Buku Petra; sebuah usaha untuk terus mendorong minat baca, memperkaya wawasan, maupun mengutarakan berbagai pendapat tentang karya fiksi.

Patahan-patahan Cerita dan Banyaknya Pertanyaan

Sebagai Pemantik diskusi, Hermin Nujin memulai hasil pembacaannya terhadap buku pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019 ini dengan menyampaikan kesan bahwa novel ini menimbulkan banyak tanda tanya. Hal tersebut mengantar Hermin pada usaha membaca Sang Keris hingga dua kali yang kemudian melahirkan beragam respons.

Bagi Hermin, karya Panji Sukma tidak seperti novel pada umumnya yang bisa dipahami sebagai rangkaian cerita: mengantar dan mengarahkan pembaca dari awal sampai akhir cerita dengan sempurna. Yang Hermin temukan dalam Sang Keris adalah patahan-patahan kisah yang terpaksa harus ia nikmati.

Meski demikian, ia mencoba menemukan sedikit bantuan untuk lebih memahami keseluruhan isi novel dengan menengok pada hasil pandangan para juri maupun penulis senior, yang menjelaskan bahwa novel Panji Sukma ini menggunakan alur nonlinear. Menurut Hermin, penulis mencoba memanipulasi alur, memodifikasi plot, sehingga hubungan kasualitas novel itu menjadi tidak jelas. Pembaca seperti diajak untuk mengolah rasa, juga nalar.

Hermin mengungkapkan, akhir-akhir ini sering sekali ia menemukan novel-novel dengan fenomena bahwa sebuah penjelasan budaya akan menjadi lebih baik jika dialihkan ke dalam bentuk fiksi seperti novel. Sebut saja dua buku terakhir yang telah menjadi arsip Klub Buku Petra yakni, Burung Kayu karya Niduparas Erlang dan Aib dan Nasib karya Minanto. Meski berbeda dengan Burung Kayu, yang tidak memiliki catatan kaki, Sang Keris menjadi lebih baik karena penulis membantu pembaca dengan hal tersebut sehingga mudah dibaca.

Hermin juga mendalami pemahamannya tentang keris yang memang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Dari penelusurannya, Hermin menemukan bahwa keris memiliki arti, sesuatu yang berlekuk-lekuk yang digunakan untuk membela diri. Bagi orang Jawa, keris memiliki filosofi, kisah tutur, dan pengetahuan tersendiri. Ia juga membaca beberapa unsur tentang keris yang ternyata dalam proses penciptaan atau pembuatan keris, memiliki proses atau tahap-tahap tertentu yang wajib dilakukan. Hal-hal itulah yang membuat keris menjadi semakin menarik.

Secara keseluruhan, Hermin berpendapat, tidak semua kisah dalam novel ini memiliki unsur atau simbol keris. Namun, pada bagian-bagian tersebut, cerita justru kian menarik, juga menimbulkan rasa penasaran. Hermin juga menemukan kalimat-kalimat bermakna nasihat dan mendidik: Entahlah, keindahan tempat ini membuatku lupa sudah berapa lama aku di sini. Waktu sudah tidak lagi penting bagi mereka yang tak memiliki dendam (hal. 51).

Bagi Hermin, patahan-patahan kisah dalam novel ini, pada akhirnya memberi satu pemahaman, meski terdapat lompatan-lompatan cerita yang mengganggu, novel ini tetap menarik karena memiliki kisahnya masing-masing.

Senada dengan Hermin, Retha Janu mengungkapkan bahwa tidak mudah membaca Sang Keris. Ia harus mengulang proses pembacaan untuk menjawab rasa penasaran atas kisah yang sedikit membingungkan. Tidak hanya sampai di situ, dalam usaha mendapatkan pemahaman, Retha mencoba menghubungkan hasil bacaannya dengan teori cara kerja emosi yang terdiri dari antisipasi, ekspektasi, dan prediksi, yang diperolehnya pada bincang buku sebelumnya (Aib dan Nasib, Minanto). Ia juga membaca hasil pertanggungjawaban DKJ, bahwa keris sebagai tokoh utama memang seperti penjelajah, karena dia mengisi kisah setiap zaman. Meski demikian, Retha tetap saja melontarkan banyak pertanyaan, bahkan memasuki pertengahan novel, ia merasa kehilangan cerita.

“Setelah membaca buku ini sampai pada bagian akhir Larung Manah dan Brawijaya Pamungkas, saya mulai kehilangan cerita ini. Saya mulai bertanya-tanya, siapakah keris ini? Apakah masih Arya Matah? Karena yang saya tangkap pada bab sebelumnya, Arya Matah berubah dari keris dan menjadi manusia, atau malah sih Konasi, Konasi pun milik siapa? Apakah milik Majapahit atau Demak?”, ungkap Retha.

Retha kemudian membuat daftar tokoh, dengan harapan mereka akan bertemu di beberapa bagian tertentu, namun sayang, itu tidak terjadi. Pada akhirnya Retha berpikir, ada beberapa kisah dalam novel ini yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan karena sangat mengganggu jalannya kisah. Klimaksnya pun tidak menjelaskan apa pun. Buku ini, telanjur membuatnya jengkel duluan. Retha juga mengakui, ia tidak siap dengan karya nonlinear seperti ini, meski ia tetap menerimanya sebagai shock therapy awal.

Gerson Djehamun yang mendapatkan giliran setelah Retha, mencoba memahami buku ini dengan membuat catatan kronologis. Secara rinci, Gerson menjelaskan bahwa novel ini sungguh mengembalikan ingatannya pada masa sekolah dasar, ketika ia rajin mengunjungi perpustakaan dan menemukan bacaan-bacaan sejenis. Ia juga melihat keris sebagai sosok yang hidup atau memiliki tubuh. Sebagian besar isi novel menggunakan majas personifikasi, penulis berusaha membuat tokoh keris benar-benar hidup, memiliki sifat dan bisa merasakan pergolakan hidup dengan manusia, dan di situlah sebenarnya letak kekuatan dari novel Sang Keris karya Panji Sukma ini.

Beberapa catatan pentingnya lainnya dalam novel ini yang ia bagikan malam itu; bahwa novel Sang Keris memang bisa dibaca sekali duduk, akan tetapi tidak bisa dipahami dengan mudah dalam sekali kesempatan membaca. Setiap bab atau bagian memiliki ceritanya masing-masing.  Alur yang ditampilkan adalah alur maju mundur. Selain itu, Gerson juga mencari rujukan, yang membantunya memahami buku ini, yaitu melalui podcast hasil pembacaan Sang Keris, di mana pembahasnya mengaitkan keris ini dengan sejarah Rengasdengklok.

Selanjutnya, Maria Pankratia yang mengungkapkan bahwa ia sesungguhnya membaca sembari mengejar sesuatu yang diharapkannya dari kisah-kisah dalam novel ini. Seperti tokoh-tokoh yang kemudian bisa bertemu. Maria menantikan adanya benang merah dari keseluruhan cerita, akan tetapi Sang Keris menampilkan cerita seperti fragmen-fragmen yang tidak berkesinambungan.

Menurut Maria, jika ingin membaca buku ini, pembaca sebaiknya memiliki referensi lain yang menjadi jembatan untuk masuk dan memahami isi novel. Bagi Maria, gaya penulisan novel ini sangat baik, sayang tidak demikian dengan kisahnya yang terputus di beberapa bagian.

“Barangkali juga karena penulis adalah seorang cerpenis, yang terbiasa menulis cerita pendek dengan klimaks yang menggantung, membiarkan para pembacanya menemukan sendiri akhir cerita,” tutur Maria.

Setelah Maria, giliran berikutnya adalah Dokter Ronal Susilo. Kesan pertama yang disampaikan Dokter Ronald adalah bahasa yang digunakan dalam novel ini terbilang santun, disertai kalimat-kalimat tertatur yang menciptakan kenyamanan membaca.

Sama seperti yang diungkapkan Retha, bagian-bagian awal cerita begitu mengalir dan menarik untuk dibaca, tetapi saat memasuki bab “Larung Manah” dan “”Brawijaya Pamungkas”, Dokter Ronald merasa kehilangan cerita. Sempat berpikir, bagian itu cukup mengganggu, tetapi setelah lanjut membaca, ia berubah pikiran. Bab sebelumnya harus tetap ada, jangan dibuang karena novel ini memang disajikan dengan cerita yang patah-patah. Sedang di bagian “Sang Pencerah”, Dokter Ronald berpendapat, mungkin memang akan sulit bagian kisah itu dimengerti dengan logika, tetapi dipahami saja dengan rasa.

Adegan-adegan pertempuran dan perkelahian para senopati, para resi, dan beberapa tokoh lainnya dalam buku, membawa Dokter Ronald pada kisah-kisah Kho Ping Hoo. “Membaca buku ini, membuat kita terhubung ke banyak peristiwa kehidupan, terutama tentang sejarah,” tutup Dokter Ronald.

Kebingungan dan banyaknya tanda tanya dengan bentuk kisah nonlinear yang disajikan Panji sebenarnya juga saya alami. Sejujurnya, saya seperti dijebak oleh kenikmatan membaca pada bab-bab awal yang ternyata mengantar saya pada pertengahan cerita yang kemudian melahirkan banyak tanda tanya. Buku ini sebenarnya menceritakan tentang apa? Bagaimana akhirnya?

Tentu saja, ini jauh dari ekspektasi awal ketika saya melihat sampul novel ini. Buku ini pasti bercerita tentang kerajaan, kekuasaan, peperangan yang mungkin akan berujung pada kemenangan atau kekalahan. Kecewa dengan harapan yang tidak sejalan, saya kemudian terus membaca dan menantikan kisah-kisah lain, yang lebih panjang, lebih detail, tidak patah-patah seperti ini. Pada bagian “Sang Pencerah”, sama seperti Dokter Ronal, bab ini memang cukup dirasakan, sambil berpikir bahwa mungkin ini adalah bagian yang sebenarnya merupakan sesuatu hal yang ingin Panji jelaskan, akan tetapi tidak ia bahasakan dengan rinci.

Sebagai pemenang kedua Sayembara Novel DKJ 2019, novel ini terbilang unik sehingga layak untuk memperoleh penghargaan tersebut. Meski sesungguhnya bagi saya pribadi, buku ini tipis-tipis berat.

Menemukan Unsur Budaya Dalam Novel Sang Keris

Hadir pula malam itu, Arsy Juwandi, Arin Dampus, Mas Abim, dan Mba Mershinta yang baru pertama kali bergabung di Bincang Buku Petra. Arsy dan Arin belum sempat membaca novel ini, tetapi mereka dengan setia mendengarkan hasil pembacaan teman-teman. Arin sendiri mencoba menanggapi dengan membagikan pengalamannya tentang keris yang kebetulan pernah ia dengar dari Mas Abim.

“Kebetulan kami pernah diajak Mas Abim ngobrol tentang keris. Saat itu beliau membawa salah satu kerisnya ke Rumah Baca Aksara. Mungkin cerita ini di luar konteks bukunya, tetapi masih berkaitan tentang cerita kerisnya. Mas Abim mengatakan bahwa ada etika dalam memberi dan menerima keris berdasarkan usia. Ketika keris diberikan oleh yang lebih tua, maka yang tua akan memegangnya di atas dan yang muda menerimanya dari bawah. Begitu pula sebaliknya,” tutur Arin.

Cerita Arin menjadi pengantar bagi Mas Abim untuk menyampaikan hasil pembacaannya. Bagi Mas Abim, hal pertama yang mesti kita ketahui sebelum membaca novel berlatar budaya seperti Sang Keris adalah bagaimana memahami budaya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa, artinya tidak bisa hanya terbatas pada logika tetapi mesti pula dirasakan. Mas Abim berpendapat bahwa ciri khas dari penulisan alur dari novel ini merupakan ciri khas dari seorang penjelajah spiritual.

“Panji menulis banyak hal tentang potongan-potongan cerita yang jika dipahami lebih dalam, sebetulnya menggambarkan strata sosial dari masing-masing pemilik keris itu sendiri, seperti; tokoh nelayan, senopati, saudagar, dan lainnya hingga tokoh Soekarno. Kurang lebih ada tujuh belas pemilik keris yang dikisahkan dalam novel ini,” jelas Mas Abim.

Gambaran perjalanan spiritual lainnya ditemukan Mas Abim dalam kisah “Sang Pencerah”, halaman 41. “Purna sudah tahap belajarmu padaku. Telah kau lebur syariat, tarekat, hakikat dan makrifat menjadi sebait kalimat yang terus bergema di dalam dadamu. La ilaha illalah.”

Mas Abim memahami ini sebagai hasil perjalanan spiritual yang telah sampai pada puncaknya. Jika seseorang ingin menulis tentang keris seperti yang telah dilakukan Panji Sukma, maka ia harus benar-benar memahami, mempelajari, dan mendalami ilmu tentang keris.

Pembacaan Mas Abim dilengkapi Mershinta yang mendapat giliran selanjutnya. Sebagai orang asli Blitar, Mbak Mershinta tentu sangat paham tentang keris. Ia mengakui, novel ini memanggil kembali ingatan-ingatan masa kecilnya. Apalagi latar belakangnya yang masih erat dengan budaya Kejawen. Selain itu, kisah-kisah dalam novel ini berkaitan dengan beberapa buku lain yang pernah ia baca sebelumnya, seperti cerita tentang Mataram, Demak, dan Majapahit.

Menurut Mbak Mersinta, setiap keris memiliki jiwanya sendiri, sehingga jangan heran apabila sesekali bertemu keris yang diajak bicara layaknya manusia oleh pemiliknya.

“Di Jawa, setiap tahunnya ada istilah keris itu dikasih makan (diritualkan),” ungkap Mba Mershinta.

Rey Gregorius yang bertindak sebagai moderator malam itu, tidak banyak berkomentar, tetapi ia merasa lega karena akhirnya bisa selesai membaca Sang Keris. Bagi Rey, novel ini mengingatkannya pada beberapa cerita sejarah, seperti Majapahit dan kisah-kisah lainnya.

Sang Keris dan Kenikmatan Membaca

Di bagian akhir, berbeda dengan hampir semua pembacaan, Armin Bell justru merasa senang karena Bincang Buku Petra memilih Sang Keris sebagai buku ke 27 yang dibahas. Bagi Armin, novel Panji Sukma ini telah mengembalikan keasyikan membaca yang selama ini sulit sekali ditemukan dari buku-buku fiksi Indonesia.

“Ketika membaca cuplikan juri, bahwa buku ini merupakan novel nonlinear, saya langsung merasa bahwa buku ini akan sangat nikmat sekali untuk dibaca. Jadi tidak harus mengejar target untuk menyelesaikannya, karena cerita seperti itu akan memberi kita kebebasan untuk membaca bab yang mana saja dan kapan saja,” jelas Armin.

Menurut Armin, penulis menampilkan fragmen demi fragmen dengan gaya yang sama baik dan rapinya. Armin juga melihat bentuk cerita yang ditampilkan Panji mengambil bentuk keris; dalam hal ini bentuk keris menjadi perangkat dalam membangun cerita.

Sementara itu menurut Marcelus Ungkang yang mendapatkan kesempatan terakhir berbicara, ketika mulai membaca Sang Keris, ia telah menduga sebagian besar teman-teman akan melihat cerita ini sebagai fragmen-fragmen. Hal ini terjadi karena memang pengetahuan latar kita tentang tradisi keris dan budaya Jawa sangat minim. Padahal jika kita membaca penjelasan di bagian belakang sampul, kita akan menemukan bahwa membaca buku ini sama dengan menentukan pilihan, kita bisa melihat fragmen-fragmen kisah sebagai hal yang memiliki kaitan satu sama lain atau bisa saja dibaca secara terpisah.

“Pada akhirnya kita memang lebih banyak membaca buku ini sebagai fragmen. Tidak salah, karena belakangan ini, DKJ terus mendorong penulis atau pengarang Indonesia untuk bereksperimen dengan bentuk. Meskipun hal yang menjadi soal adalah, terkadang bentuk akan jomplang dengan isi, sementara mestinya harus ada keterpaduan antara bentuk dengan isi,” tutup Celus.

Penutup

Malam itu, Bintang Tiga diberikan untuk Sang Keris. Sebagai notulis, saya senang akhirnya bisa menyelesaikan catatan panjang ini. Terima kasih atas kepercayaan teman-teman di Klub Buku Petra, sampai jumpa di Bincang Buku selanjutnya. Salam.(*)


Baca juga:
Teman-Teman Saya dalam Novel Kambing dan Hujan
Mengapa Orang-Orang Hilang dari Sebuah Cerita?

Komentar Anda?