Menu
Menu

Jauh sebelum wabah, kebun cabai ayah Emdi memang sudah jarang mendatangkan uang, justru lebih sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atas kesukaan pada makanan pedas. pendekatan hortikultural


Oleh: Muhamad Kusuma Gotansyah |

Lebih dikenal dengan sapaan akrab Gotan. Lahir, menetap bersama keluarganya, dan kini berkuliah di Tangerang. Beberapa karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di media-media daring seperti Litera dan Buruan.co. Ia juga memiliki blog pribadi: berisiklegal.wordpress.com.


Umur tiga belas, Emdi terjatuh di depan rumahnya, saat pulang dari sekolah dengan kabar gembira, bahwa ia mendapat nilai 87 dalam pelajaran bahasa Inggris, yang mana ibunya selalu berharap ia mendapatkan nilai bagus dalam pelajaran itu, karena beliau adalah seorang guru bahasa Inggris — bukan pegawai negeri, ibu Emdi membuka kursus bahasa Inggris di rumahnya sendiri; Emdi tertelungkup dengan lutut kanannya terlebih dulu mengenai tangga pendek menuju pintu masuk rumah. Ia, Emdi, menangis sambil memegang lututnya yang memar. Ibu Emdi yang sedang membersihkan kelas setelah sesi kursus yang terakhir untuk hari itu, menuju tempat Emdi terjatuh. Di hari yang sama, ayah Emdi pulang kerja pukul sembilan malam, seperti biasa, membawa kabar yang mungkin tidak begitu biasa: aku resign, katanya, sebelum meletakkan tasnya di sofa, mengangkat tudung saji sedikit dan berkata: aku masak mi instan saja ya.

Ibu Emdi, cenderung bingung daripada sedih, menangis. Sementara itu Emdi sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang terjadi, juga memahami sifat ayahnya yang gemar pindah-pindah tempat kerja. Alasan yang mendasari kebiasaan berpindah ini, menurut ayahnya, berdasarkan hasil menguping pembicaraan-pembicaraan malam di kamar tidur orang tuanya, adalah karena ayahnya seseorang yang idealis. Hal ini tidak buruk dan tidak bisa juga dibilang baik, tetapi yang jelas hal tersebut tidak jarang membingungkan serta mengejutkan, dan di beberapa kesempatan, mengecewakan.

Emdi belum sempat menyantap makan malam yang sudah disiapkan oleh ibunya; nasi bersama terong balado dan beberapa iris timun untuk sayur. Ayahnya sedang merebus mi di dapur, sementara ibunya di kamar tidur, tetap tidak keluar-keluar setelah ayahnya ikut duduk di meja makan bersama semangkuk mi rebus instan yang ditaburi kacang. “Makan, Emdi,” kata ayahnya, yang dijawab Emdi dengan anggukan pelan dan kurang yakin. Walau begitu ia tetap makan, dengan agak terburu-buru, berharap bisa mendahului ayahnya, kemudian pergi ke kamar orang tuanya yang jarang ia masuki untuk melihat ibunya. Saat berdiri dari tempat duduknya, ia baru ingat bahwa lutut kanannya cedera, sehingga ia terduduk kembali, diikuti dengan erangan yang agak kencang. Ayahnya menengok lalu menanyakan ada apa. Dari dalam kamar terdengar langkah kaki ibunya yang tergesa-gesa, langsung menggendong Emdi, mengantarnya ke kamar.

“Hati-hati dong, Emdi. Lutut kamu kan baru saja bermasalah,” kata  ibu sesampainya mereka di kamar Emdi.

“Ibu tahu nggak kalau hari ini nilai bahasa Inggrisku keluar, dan nilaiku 87?”

“Bagus, Emdi. Tapi besok kamu jangan sekolah dulu, ya. Besok kita harus ke Ati, harus diperiksa betulan.”

“Oke, Bu.”

Ibunya keluar setelah mengusap-usap dahi Emdi. Dari dalam kamarnya, melalui pintu yang tidak tertutup, Emdi bisa melihat ayahnya yang melihat Emdi sejenak, sejenak saja,  lalu beralih melihat ibu Emdi, saat istrinya itu lewat di sampingnya, cepat-cepat masuk ke kamar tidur mereka tanpa bicara apa-apa. Emdi menyaksikan semuanya, berpura-pura melupakan memar pada lututnya, juga nilai bahasa Inggris yang menurutnya cemerlang.

Sebelum Emdi lahir, hanya ada satu kamar di rumah itu, berbentuk persegi panjang, di mana lebar-lebarnya tidak begitu sejajar sehingga jika dilihat sebagai denah, tampak seperti trapesium siku-siku. Kehadirannya membuat ibu berinisiatif untuk membagi sama besar—walau hasilnya tidak begitu sempurna, satu kamar yang panjang itu menjadi dua bagian. Pembatasnya hanya dua papan tripleks lebar, dengan ruang kosong di antara keduanya. Hal ini mengakibatkan Emdi tidak sulit untuk mendengar segala sesuatu yang terdengar di kamar kedua orang tuanya. Terutama saat ada pertengkaran, Emdi bisa mengetahui, dan setidaknya mencoba memahami masalah-masalah yang dihadapi kedua orang tuanya. Menginjak masa remaja, ia mulai tahu, lewat rutin menguping, bahwa orang tuanya tidak pernah bercinta, yang menurutnya lazim dilakukan pasutri. Ia tidak atau belum mengetahui, apakah ada gejala biologis yang mengakibatkan hal tersebut; mungkin salah satu dari kedua orang tuanya, ada yang mengalami impotensi. Yang ia tahu, kedua orang tuanya kerap berargumen, kadang terdengar tenang tetapi seolah tidak ada yang mau dikalahkan, tidak jarang pula seperti sedang marah-marahan, dan sepertinya, pikir Emdi, hal tersebutlah yang menyita waktu kedua orang tuanya untuk bercinta.

Malam itu, dengan memar di lutut, Emdi memaksakan dirinya beranjak dari tempat tidur dan berusaha mengeluarkan bunyi sepelan mungkin. Ia yakin sulit. Sekurang-kurangnya, akan ada suara pada ubin akibat jalannya yang cacat; kaki kanan agak diseret dan kaki kiri sesekali menghentak sehingga menimbulkan suara. Emdi tetap berhasil mencapai tripleks pembatas kamarnya dan kamar orang tuanya, dan kelihatannya sudah telanjur tidak memedulikan apakah usahanya itu menimbulkan bunyi-bunyi mencurigakan. Seperti biasa, ia mencoba menempelkan telinga kirinya pada tripleks, perlahan-lahan, meski ia merasa cukup sulit melakukannya. Untuk menguping pakai telinga kiri, ia perlu bertumpu pada lutut kanan, sementara kaki kirinya membentuk sudut siku-siku, dan itu menjadi masalah, sebab ia perlu menahan juga perih di lutut kanan. Namun ia mengganti-ganti posisi, dan terus menguping.

Semua sudah matang aku pikirkan, tambah lagi mereka itu ribet. Maksud kamu matang apa? Kalau kamu nggak kerja kamu mau ngapain? Ikutan mengajar, nggak pernah serius, kamu cuma mau ngurusin kelasnya Rudi yang udah pada gede-gede. Lah minimal aku ngebantu, bukan? Ngurusin kelas itu aja kamu suka lupa mengingatkan bayar uang kursus! Tambah lagi, yang ribet itu anak-anak yang kecil-kecil, capek tahu nggak! Aku kan pas itu sudah pernah mencoba mengajar kelas anak-anak Bethel, mereka yang nggak suka sama aku. Itu kamu yang nggak peka! Ya makanya nggak salah aku lebih milih mengajar kelasnya Rudi. Tapi kok kamu seenaknya aja begitu resign, sih? Kalau kamu cuma bantu ngurusin satu kelas doang, berarti aku yang ngurusin semuanya, kan? Termasuk manajemennya, yang mana nggak kamu pedulikan. Itu ribet. Dan lagi memang kamu kira uang kursus doang cukup buat hidup? Ya makanya kamu tenang dulu dong, seperti yang aku bilang, semuanya udah dipikirin matang-matang. Aku pengin bikin kebun, Tan. Ya Allah! Kamu udah sinting ya? Ya dengar dulu dong. Ya nggak bisa, enak aja! Kebun lagi, kebun lagi! Begini, Tan, aku udah pesan tujuh unit bibit cabai. Halaman belakang kan lumayan luas, tuh. Gila, Gi, lu udah gila! Tujuan lu sebenarnya apaan, Gi? Pengin nyusahin hidup gua doang, hah? Yang bikin kursus ini aja gua, Gi, gua! Ya makanya aku mau bikin kebun! Tapi lu udah punya kerja, Gi, lu udah karyawan permanen! Mereka ribet, Tan! Lu ribet! …

Mungkin ada banyak hal yang Emdi dengar, tetapi setelah bangun pagi, yang ia ingat hanya sesedikit itu. Hari itu bibit-bibit cabai ayah Emdi datang.

***** pendekatan hortikultural

Tiga belas tahun kemudian, sesekali muncul nyeri di lutut kanan Emdi. Jika diperhatikan dengan baik, lutut kanannya memang terlihat lebih bengkak dan berdaging daripada lututnya yang lain. Walau begitu, ia kesulitan mengingat dengan jelas apa yang terjadi sehingga lutut kanannya seperti itu. Satu hal yang ia ingat adalah bagaimana halaman belakang rumah tempat ia tinggal bisa dipenuhi pohon cabai.

Ayah Emdi sakit tiga bulan setelah ia membuat kebun cabai di halaman belakang rumah mereka. Menurut dokter, komplikasi gagal ginjal, diabetes, dan tekanan darah tinggi. Tiga belas tahun kemudian, semacam wabah datang ke perumahan mereka—yang mana akhirnya Emdi tahu bahwa belahan bumi lainnya juga terkena wabah yang sama—dan menghambat segala jenis kegiatan manusia, karena berdasarkan penelitian, salah satu cara paling ampuh untuk menekan kenaikan kasus wabah ini adalah dengan tinggal di rumah masing-masing, tidak berinteraksi secara langsung dengan manusia lainnya. Hal ini, tentunya, juga berdampak pada bisnis kursus bahasa Inggris ibu Emdi; sekarang ibu Emdi hanya mengajar anak-anak SD kelas 5 dan 6, dengan aturan sepuluh orang setiap sesinya. Pendapatan untuk kehidupan keluarga, tentu saja ikut menurun.

Jauh sebelum wabah, kebun cabai ayah Emdi memang sudah jarang mendatangkan uang, justru lebih sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atas kesukaan pada makanan pedas. Walau begitu, ayah Emdi tetap rajin merawat, menghias, menghabiskan waktu untuk kebun cabainya. Berjalan lima tahun keberadaan kebun cabainya—dan penyakit yang diidapnya—ayah Emdi lebih banyak meluangkan masa-masanya di kebun. Emdi mendapati ayahnya berbicara, bernyanyi-nyanyi, dan berjenaka dengan pohon-pohon cabainya. Suatu malam Emdi juga pernah melihat, dari jendela, ketika ia kehausan dan pergi ke dapur untuk minum, ayahnya sedang tengkurap di dekat sekelompok pohon cabai di kebunnya. Ia takut ayahnya meninggal, akibat penyakit yang sudah lama diidap – ia keluar dan menemui ayahnya, menepuk-nepuk punggung ayahnya dan memanggil namanya. Ayahnya menengok, dan pada wajah yang agak dikotori tanah, ia melihat keraguan. Saya impoten, Di, kata ayahnya tanpa mukadimah, dengan saya yang tegas dan seolah sudah biasa menggunakan kata itu kepada anaknya. Ayahnya bangun, dengan sebelumnya membetulkan celananya terlebih dahulu. Emdi melihat lubang kecil, tampak menyedihkan, pada area tanah yang barusan ditelungkupi ayahnya, dan jika ayahnya telungkup lagi pada area yang sama, kelihatannya lubang itu akan berbenturan dengan bagian selangkangannya. Ayahnya, menurut Emdi, sudah tua dan mungkin agak sedeng.

“Sisa hidup saya tinggal sedikit, Di. Saya impoten; tapi bukan untuk kebun cabai ini. Nanti kalau saya mati, kubur di sini, dan kamu bisa lihat sendiri, saya bakal jadi kompos untuk benih-benih yang saya tanam, dan kebun ini akan makin lebat, bukan hanya lebat akan cabai, mungkin juga lebat dengan keturunan tumbuhan baru.”

Setelah itu ayahnya menepuk bahunya dan beranjak pergi. Apa yang baru saja disebutkan ayahnya mengingatkan Emdi kepada sebuah pengandaian Salman Rushdie lewat tokoh Mr. Geronimo, yang ternyata seorang keturunan jin, yang punya hasrat reproduktif terhadap kebun dan tumbuhan mirip ayahnya, pada sebuah novel yang pernah ia baca di perpustakaan kota; ia kerja di sana, sebagai pustakawan, tetapi sudah tidak lagi karena wabah. Namun, pikirnya, ayahnya berbeda; ayahnya bukan jin, dan ia sedang sakit. Tidak seperti Mr. Geronimo yang sehat walafiat sampai suatu saat seutas petir menyambarnya dan mengembalikannya pada bentuk jinnya. Ayah Emdi manusia biasa, yang kemungkinan kecil disambar petir, yang mungkin idealis, dan dengan sikapnya yang sering membingungkan dan mengejutkan, bahkan mengecewakan, dan yang tiga belas tahun silam mengutamakan idealisme, entah apa, serta menyalurkannya lewat berkebun cabai.

Emdi kurang begitu tahu kenapa ayahnya memilih cabai untuk memenuhi kebunnya, tetapi ia tahu, sejak kebun cabai itu ada di halaman belakang rumah, keluarganya tidak pernah lagi membeli cabai, di pasar maupun di tukang sayur yang lewat. Keluarganya, dan dengan menyebut keluarganya yang dimaksud sebenarnya hanyalah ia dan ibunya, memang suka pedas. Tetapi menurut Emdi, ayahnya terlalu idealis untuk memakai keluarga sebagai alasan.

Pagi keesokan harinya Emdi terbangun karena rasa sakit yang luar biasa muncul pada lutut kanannya. Ia memegang-megang lututnya itu, tetapi berhenti karena yang ia lakukan justru menambah rasa sakit. Dengan kesusahan ia beranjak dari tempat tidur, dan dengan tertatih ia berjalan keluar dari kamar. Pada saat itulah ia berpapasan dengan ibunya – ibunya terdiam sejenak, dan langsung memeluknya.

***** pendekatan hortikultural

Sehabis pemandian jenazah dan rangkaian kegiatan pengurusan mayat dalam Islam lainnya, setelah permohonan ibu Emdi dan diskusi lanjut, ustaz setempat dan warga akhirnya bersedia untuk mengebumikan ayah di kebun cabainya.

Emdi tidak bisa membantu memasukkan jenazah ayahnya ke dalam lahad lantaran lutut kanannya yang tiba-tiba bermasalah kembali; ruang geraknya menjadi agak terbatas, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk menyaksikan penguburan ayahnya. Ibu Emdi juga di sana, dan lewat wajahnya yang sebagian tertutup masker berusaha tidak menampilkan gejolak apa pun.

Kematian ayahnya membuat Emdi memikirkan hari-hari yang akan datang; tetapi ia sendiri bingung, kenapa harus memikirkan hal-hal seperti itu? Sejak ayahnya berhenti bekerja demi kebun cabai, hidup sudah selalu begitu-begitu saja. Alhasil Emdi menguatkan ingatan itu dan membuatnya menjadi napas bagi nyawa yang tersisa; bahwa hidup, memang akan selalu begitu-begitu saja, dengan atau tanpa ayahnya. Kemudian ia tidur, dan keesokan harinya terbangun dan mendapati lutut kanannya tidak lagi sakit; dan, jika diperhatikan dengan baik, pagi itu, lutut kanan maupun lutut kirinya, tidak ada bedanya lagi.

Maka ia pun berjalan, tanpa beban, menemui ibunya yang bersiap-siap membuka kursus setelah selesai membuat sarapan. Di pagi yang sama, di kebun cabai mendiang ayah Emdi, tumbuhan-tumbuhan tidak bernama mencuat, dan mungkin, tiga belas tahun setelah itu, dan tiga belas tahun setelahnya lagi, halaman belakang rumah Emdi dan ibunya sudah lebat dengan tumbuhan-tumbuhan asing, sehingga pohon-pohon cabai yang dulu ditanam ayahnya perlahan-lahan tertutupi, tersembunyi, lalu akhirnya kalah dan mati.(*)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung | pendekatan hortikultural

Baca juga:
Srimenanti; Cara Lain Menikmati Puisi-Puisi Jokpin
Menyerbu Perpustakaan – Esai Javier Marías

pendekatan hortikultural

Komentar Anda?