Menu
Menu

aku tak tahu air mana yang mesti kuminum, kalau bukan dari lautmu. sebab di sana ikan-ikan purba menetap; …. titan sadewo


Oleh: Titan Sadewo |

Lahir di Medan 2 Desember 1999. Mahasiswa Pend. Bahasa Indonesia FKIP UMSU. Belajar menulis di FOKUS. Puisinya dimuat Tempo, Riau Pos, Haluan Padang, Bali Post, Banjarmasin Post, Rakyat Sumbar, Analisa, Buruan.co, Kibul.in, Apajake.id, Buletin Lamun, Buletin Filokalia, dan Buletin Lintang. Puisinya juga termaktub dalam sejumlah antologi, antara lain Syair Maritim Nusantara (2017), Puisi untuk Lombok & NTB (2018), Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah ke Pangkal (2019).


Surat Wasiat Amir

aku telah pergi, Kamaliah
jauh, ke tempat tak bernama
jangan cari atau ingat aku
anak itu, ajarkan derita
juga sejarah berdarah

di Langkat
aku dibesar-lenyapkan
tanah ini rumah kita, Kamaliah
meski kecemasan-kebencian selalu ada

namun kau harus ingat satu hal:
dalam kamus besar bahasa kita
termaktub kata maaf

bila anak itu bertanya tentang revolusi
jawablah dengan tenang
ucap tanpa gemetar
tanpa isyarat ketakutan

sesekali kunjungi aku
tanah & nisan menunggu
ajarkan ia fatihah
jangan lupa air mata
juga doa mekar dalam keranjang

dari sini, aku berteriak, Kamaliah
memanggil segala yang mungkin
berharap kau mendengar

tapi hanya kekosongan;

kehampaan.

2020 – titan sadewo

.

Chairil ke Pulau Seberang

naiklah ke kapal ini, Ril!

kapal yang mengantar Hapsah ke dermaga
kecewa. ke laut kerajaan duka. ke kota yang
melupa sebuah nama. pengembaraan selalu
tergesa-gesa, seperti kesedihan menerkam
tanpa aba. masihkah kau tahan air mata?

naiklah ke kapal ini, Ril!

kau tak memerlukan peta & kompas. sebab
arah adalah darah yang mengucur dari dada
ingatlah Hapsah & bocah itu, seorang yang
tak bisa kau sentuh. serupa luka, membenci
jari, tangan & usaha tuk menyembuhkan

turunlah dari kapal ini, Ril!

kesia-siaan ialah nakhoda yang menuntunmu
nuju ketidakpastian. maukah kau berhenti
umpama musafir kehausan? keringat kau
sakit berabad yang mengalir. kumpulkan
& teguklah tanpa bimbang! sesungguhnya

Hapsah tak pernah sampai padamu.

2021 – titan sadewo

.

Menjual Joko di Pasar

aku pencuri yang mengendap-endap itu
mencari celana di rumahmu. kau bilang
celana itu pernah dipakai Yesus, kukira
kalau dilelang oke juga. pasti akan ada

penyair muda yang ingin membelinya
dengan harga paling bahagia. malam
telah memejam matamu yang berteman
dengan kesepian. dengkur adalah nyanyi

yang selalu kau dendangkan. pantas saja
kau tulis Buku Latihan Tidur, wong tidurmu
seperti orang mati, nyenyak sekali. aku pencuri
yang mengendap-endap itu. kubongkar lemari

namun yang kudapat hanya sarung bermerek

kuburan.

2021 – titan sadewo

.

Perempuan yang Berlendir

—Oka Rusmini

 

kotak itu, jangan kau buka lagi

sebab
kesedihan menembak berkali-kali
suaranya burung paruh sepatu berbicara
di sini, perempuan itu telah merampas segala
yang kupunya: mata bernanah, mulut berbuih & dada
berdarah. perlahan, aku ingin membukanya. Oka, jangan

sebab
ketidakmampuanku menerima hadiah darinya: segelas liur komodo
& sepiring daging rangkong. dialah yang menghapus namamu dari
kamus besar bahasa kehancuran.

ketika gunungmu muntah,
hutanmu menjerit & lautmu berteriak!

sungguh
segalanya telah musnah, Oka.
bahkan setelah kotak itu kau buka,

dendam muncrat tiba-tiba.

2021 – titan sadewo

.

Kamus Besar Bahasa Kebencian

—Widji Thukul

 

Jakarta

kau baca kata itu dengan api
di dada. karena mengingat
nama-nama mereka yang
hilang. kau baca kata itu
dengan air di mata. karena
pistol polisi berbunyi ketika
para demonstran berteriak:

“negara adalah kata lain
ketertindasan & ketidakadilan!”

Jakarta

gemetar bibirmu membacanya
seakan-seolah ingatan menuntun
sakitmu ke cerita-cerita silam, ke
darah-nanah sepanjang trotoar

Jakarta
adalah orang dewasa yang membunuh
anak kecil di depan mata kita, di depan
kemanusiaan yang kotor-serakah

kau terdiam membaca metafora yang
termaktub dalam kamus besar bahasa
kebencian itu. Jakarta, kata yang ingin
kau potong. tapi seperti Hydra, Jakarta
selalu tumbuh & tumbuh & tumbuh
hingga pada akhirnya

kau menyerah.

2021 – titan sadewo

.

Menebalkan Ibu di Kerongkongan

—Cyntha Hariadi

 

aku tak tahu air mana yang mesti kuminum, kalau bukan dari lautmu. sebab di sana ikan-ikan purba menetap; membuat sirip seperti mengepak sayap & sejarah bagi tubuh bahasa mereka sendiri. di sana pula aku lahir & kau hanyutkan. aku bukan nakhoda, ibu, bukan juga nelayan. hatiku yang sempit & berair ini pun tak mampu kulayari. apalagi lautmu yang luas—tempat kapal-kapal berlayar-meragu, langit berkaca seperti perempuan berambut panjang, matahari membasuh sekaligus mencelupkan muka ke pangkuanmu. juga ada karang berwarna bahagia, kuda laut berlari lambat, ubur-ubur menari & makhluk yang sampai sekarang tak kutahu namanya. sebab lautmu yang luas, tempat segala berumah & dimakamkan. aku pun lahir dari sana. sebagai ikan badut yang pemalu & sadar-pengakuan: jika bukan di sini aku dilahirkan, aku hanya pasir yang disentuh ombak, basah lalu mengering. yang semata, sia-sia.

2021 – titan sadewo

.

Ini Kesawan, Puan

—Sartika Sari

 

kita lewati berbagai bangunan
seperti perempuan tua berjajar

sore mewarnai Lapangan Merdeka
warna oranye tumpah di dada mereka
orang-orang membawa kata horas

malam memasang kelambu & lampu
wajah London Sumatra bercahaya
serupa malaikat dari negeri penjajah

Tjong A Fie pernah di sini, katamu

lalu Kesawan membawa kita
dengan pertanyaan: ingin ke mana?
Tip Top, katamu, restoran poskolonial

kita duduk berdua, malam telah redup
persis kunang-kunang mengepak remang
seorang perempuan menyodorkan menu
namun kita tak bisa memesan apa-apa

dari kaca jendela, di depan kantor Analisa
pengemis itu tertidur ketika hujan menusuk
tanah ini, tanah Guru Patimpus yang jadi
tempat kita bersembunyi. ketika hari tua
mengetuk pintu & mengintip di jendela

kita gamang, tak bisa pulang
sebelum hujan mereda lagunya
sebelum restoran ini menutup jadwal
sebelum Kesawan bertanya pada kita:
kalian ingat sejarah yang terbakar?

2021 – titan sadewo

.

Woi Apa! Cok Kau Apakan Dulu Apa Itu, Biar Apa Sikit, Tapi Jangan Apa Kali Ya, Nanti Apa Pulak Dia

—Hamzah Muhammad

 

lagi di jalan, mau ke Ucok Durian:

goyang kali, Abang
selow aja di boncengan

bahaya banget motor lu!

hahaha, bos cowok punya barang
antara antik & udah mau jim, Bang

ini kendaraan lu ke kampus?

iya, Bang. tapi gini-gini banyak kenangannya;
pernah kutabrak uwak-uwak di jalan Jamin Ginting
udahlah berserak aku, hampir dipukuli orang situ pulak
rusak kalilah, Bang! untung masih selamat aku, hahaha!

gila banget lu! kalau pacaran, naik mobil?

enggak, Bang. tetap naik kereta ini aku. walau kadang
payah kali dicagak, kimak kali memang, buat palak aja
untung pacarku ngerti. kolok gak, dahlah putos kami

salut sih gue sama lu! pacar lu suka sastra juga?

bah, manapulak, Bang. pernah waktu itu kukasih pdf Bukowski
punya abang tuh. dia nanya: ini cerita sex ya? anjeng kali, pikirku
cemanalah aku menjawabnya ini, kolok kujawab puisi, teros dia bilang:
ih, puisi apa kekgini, jorok kali kata-katanya. makin bingung aku jelasinnya

hahaha, brengsek! ya, tinggal lu jelasin bahwa Bukowski memang
menulis dengan gaya & dialek seperti itu, beres kan?

ah, muncong abang enak ngomongnya. pening aku, bang. banyak kali
tanyaknya dia. pernah dia nanyak: ko gak cumak ngirim puisi-puisimu itu
ke aku aja kan? kolok dia nanyak kekgitu, selalu kujawab: ya ampun, cuman
untok ko ajaloh puisi-puisi itu, mana ada untok cewek lain, mck! teros katanya:
alah, paser! banyak kali kuah kau, penyair-penyair itu kan banyak ceweknya?!

padahal enggak semua penyair begitu ya, mungkin ada, tapi kan gabisa dipukul rata kan ya?!

itulah, abang tau & paham sendiri kan? dahlah, Bang, udah sampek kita.
turon, Bang

oke, siap!

aduh, babilah, ini yang malasnya aku

loh, kenapa?

udah sekarang abang pesan aja durian itu, kita makan di rumahku aja ya, Bang

lah, kita enggak jadi makan di sini?

enggaklah, Bang. ga bisa dicagak keretaku, cemana lagi. apa mau kita tidurin aja keretanya di depan Ucok Durian ini? macam betol aja bah. udah macam sepeda!

2021 – titan sadewo


Ilustrasi: Photo by Paula Schmidt from Pexels

Baca juga:
Puisi-Puisi Joko Pinurbo – Khong Guan
Puisi-Puisi Wawan Kurniawan – Di Museum Kehilangan
Mengapa Orang-Orang Hilang dari Sebuah Cerita?

Komentar Anda?