Menu
Menu

“Kambing dan Hujan” dibahas di Klub Buku Petra pada bulan Maret tahun 2016 silam. Apa hubungannya dengan NU dan Muhammadiyah?


Oleh: Marcelus Ungkang |

Bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Teater Saja.


Identitas Buku

Judul: Kambing dan Hujan
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Penerbit Bentang (PT. Bentang Pustaka) 2015
Halaman: 388 Halaman

***

Setelah membaca novel Kambing dan Hujan (2015) karya Mahfud Ikhwan, saya teringat teman-teman Muslim di Malang. Bagaimana tidak, perbedaan antara NU dan Muhammadyah bisa terasa dalam proses perkuliahan.

Berdasarkan pengalaman, saran saya, jika ada tugas kelompok, bergabunglah dengan teman-teman Muhammadyah. Teman-teman dari Muhammadyah akan serius mengerjakan bagiannya sesuai kesepakatan. Mereka juga akan bangun jam 04.30 pagi hanya untuk mencari tempat foto kopi agar presentasi pada jam tujuh pagi berjalan lancar. Bagi mereka, malu betul kalau tidak mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Saat saya satu kelompok dengan teman-teman dari NU, mereka akan menemani saya begadang sampai pagi “menyelesaikan” tugas tersebut, tentu saja dengan cerita lucu dan keusilan. Mereka adalah orang-orang yang setia kawan. Hanya saja, ya itu, akhirnya kami tidak melakukan apa-apa terkait tugas. Terkutuk kau Pro Evolution Soccer!

Meski demikian, ada juga teman NU yang sangat cerdas. Ia saya kenal melalui surel ketika saya menyelesaikan skripsi di Universitas Udayana – sampai sekarang kami belum bertatap muka. Jika bersekolah di seminari, saya kira dia akan jadi kesayangan para Romo – yang bersemangat menulis rekomendasi agar dia melanjutkan studi ke kampus manapun. Soal filsafat, dia berada jauh beberapa tahun di masa depan saya. (Cara saya bercerita tentang dia persis seperti Is menceritakan Cak Ali dan Moek menceritakan Ali Qomarullaeli, kan?)

Namun, jujur, ketika saya kehabisan uang, saya lebih nyaman ke tempat teman-teman NU. Mereka memperlakukan saya seperti saudara yang sudah dikenal bertahun: memberikan baju, sarung, dan makan dari piring yang sama.

Di kamar kos saya bahkan ada sajadah yang sengaja mereka simpan agar tak perlu pulang ke kos saat jam Shalat. Mereka tak pernah menyebut lantai kamar kos saya, tempat mereka bersujud, sebagai kamar orang kafir. Singkatnya, ada cinta kasih dan persaudaraan yang melampaui batas-batas – berbeda sekali dengan yang sebelumnya saya ketahui dari berita televisi, koran, atau prasangka-prasangka agama yang yang pernah membayangi benak saya.

Teman-teman kelas saya agak kurang percaya bahwa tempat saya berasal, yang notabene mayoritas Katolik, masyarakatnya mencintai dan mengagumi Gus Dur layaknya para santri terhadap kyainya.

Mungkin Gus Dur itu adalah gambaran ideal yang diharapkan dari para pastur mereka: pintar, banyak membaca, lucu, bisa menulis dengan baik, dan kokoh berpihak kepada yang lemah. Namun, orang Katolik kan punya romo-romo seperti itu, sebut saja sebagai contoh: Franz Magnis Suseno, Mangunwijaya, Sandyawan, atau Benny Susilo.

“Romo” yang beragama Islam itu punya hal yang istimewa: humor yang cerdas dan spontan. Humor yang ramuannya demikian ajaib sehingga ketika mendengarnya, orang-orang Katolik itu bisa tertawa berguling-guling sekaligus terharu. (Kalau pernah jadi minoritas, Anda akan mengerti bagaimana rasanya dibela oleh orang pintar dan penting.)

Gus Dur, dan Buya Syafii Ma’arif juga saya kira, adalah orang Islam yang langka. Mereka diterima secara sukarela oleh orang beragama lain sebagai rahmat. Sebagai rahmat, saudara-saudara! Pastur Katolik yang inspirasinya melampaui agama asalnya yang barangkali mendekati Gus Dur, pendapat pribadi saya, adalah Romo Mangun – minus humor tentunya.

Namun, saya katakan kepada teman-teman kelas, entah itu bikin kecewa atau gembira, bahwa kami di Manggarai, tak tahu dan tak repot mencari tahu Gus Dur itu Muhammadyah atau NU. Bagi kami, Gus Dur itu beragama Islam dan kami ingin menirunya. Ya sudah sampai disitu. Sama seperti kami melihat Nurcholis Madjid: orang Islam yang kalem dan cerdas, tak tahu apakah ia NU atau Muhammadyah. Lagi pula, saya punya teman Muslim sejak kecil di Ruteng dan saya tidak repot bertanya dia itu NU atau Muhamadyah. Sampai sekarang kami masih saling memperhatikan, membelikan rokok untuk yang lain, juga bertengkar sengit seperti Is dan Moek.

Kurang lebih, itulah yang terlintas dalam pikiran saya setelah membaca novel Kambing dan Hujan. Oh iya, saran lain: jika kamu hendak menebang pohon besar untuk keperluan yang urgen, ajaklah orang Muhammadyah, sebab mengajak orang NU, seperti digambarkan dalam novel Kambing dan Hujan, terlalu repot ritual mistiknya. Wassalam.(*)

*Versi awal tulisan ini dibacakan di Klub Buku Petra, 18 Maret 2016


Baca juga:
-BINCANG BUKU | DAWUK: KALAJENGKING DAN HUJAN DAN KITA
-ULASAN MARCELUS UNGKANG: KEJADIAN TIDAK BIASA DALAM NOVEL ORANG-ORANG OETIMU


Rubrik SAYA DAN BUKU disiapkan untuk semua sahabat yang ingin berbagi pengalaman membaca. Kirim cerita Anda ke [email protected].

Komentar Anda?