Menu
Menu

Lukas Kucingo hafal di mana ikan-ikan matang disimpan. Ia memantau Suster Magda sejak menyiangi, merendamnya menggunakan garam dan asam lalu menggorengnya. Kucing Penunggu Susteran.


Oleh: Jeli Manalu |

Senang menulis dan berkebun. Lahir di Padangsidimpuan pada 2 Oktober 1983, dan saat ini tinggal di Rengat Riau. Cerpen-cerpennya terbit di media lokal dan nasional. Buku kumcernya Kisah Sedih Sepasang Sepatu (2018).


Tidak jauh dari pohon kemiri yang mulai lepas buah-buah matangnya, seekor kucing jantan bernama Lukas Kucingo sudah tiga hari tampak masygul. Di atas bangku panjang, dengan mulut selalu terkatup, ia berbaring malas. Dua mata kuningnya juga meredup seperti kehilangan cahaya. Sekalipun mujair goreng berukuran besar diletakkan persis di depan dagunya, ia tak bernafsu. Telinga, hati, dan segenap pikirannya hanya terarah ke gerbang susteran(1), di mana setelah berjam-jam meninggalkan dirinya, melalui titik itulah biasanya kemunculan Suster Magda ditandai dengan bunyi sepatu.

Setiap bertemu kembali dengan Suster Magda, sepulang mengajar di sekolah, Lukas Kucingo melompat turun dari bangku dan langsung menjulur-julurkan kaki supaya digendong. Setelahnya ia dapat menikmati suara Suster Magda yang selembut daging ikan. Juga menatap senyum manisnya—senyum itu seperti bibir ikan mujair digoreng—yang terhadapnya, ia tak pernah bosan. Dan kedua hal itu adalah alasan Lukas Kucingo untuk tidak pernah meninggalkan susteran, ia setia menunggu seberapa terlambat pun Suster Magda pulang. Selain itu, Lukas Kucingo juga doyan terhadap semua sentuhan Suster Magda. Tengkuk yang dicubit-cubit. Jemari digarukkan ke dagu sampai leher menenangkan perasaan Lukas Kucingo. Termasuk ciuman. Satu-dua ciuman didaratkan ke pipi Lukas Kucingo memekarkan bunga di hatinya, sehingga cita-cita agar selalu hidup bersama semakin tumbuh membesar.

Ketika Suster Magda bertanya, “Kau sudah habiskan makanannya kan, Lukas?” sembari mengeong manja, biasanya Lukas Kucingo akan menggosok-gosokkan kepalanya ke bagian mana saja tubuh Suster Magda, jawaban bila dirinya sudah menyantap kepala ikan, mencoba menggigit-gigit tulang dan duri yang selalu Suster Magda letakkan di belakang dapur. Tentu Lukas Kucingo akan merasa bersyukur kapan pun dirinya diberi makanan terlebih bila itu seekor ikan utuh. Satu mujair sepergelangan tangan hingga ujung jari Suster Magda sebelum tiba jam makan malam membuat tidur sore Lukas Kucingo nyenyak dan mendengkur. Tanpa mimpi buruk, atau igauan kekecewaan.

Lukas Kucingo hafal di mana ikan-ikan matang disimpan. Ia memantau Suster Magda sejak menyiangi, merendamnya menggunakan garam dan asam lalu menggorengnya. Atau, boleh juga seandainya Suster Magda ada membawa remah nasi bercampur kepala ikan dari kantin sekolah. Lukas Kucingo hobi makan. Itulah sebabnya ia gemuk. Kucing gemuk merupakan tipe kucing yang Suster Magda senangi. Kucing Penunggu Susteran.

Pernah Lukas Kucingo mendapatkan ikan mujair utuh. Ikan basi sisa dari hari sebelumnya. Sebab adakalanya Suster Magda makan di luar karena enggan menolak ajakan orangtua siswa, sementara pagi harinya, Suster Magda terbiasa memasak hingga jatah makan malam. Juga, ia menjaga betul asupan makanannya. Ia memperhatikan dengan ketat jumlah kalori masuk ke dalam tubuhnya, terlebih itu malam sesudah pukul 20.00. Meski tujuannya bukan berarti supaya bisa menarik perhatian lawan jenis, Suster Magda hanya kurang nyaman saja apabila saat mengenakan jubah perutnya terlihat membuncit. Ia ingin menunjukkan citranya, selain biarawati penyayang kucing, ia juga mahir menjaga penampilan. Ia banyak mendengar guru-guru gendut jadi bulan-bulanan siswa—mereka yang tak pandai menjaga tubuh sering mendapat julukan aneh di sekolah. Maka dalam hal ini, Lukas Kuncingo penyelamat Suster Magda agar terhindar dari dosa membuang-buang makanan—sebuah simbiosis mutualisme yang layak dipelihara.

Namun, Lukas Kucingo merasa hubungan di antara mereka lenyap begitu saja. Ia tidak tahu arti dari sebuah perpindahan. Ia juga tak mengerti apa itu tugas perutusan. Yang ia pahami sekarang dirinya berada dalam fase dilanda rindu.

“Jika suatu hari aku pindah, kuharap kau jangan terlalu bersedih. Jangan juga merindukanku,” ujar Suster Magda.

“Kau tahu arti sebuah rindu, Lukas?” Sembari menyematkan dasi bergambar ikan mujair ke kerah kemeja Lukas Kucingo, Suster Magda menjelaskan: “rindu adalah saat kau menginginkan seseorang tapi ia tak kunjung ada. Rindu adalah saat kau mengira bunyi sepasang sepatu yang pulang membawa orang tercintamu ternyata itu hanya buah kemiri jatuh.”

Dalam penantian yang penuh harap selama tiga hari di atas bangku panjang, Lukas Kucingo jadi ingin menangis karena tiba-tiba saja mendapat kemiri jatuh nyaris memukul kepalanya.

Setelahnya, ia teringat sebuah kenangan. Suster Magda pulang dari mengajar, mulai dari gerbang susteran dirinya digendong di depan perut. Lukas Kucingo juga ikut masuk kamar saat Suster Magda membuka pintu. Ia menunggu Suster Magda sejak meletakkan tas di atas meja, melepas kerudung berbau keringat, membuka jubah putihnya, dan menyaksikannya yang telanjang bergerak-gerak mengenakan daster.

Daster bergambar kucing dengan posisi tepat di bagian perut hingga dada Suster Magda membuat Lukas Kucingo terkesima. Matanya melotot tak lepas dari gambar kucing itu, ia berpikir, mengapa bisa ada kucing mendiami pakaian Suster Magda—bagaimanapun, pastilah itu kucing paling beruntung di dunia. Ia lalu berkhayal. Ia berkhayal, gambar kucing itu adalah dirinya. Dirikukah itu?—ia menjadi ge-er sekali kala itu. Dilihatnya pula ada foto di dinding. Foto perempuan berjubah putih bersama kucing dengan dasi bergambar ikan mujair di kerah kemejanya.

Suster Magda beristirahat sore itu, ia terbiasa melakukannya untuk melepas penat sepulang dari mengajar. Melihat orang tercintanya rebah, Lukas Kucingo naik ke kasur yang seprainya bercorak air dengan ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Selanjutnya Lukas Kucingo mengondisikan tubuhnya sesuai gambar kucing pada daster Suster Magda. Dari sana—di atas tubuh perempuan itu—ia memandangi ikan-ikan dalam seprai. Ia memandangi ikan-ikan bergantian dengan foto perempuan bersama kucing di dinding—ia melakukannya berulang kali.

Sepasang mata ikan dalam seprai ia lihat menatap garang padanya. Beringsut melewati payudara Suster Magda, Lukas Kucingo turun menangkap ikan itu. Liurnya menetes. Jiwanya bergelora. Ia kebingungan setelahnya. Mengapa semua ikan tidak mau bergerak, apa tidak takut terhadap dirinya yang mungkin saja sedang bersiap-siap memangsa? Dan sekali lagi, ia mencakar-cakar seprai. Di sudut kasur, di dekat paha Suster Magda, di samping leher, dan ia merasa gila karenanya. Untuk pertama kali ia berjumpa ikan goblok sekaligus aneh tak berguna.

Lelah dalam kebingungan, Lukas Kucingo kembali ke Suster Magda yang sudah mendengkur, ia lalu berbaring di atas tubuhnya. Tak lama kemudian ia tertidur pulas. Dalam tidur sorenya kala itu, ia bermimpi. Di mimpinya ada seorang perempuan berpakaian layaknya pengantin duduk di samping seekor kucing jantan. Di tangan sang perempuan yang wajahnya tampak sangat cantik, ada seikat bunga berwarna kuning seperti warna mata si kucing. Di kerah kemeja si kucing, persis di bawah kancing pertama, terdapat sebutir dasi berbentuk ikan mujair. Tak lama setelahnya, masih dalam mimpi itu, ia melihat dagu hingga leher si kucing digaruk-garuk oleh sang perempuan. Kemudian, si kucing dan sang perempuan melangkah bersisian menuju bangunan Gereja Santo Rafael, di mana di dalamnya, Lukas Kucingo pernah menonton sepasang manusia bertukar cincin serta bibir mereka yang saling berciuman.

Dalam penantian yang penuh harap di atas bangku panjang tidak jauh dari pohon kemiri, hari kian meremang. Lampu teras dihidupkan seseorang. Kucing Penunggu Susteran.

“Lukas, kemarilah. Ada ikan mujair besar untukmu,” ajak orang itu.

Lukas Kucingo cuek. Sepasang mata kuningnya hanya untuk kemunculan Suster Magda. Ia tidak tahu mengapa Suster Magda sudah berhari-hari tak pulang. Memang ia lihat empat hari lalu perempuan itu memindahkan pakaian dari lemari ke dalam koper, termasuk daster bergambar seekor kucing. Juga foto dirinya bersama Suster Magda yang selama ini digantung di dinding—foto yang sangat ia kagumi—ia merasa itu serupa foto milik seorang suami bersama istri dari satu keluarga yang rumahnya pernah mereka kunjungi. Kecuali seprai, ya kecuali seprai dengan ikan-ikan yang ia anggap goblok dibiarkan tetap tinggal di sana.

Hari ketika Suster Magda mengemasi barang-barangnya, sekantung ikan mujair yang cantik-cantik ia lihat juga mewarnai dapur susteran. Naluri kucing Lukas Kucingo bergolak menyimak lenggak-lenggok punggung dalam ember sesaat sebelum ikan-ikan disembelih. Setelah itu, tiga perempuan datang membantu Suster Magda memasak jamuan makan malam untuk upacara perpisahan setelah tiga tahun bertugas di SMP Santo Rafael.

Setiap mujair yang sudah digoreng diletakkan dalam piring besar. Lukas Kucingo berinisiatif mengambil seekor. Ia tak rela perempuan yang ia cintai merasa bersalah bila tidak menghabiskan ikan-ikan itu nantinya. Ia tahu, Suster Magda menghitung jumlah makanan masuk ke dalam perutnya. Suster Magda sering mencium pipi Lukas Kucingo karena menyelamatkan perempuan itu dari dosa membuang-buang makanan. Akan tetapi, yang terjadi di dapur, saat satu kepala ikan sudah dalam dekapan taringnya, tiga perempuan itu serempak menyoraki dirinya, membantingkan sapu hingga mengenai pangkal ekornya. Lukas Kucingo kaget dan menghambur panik. Sejumlah ikan berserakan di lantai karenanya.

“Dasar kucing!” pekik seseorang. Kucing Penunggu Susteran.

Lukas Kucingo tersinggung. Ia cemberut, lalu masygul. Suster Magda yang ia harap akan membela dirinya, justru ikut-ikutan menyalahkannya. Ia kemudian mengenang awal mula perkenalannya dengan Suster Magda.

Suatu hari, induk semangnya yang terdahulu membuangnya ke tempat sepi jauh dari pemukiman. Dari dalam mobil yang melaju, tubuhnya dilempar ke dalam semak-semak. Tuduhan terhadapnya: mengambil ikan dari piring tak berpenutup. Di antara impitan duri pokok andaliman, ia merasakan pusing tak terkira hingga mengira dirinya telah mati, sepasang tangan yang ia sangka malaikat meraih tubuhnya ke ketinggian. Tak lama kemudian, ia menyadari dirinya sudah berada di sebuah asrama yang nyaman dan serba berkecukupan. Sebuah Susteran.

“Hei, Lukas. Ayo nikmati makan malammu,” seru seseorang yang tadi menyalakan lampu teras.

Lukas Kucingo tetap tak menghiraukannya. Ia fokus pada satu bunyi dari arah gerbang, ia berharap itu merupakan bunyi sepasang sepatu Suster Magda. Dari bangku panjang ia meloncat turun dan berlari. Lalu ada yang jatuh memukul ujung ekornya. Ia mengamatinya lama, dan betapa hancur hatinya setelah mendapati kenyataan bahwa itu bukan seseorang yang ia harapkan, melainkan pohon kemiri yang melepas buah-buah matangnya.

Kepergian Suster Magda membuatnya terpukul dan merasa bersalah. Ia menyesal, kenapa hari itu tidak mampu menahan nafsu duniawinya. Mengambil ikan dari piring tak berpenutup, rupanya awal mula sebuah kemalangan. Barangkali jika Lukas Kucingo tidak nekat melakukannya, ia kini telah dibawa serta oleh Suster Magda ke tempat tugasnya yang baru.

Di atas bangku panjang disaksikan seekor mujair goreng berukuran besar Lukas Kucingo mengeong lirih: seandainya Suster Magda ada kembali, ia berjanji akan sungguh-sungguh melakukan pertobatan.(*)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung. Kucing Penunggu Susteran.

Baca juga:
Puisi-Puisi Hasan Aspahani – Lorem Ipsum
Cerpen Afyantho Keyn – Kasmir dan Kina

Kucing Penunggu Susteran


Komentar Anda?