Dari speaker pasar kita dengar lagu “ambyar”/ Mesin melumat biji kopi/ Kita melumat kenangan … Puisi-puisi Mutia Sukma – Pasar Gede.
Oleh: Mutia Sukma |
Lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Menulis puisi, esai, serta prosa yang dipublikasikan pada sejumlah media, seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tempo, Kompas, dll. Buku puisinya yang pertama Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia menjadi 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 kategori Buku Pertama dan Kedua. Cinta dan Ingatan adalah buku puisi keduanya, buku tersebut masuk daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2020 kategori Buku Puisi. Buku jurnalismenya adalah Mengintip Islam Wetu Telu di Balik Reruntuhan Gempa (hasil residensi Sastrawan Berkarya 3T, Badan Bahasa, Kemdikbud RI, 2019) dan Kotagede yang Tak Lekang (2020).
Matahari turun
Pada gegas langkah seorang ibu yang mengangkut pisang
dalam bakul di punggungnya
Pada wajah cemberut pedagang tengkleng di muka pasar
Pada harum dupa klenteng seberang jalan
Gerimis menyapu debu
Angin bertiup
Harum babi panggang yang tak bisa kita nikmati
tercium
Dari speaker pasar kita dengar lagu “ambyar”
Mesin melumat biji kopi
Kita melumat kenangan
Menyimpan rahasia atas apa yang sedang terlintas dalam angan
Gelas kopi masih mengepulkan asap tipis
Diriku penuh pertanyaan
Menebak bait puisi yang akan kau ciptakan.
2020
.
Kakimu belum tinggi
Tanganmu melingkari kepala
Tak tersentuh daun telinga
Di atas tanah,
Di antara bau tahi ayam dan kerumunan
Bocah yang menghisap ingus meleleh
di ujung lubang hidungnya
Kamu dongakkan kepala
Gamelan ditabuh
Tak ada Mie Jawa atau brongkos dalam
kuali tanah liat
Perut berbunyi tak terisi
Kaki mendhak dan tangan ukel
Sampur kebyak di pinggang gadis belia
Dengan dadanya yang rata
Sambil menggendong boneka dan mengalunkan
Tembang Jawa
Dirapallah lirik “esuk gede mau jadi opo?”
Payung tertutup tersandar pada bahu
Aroma tubuh mekar
Di antara gelak tawa pengunjung dan riang pemain kendhang
Kendi gerabah tak terisi
Tenggorokan tak minta dialiri
Kakimu memanjat dengan hati-hati
Di antara lenggok pinggang dan nafas tak karuan
Dijerat jarik dan pengencang ikat pinggang
Gadis muda dengan dada rata
Dia tidak lagi bisa bertanya pada boneka
Sebab tak menunggu dewasa,
ia telah tak ada, telah tak ada
2020
.
Tanganmu sulur-sulur urat
Seperti akar beringin sepuh yang menjulur
dari dahan
Bawang dan ketumbar
Air kelapa dan bumbu-bumbuan yang memancar
dari jari-jari
Merasuk dalam serat daging
Di atas tungku
Dengan bara kayu yang kamu surukkan ke dalam diri
Aroma nasi menguarkan bau pandan
Daging dan limpa yang melepuh di dalam minyak kelapa
Jinak diiris tajam pisau
Telah lunas rasa lapar
Terhapus titik liur di ujung bibir
Aroma bumbu di telapak tanganmu
Mengikat masa kecilku di atas talenan kayu yang tak pernah
Berganti
2020
.
Demi bakmi
dan legit kecap
Daun kol bercampur dengan seledri
Mie kering memanjang sebagian terputus
dalam remahan tangan si tukang masak
Di dalam mulutku
rasanya cukup kemanisan
Kepalaku berkelana
dalam tikungan-tikungan sempit
menuju tempat rahasia
Barangkali rasa manis
Terlalu baik-baik saja bagi seorang pengelana
Telah kugigit cabai rawit
Di pinggir piring ceper yang menampung gelegak
masakan
Kepalaku lebih panas dalam dosa
Petuah-petuah yang kutinggalkan
Tak lama setelah selesai diucapkan
Bayangku terpanggang api neraka
Pada bara yang menyala dalam tungku
Oh, sepiring bakmi jawa
yang terlalu baik-baik saja
bagi seorang pengelana
2020
.
Jarikmu terangkat di atas mata kaki
Mata yang bisa melihat matahari turun
dan tanggal penting dalam almanak
melalui musim buah-buahan atau arah mata angin
yang kau sentuh jadi putik bunga
Tanah makam terhampar
pada panjang rambutmu kembang mayang;
maka menyebullah nama-nama yang tak mengenalmu
namun begitu dalam kepalamu menunjukkan titik tujuan
Tanganmu bergoyang seperti kompas dalam jam tangan
Menunjukkan arah-arah makam
Telah lama kau panggul nama-nama
Dalam gelung rambutmu yang tertancap tusuk konde
seperti nisan marmer atau palang kayu dengan tulisan cat sederhana
Harum kemenyan menguar tapi wangi tubuhmu
tak tercatat dalam kitab atau cerita pewayangan
2020
.
Sudah lama aku tahu
Bahwa rimpang-rimpang diturunkan dari surga
melalui gelembung ludah orang suci;
Kunyit asam bagai nyeri ulu hati yang bersedih
pada kehidupan yang sedepa dari harapan
Segar kencur seperti putik susu ranum dadaku
di usia 14 tahun yang akan membebaskan temulawak
dari tukak perih lambung hari-hari sepi
Kunci sirih mengunci inti diri
Pahit sambiloto brotowali yang tahu bahwa
Hidup begitu pahit dan perlu percobaan untuk menghadapinya
Urat-urat tangannya mengencang
Memeras sari-sarian
Membaca rapalan
Atau sesekali meramal sakit yang tergambar pada lapang dahi
Seperti hamparan lontar
Dengan simbol-simbol yang khusus diciptakan baginya
Pada tempurung kelapa
Aku hirup jamu lebih kuat dari sandaran ke badan pohon pisang
2020
.
Dalam diri seorang ibu
Terdapat sorot matahari siang yang terpantul
di atas Sendang Kemuning
Jalanan kering
Matahari memanas pada telapak kaki para abdi
Atau kelompok muda mudi yang
sibuk dalam gambar di kamera
Telah ia alirkan air tanpa batas
yang masuk dalam inti bumi
atau di permukaan Sumur Gemuling,
ikan bertuah
atau umpak bangku Ratu Kalinyamat
Telah ia bentangkan air
dalam rimbun jalar akar beringin
tempat burung hidup memakan biji-bijian
Atau daunan yang rebah di telapak tanganmu
Air bergerak ditiup air
Kelopak bunga mawar mengambang
masuk ke dalam
2020
.
Tidak ada yang lebih indah dari sore itu,
Matahari berkilat di atap gerobak pedagang batagor
Di etalase kaca bakso Sidosemi
Badan jalan menyempit
Juga pada hati kami yang lapang seperti masa depan
Pintu pasar telah dikunci,
Pedagang klitikan mengelar barang sepanjang trotoar;
Baju bekas, permak bola lampu, buku tips sukses cepat kaya
Atau penjaja kipo yang tak pernah sukses aku habiskan
Sepanjang jalan Kemasan,
Sepanjang bekas kenangan yang tak pernah bisa ditutupi
Setebal apa pun aku menyapukan bedak ke wajah hari depan
Di depan toko kesayangan,
Baju model terkini melambaikan tangan
Namun di hadapan dompet ibu
Kami menunduk minta pengertian
Kaki kecilku terkunci,
Dalam sepi pandangan sepasang pengamen buta yang menyanyi di depan speakernya
Di serak rekaman suara penjual tahu bulat yang menyiarkan dagangannya
Di dalam terasing diri mengabadikan apa yang perlu dicatat dan dihilangkan selamanya
2020
Ilustrasi: Foto Kaka Ited
Baca juga:
– Puisi-Puisi Pradewi Tri Chatami – Variasi Kesendirian
– Puisi-Puisi Rizki Amir – Sup Kacang Merah
– Puisi-Puisi Gody Usna’at – Semografi