Semografi dan tiga puisi lainnya.
Oleh: Gody Usna’at |
Bekerja sebagai Katekis di Paroki St. Bonifasius-Ubrub-Dekenat Keerom-Keuskupan Jayapura sejak tahun 2014. Selain itu ia mengasuh Rumah Baca Jendela Semografi, rumah baca yang dirintis oleh Buku Untuk Papua (BUP) & Tim Nusantara Sehat-1. Tahun 2014-2017 ia mengajar di SD YPPK Akar Indah-Semografi. Ia terpilih sebagai salah satu Penyair Muda Indonesia-Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) tahun 2017.
sebelum matahari terbenam
langkahku yang berlumpur terbit
mengulurkan jejak pada halaman kampung
kampung itu, hatiku
dipenuhi rindu aku menatap kampung
yang bagai ibu, duduk menanti sambil menganyam noken
kudengar gemericik sungainya, jernih menulis bahagia
meski sedih mengalir keruh di jantung sekolah dan kampung
“pob, kebano…” gerimis bisikannya tersangkut di daun telinga
ia memelukku
aku diguyur tangis miliknya
Semografi, bagai pohon, tumbuh di bawah alis mata gunung
ibarat burung aku bersarang dan berkicau di sana
(Semografi-2019)
pob, kebano = anak, selamat datang (bahasa Suku Emem)
buat Ayahanda
pagi cerah di sepasang mataku yang mendung
aku duduk mengenang ayah
yang tuanya tak pernah payah
di sebuah ranting pohon Matoa sekeluarga burung Kakak Tua bersenandung senang:
hidup mereka kemarin, hari ini dan esok bagai lagu tenang
pagi ini aku ingin jalan-jalan, pulang ke rumah ayah
kunyalakan hidup sebatang rokok
membangun asap berwajah rindu
rinduku padamu ayah, membumbung macam asap
sepanjang jalan, kuhirup-hembus langkah pulang yang hidupnya tinggal sebatang
(Ubrub-2018)
buat Anna
lagu yang kini kau dengar
mengalir dari kantong bunyi sunyi
di jalan saluran telinga
lagu sungaiku melintasi gendang telinga,
menyinggahi tulang-tulang telinga tengah
lalu masuk ke ruang koklea yang berkelok
sebagai rindu yang deras
akankah kau sambut dalam ruangmu yang terpencil?
semacam cinta yang mengalir
akankah kau ikhlaskan masuk memeluk hatimu yang kecil?
lagu sederhanaku tercipta dari nada sunyi gunung Yi
dinyanyikan kerongkongan batu-batu sungai Poi
akankah memberi getar bagi rindumu yang lambat?
adakah langkah cintamu menemu nada-nada rendah hidupku?
di jantungku aliran sunyi masih mengalir berirama
ikan-ikan berenang bahagia
anak-anak kampung Towe seperti burung-burung Mambruk
senantiasa datang
memandang liuk lekas tubuh laguku
yang menari dengan pakaian tembus pandang
(Towe/Ubrub-2017)
: Faenono
1/
Oktober masih setia menemani,
saat malam ia mengajakku mandi pada sebuah kubangan
yang pernah kubangun dengan gigih
kubangan seperti kampung
meski telah kulupakan cahaya wajahnya, ia masih berkedip seperti Kunang-Kunang
tak ada yang lebih indah dari kedipan mata kampungmu sendiri
di panas pulang yang sentosa
kubangan senantiasa menunggu dan menawarkanku mandi
genangan airnya seperti kenangan
tak pernah kering meski sudah lama kutinggalkan
tak ada yang lebih jernih dari air mata kampungmu sendiri
2/
aku melintasi jalan kecil yang terjal dan berliku di musim paceklik
seperti seekor Babi Hutan, berkeliaran mencari buah-buah Topi
meski mata jalan disesaki lunfa tapi aku memiliki kampung
yang selalu melepas angin masa kecil, menemani
sesekali ia berbisik:
“hati-hati, seorang pemburu memasang lunfa di dada jalan.”
masa kecil seperti Kelopak Mata
senantiasa berkedip, melindungi pulangku dari benda asing yang mengancam
(Semografi-2017/2018)
lunfa = jerat untuk binatang buruan atau bagi musuh (bahasa Suku Emem)
Ilustrasi: Photo by Johannes Plenio from Pexels