Ada lima puisi Rizki Amir yang bisa dinikmati di bacapetra.co hari ini.
Oleh: Rizki Amir |
Lahir di Sidoarjo, 1995. Terlibat dalam Komunitas Rabo Sore. Buku kumpulan puisinya berjudul Rahasia Pasar (2017). Terpilih sebagai penulis emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017. Selain menulis, sebagian waktunya juga digunakan untuk berdagang dan bercocok tanam.
rasa gurih menarik sendok garpu untuk perutnya
sendiri, setelah betapa kenyang ia coba melumuri
ayam dengan garam dan merica. berapa porsi lagi
yang kamu hidangkan? margarin pun leleh dalam
gelap. seraya mencampur kecap manis dan kecap
inggris, kamu berseloroh kepada botol angciu itu,
“mereka membutuhkanmu, meski ibu tidak lagi di
sini.” perasan jeruk nipis dan terima kasih.
kamu hapus bawang bombai agar aku gali hati tak
henti-henti. kamu sembunyikan arang bara dalam
ayam goreng mentega, sebelum aku simpan ujung
pisau ini. dan kini, seperti pangkal januari, kamu
mengekalkan hangus gorengan sendiri.
2018
setelah pantat panci menghitam dan iga sapi (sup)
terendam, akan selalu ada seledri, garam, bawang
bombai, pala, dan bay leaf yang kamu masukkan
ke dalamnya. dan aku tahu awalnya: lamur dalam
memar jahe serta setengah sendok bubuk merica.
saatnya mendinginkan kaldu di antara mitos yang
ganjil dan labil. saatnya menambah semua kacang
merah yang ramah. saatnya mengucurkan minyak
zaitun ke permukaan. dan kita adalah gurih yang
terangkat. meskipun sebenarnya tak ada hujan di
kampung militan. di akhir santapan makan kamu
jatuhkan dua lembar daging asap, aku memungut
jawab. lalu kita rasakan angin jadi lambat. setelah
itu kamu menoleh dan menangis. di mangkuk sup
kacang merah kukambangkan sebuah nama plaza.
2018
pekarangan rumahmu akan bergerak lebih lambat
ketika aku seret masa lalu yang telah aku simpan
di antara sebuah pelukan dan sepiring wungkusan
udang. kamu adalah bungkus berbentuk tum. dan
setelah kita hentikan pertanyaan-pertanyaan, rasa
lapar berdiri di batas pedas-gurih pada lidah. kota
ini terbuat dari kedua belah tanganmu, sementara
perut dapur adalah milikku, maka letakkan terasi
dan empat buah kemirimu di sini, di sebuah kuali,
di sehampar rumpun padi yang hanya menyisakan
ciuman dan setanak nasi. dan akan kutambahkan
air asam dan santan, sebelum udang bungkus kita
kukus, sebelum kita loloskan hati yang tulus. kulit
udang pergi dan pasar jadi merah. aku bayangkan
ibu menunggu kita di balik meja dan menanyakan
apakah kita cukup yakin untuk hidup dalam bajan
gelap malam. tapi asin yang terlepas dari suara ke
suara, dari pusara ke pusara, tak sesederhana yang
kita kira. tak sesederhana yang kita kira.
2018
di meja kayu, kepalamu adalah sebotol kecap no.
2 yang mulai habis. dikikis gerimis yang amis.
para pembeli tahu bahwa asin adalah bagian dari
namamu. tapi berita hanya berhenti sampai ujung
jalan konblok. tak ada penjelasan bagaimana asin
bisa menyedapkan masakan setiap insan. dan kita
hanya tertawa, tentu saja, untuk perkara-perkara
yang sentimentil. lalu, luberan air comberan akan
aku lipat di antara kesunyian tanah cokelat
berbatu dan tenda biru. begitu pula dengan rasa
kantukmu yang menjelma getar gerbong-gerbong
kereta tua.
2018
1.
kita tahu, kelak perempuan tua itu meninggalkan
rumahnya selama tujuh tahun, menyamar sebagai
seorang pedagang buah, bertualang sampai bulan.
ada, tentu saja, perasaan-perasaan yang bertahan
hidup melawan cinta dan hal lain serupa itu. dan
yang mengesankan adalah yang diberikan kepada
dirimu bukan hanya sebuah apel, melainkan rasa
heran yang tersimpan dalam renungan. kemudian
kesedihan tumbuh sebagai sebuah kutukan. tetapi
kita tidak pernah peduli. sebab di peraduan dan di
meja makan fakta-cerita lihai menyamarkan diri.
2.
kita bayangkan di dalam gelas, bidak-bidak catur
merapung dan sekepal sejarah jatuh di ujung. dan
dengan tangan, dengan iman, kita membangunkan
sebuah pertanyaan: apakah dendam ini siap untuk
dibawa pergi? asam dalam perjalanan pun pudar.
tapi tidak untuk sebentang perkara yang membagi
hutan jadi dua, tidak untuk pekarangan kita. akan
aku sajikan cerita-cerita yang mengantar tidurmu
ke sini, meski malam datang terlambat. pintu kiri
mulai memuai. aku hidup hanya untuk memenuhi
sebuah syarat. bukankah kita tidak pernah punya
apa-apa?
3.
dirimu dibebaskan dari tipologi. aku yakin hal ini,
karena selepas bekas gigitan pada apel merah itu
menguning, aku melihatmu dua kali, seperti mur.
betapa pun juga jantungmu adalah sebilah pedang
kayu yang tak terduga, yang tak bisa dirumuskan.
maka di sanalah, dalam rasa putus asa, tujuh anak
kecil dalam kepala kita mengitari semua kecupan
yang kerap bernostalgia.
2018
Foto dari Pexels