Menu
Menu

Topiku yang kuyakini ada di sana, ternyata tidak ada. Aku menjadi gelisah. Kuedarkan pandanganku ke sana ke mari.


Oleh: Wahyu Widyaningrum |

Bekerja sebagai ASN, saat ini tengah melanjutkan pendidikan di sebuah Universitas di Tokyo.


“Topi ini adalah pemberian ayahku. Ia membelinya di Tokyo. Harganya 2 yen 80 sen. Modelnya bagus, bahan kainnya juga berkualitas baik. Ayah berpesan agar aku merawatnya. Aku menjaganya dengan baik karena aku menyukainya. Aku membawa topi itu tidur bersamaku di malam hari.”

Itu adalah tulisanku untuk tugas mengarang. Pak Guru membacakan karyaku di depan semua murid. “Aku membawa topi itu tidur bersamaku. Aku membawa topi itu tidur bersamaku.” Bagian tersebut dibacakan dua kali, lalu Pak Guru tertawa terbahak. Melihat Pak Guru terpingkal sambil membuka mulutnya lebar-lebar, murid-murid lain juga ikut terbahak-bahak. Aku pun, anehnya, ikut-ikutan tertawa. Hal itu membuat mereka semakin heboh tergelak.

Topi yang kujaga dengan baik itu sekarang hilang. Dan itu membuatku panik. Aku ingat betul, aku mengucapkan, “baik-baik, ya,” kepada topi itu seperti biasanya, meletakkan kertas pembungkusnya di bawah bantal, lalu tidur sembari menjepit bagian sintong yang mengilap. Tapi aku tidak melihat keberadaan topi itu lagi.

Saat aku terbangun, kertas pembungkusnya masih ada di bawah bantal, tapi topiku tak ada. Aku terkejut, setengah bangkit dari tempat tidur, dan mengedarkan pandangan ke semua tempat. Ayah dan ibu tetap tidur lelap di sampingku, seakan tidak tahu-menahu apa pun. Aku ingin membangunkan ibu, tapi kubayangkan ibu akan menemukannya sambil berkata, “Kau mengigau, ya? Ini, ada di sini.” Itu jelas akan membuatku malu. Jadi aku mengurungkan niatku membangunkan ibu.

Aku menggulung lengan kaimaki, semacam selimut berlengan, mencari-cari di sekitar bantal, tapi tetap tidak ketemu. Awalnya kupikir aku akan segera menemukannya kalau aku mencarinya dengan benar, jadi aku tenang-tenang saja. Namun, setelah berulang kali mencari dan hasilnya nihil, aku mulai khawatir. Tenggorokanku terasa kering. Aku mengecek ujung jahitan tempat tidur. Aku juga menempatkan kedua tanganku di depan wajahku, sebab kupikir jangan-jangan sejak tadi aku mencari topiku padahal benda itu sedang kugenggam. Aku menatap lekat-lekat telapak tangan, punggung tangan, dan sela-sela jari. Tidak ada. Jantungku berdebar kencang.

Barang yang paling kusayangi adalah buku teks pelajaran yang baru kemarin dibelikan, dan topi ini ada di urutan kedua setelah buku tadi, jadi aku mulai merasa sedih. Air mata menggenang di pelupuk mataku. “Tidak boleh menangis!” Aku memarahi air mataku. Perlahan, aku bangkit dari tempat tidur, lalu menuju ke rak buku. Dengan jeli kujelajahi dari atas hingga ke bawah, tapi tidak kutemukan sesuatu pun yang mirip topi. Aku benar-benar panik.

“Aku tidur bersama topi itu pada malam sebelumnya. Semalam mungkin aku lupa membawanya,” aku tiba-tiba teringat pada hal tersebut. Kalau demikian, bisa jadi aku membawa topi itu tidur, bisa jadi juga aku lupa membawanya tidur bersamaku.

“Pasti lupa. Kalau begitu, mungkin kutaruh di dekat pintu masuk dapur. Ya, pasti.” Aku gembira bukan main. Kubayangkan si topi yang sintongnya berkilau itu tergantung di gantungan topi dengan ekspresi tanpa dosa. Hatiku lega dan merasa bersemangat kembali. Aku membuka pintu kamar dengan berapi-api. Kalau ayah dan ibu terbangun gara-gara bunyi pintu, bisa gawat ini, pikirku. Lalu aku membalikkan badan. Ibu biasanya segera terjaga ketika mendengar bebunyian, tetapi saat itu ibu tetap terlelap. Aku menutup pintu dengan pelan, kemudian melangkah ke pintu masuk dapur—dapur tersambung langsung dengan area setelah pintu masuk dan keduanya dibatasi oleh pintu. Seharusnya lampu di situ selalu dipadamkan, tetapi pada malam itu lampunya menyala terang seperti siang hari. Semuanya terlihat dengan jelas. Aku yakin topiku tergantung di samping topi ayah di tempat gantungan. Namun, saking cemasnya, aku tidak berani melihat ke arah gantungan topi sampai aku benar-benar mendekat ke sana. Setelah sampai di depan gantungan topi, seketika kudongakkan kepalaku seperti sedang bermain cilukba. Hanya ada topi ayah yang berwarna cokelat di sana. Topiku yang kuyakini ada di sana, ternyata tidak ada. Aku menjadi gelisah. Kuedarkan pandanganku ke sana ke mari.

Pada saat itulah aku menemukan sesuatu berwarna hitam terapit di antara kisi-kisi pintu masuk dapur. Dengan bantuan cahaya lampu, kuamati benda itu dengan seksama. Aku terkejut mendapati bahwa itu sepertinya memang topiku. Aku jadi bersemangat. Secepat kilat kusambar sandal zori yang terbuat dari jerami. Begitu aku hendak membuka pintu masuk dapur untuk mengambil topi yang berkerumuk itu, pintunya terbuka sendiri secara ganjil tanpa suara, lalu si topi menggelinding ke arah jalan. Pintu penahan tempias hujan yang ada di luar pintu masuk dapur seharusnya tertutup, tetapi malam ini pintu itu juga terbuka. Namun, aku tidak terlalu ambil pusing atas hal itu. Aku bergegas melesat dari celah pintu masuk dapur selagi topi itu masih tampak. Begitu kulihat wujudnya, topi itu berputar-putar menjauh seperti cakram yang sedang dilempar. Dua-tiga depa. Ini mengherankan, sebab angin pun tidak sedang bertiup. Tentu saja aku mengejar topi itu sekuat tenaga. Aku merasa sedikit lega. Saat hendak kupungut, si topi dengan lincahnya luput dari tanganku, lalu berguling-guling menjauh. Dua-tiga depa lagi. Aku tergopoh-gopoh berdiri, lantas kembali mengejar. Begitulah. Ketika aku hampir berhasil menangkapnya, topi itu akan berguling dua depa, lalu tiga depa, dan terus menjauh dariku.

Topi itu akhirnya sampai di toko alat tulis yang dimiliki seorang nenek, letaknya di perempatan dekat sekolah. Aku berdiri terpaku di sana. Topi itu terus berputar menyamping seperti gasing. Kukira mungkin hanya tiga atau empat putaran saja, tapi tampaknya si topi sedang bersemangat. Topi itu sedikit melompat, lalu begitu seakan hendak jatuh ke tanah, ia justru menggelinding ke arah sekolah. Aku terperanjat, dan bergegas berlari. Si topi lewat di depan rumah seorang dokter gigi yang sesekali kulihat; melayang di atas wadah penampung air hujan di depan kedai minum yang di dalamnya ada bocah yang sejak tadi mengolok-olok kami; lalu dari sana si topi kembali menggelinding—kupikir ia akan jatuh di balik ember, kemudian menyelip ke celah kisi-kisi jendela rumah panjang seolah-olah tertiup angin, lalu melesat kembali ke jalan besar yang sedang kosong. Tidak ada orang berlalu-lalang.

Aku terus mengejar, belok ke kanan, lalu belok ke kiri, mengikuti si topi yang melaju kencang. Malam membawa gelap yang mencekam, tapi topi itu tetap terlihat jelas, bahkan hingga ke lencananya. Namun, tetap saja topi itu tidak bisa tertangkap. Mula-mula aku menganggapnya sebagai keseruan saja, sebelum lantas mulai timbul rasa jengkel dan emosi. Puncaknya adalah aku menjadi dongkol, lalu mataku mulai berkaca-kaca, tapi aku tetap menahan diri.

“Hei, tunggu!” tanpa sadar aku bersuara. Padahal aku tahu bahwa topi mestinya tidak paham bahasa manusia, tapi aku tidak betah diam saja. Tak lama kemudian—saat itu si topi sudah sampai di gerbang depan sekolah, topi itu mendadak berhenti, lalu berbalik ke arahku.

“Hei, kalau kau bisa, kejarlah aku,” ucapnya. Aku yakin topi itu berkata begitu. Kalimatnya membuatku mengumpat, timbul rasa tidak mau kalah. Begitu topi itu hendak kabur lagi, aku dan si topi bersama-sama menembus gerbang sekolah yang terbuat dari besi tanpa kesulitan.

Tanpa sadar aku sudah berada di dalam ruang kelas Kelompok Prem. Aku adalah murid Kelompok Pinus, dan aku sendiri tidak tahu mengapa masuk ke ruang kelas Kelompok Prem. Ada Guru Iimoto sedang menunjukkan sekeping koin tembaga satu sen.

“Berapa keping yang perlu ditelan agar sakit perut bisa sembuh?” aku bertanya.

“Satu keping sudah bisa,” pertanyaanku langsung dijawab oleh Kurihara, si bocah bengal.

Guru Iimoto menoleh.

“Dua keping,” kali ini Ito, si kalem, yang menjawab sambil mengangkat tangannya.

“Betul. Memang dua keping.”

Aku terpukau, mengakui bahwa Ito memang pandai.

Lho, di mana si topi? Aku baru menyadari bahwa perhatianku sejak tadi teralihkan pada kepingan uang di tangan Guru Iimoto. Dengan segera aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi aku seperti kehilangan jejak. Topi itu tidak ada di sekitarku.

Aku berlari tergopoh-gopoh ke luar ruang kelas. Sesampai di lapangan, sejauh mata memandang aku hanya melihat tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput pendek. Di bawah langit pekat berawan, topiku tampak seperti bulan hitam yang tergantung tinggi sekali. Tanganku, dan apa pun, tidak mampu menjangkaunya. Bahkan kalau aku naik pesawat untuk mengejarnya, aku sepertinya tidak bisa sampai ke sana. Suaraku tercekat. Aku hanya bisa menatap pahit ke atas sambil mengentakkan kaki, merasa jengkel. Namun, sekeras apa pun aku mengentak dan mendongak, si topi tetap biasa saja, wajahnya menghadap ke arah sebaliknya. Raut wajahnya culas, seakan berkata, “Silakan katakan apa pun, aku tak akan membalas.” Ayah nampaknya tak akan percaya kalau kubilang padanya bahwa topiku kabur, naik ke langit, dan menjelma menjadi bulan yang gelap. Mulai besok aku harus pergi ke sekolah tanpa mengenakan topi. Adakah hal yang lebih konyol dari ini? Aku menjaga topi itu dengan baik, tapi kenapa ia justru menggangguku seperti ini? Aku jadi semakin dongkol. Air mataku mulai berjatuhan.

Lambat laun, lapangan menjadi gelap. Ke mana pun aku melihat, tak ada siapa pun. Bahkan seberkas cahaya dari rumah penduduk pun tak tampak. Entah bagaimana aku bisa pulang ke rumah. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu sejak tadi. Jangan-jangan ini hanya ulah tanuki, anjing rakun, yang menjelma menjadi topiku dan mengerjaiku. Tanuki yang bisa menjelma adalah sebuah kebohongan besar bagiku, tapi waktu itu tampaknya hanya hal itu yang mungkin. Toko yang menjual topi itu sesungguhnya adalah sarang tanuki. Ayah berhasil dikelabui olehnya. Demi menggiringku ke dalam gunung, tanuki itu mula-mula mengelabui ayahku. Aku jadi ingat, awalnya aku tidak begitu tertarik pada topi itu. Perlahan aku mulai merasa tidak nyaman. Aku mendongak, melihat ke arah topi itu. Lantas topi yang berwujud seperti bulan hitam pekat itu terlihat seperti tanuki yang mungil dan bulat. Aku tersadar, memang itulah topiku.

Pada saat itulah mulai terdengar suara-suara yang memanggil namaku dari suatu tempat yang jauh. Juga suara seperti tangisan. Jangan-jangan induk tanuki itu sebentar lagi datang, pikirku. Kutegakkan punggungku, meskipun agak takut juga sebetulnya,

Tiba-tiba di depan mataku terlihat ayah dan ibu yang masih mengenakan baju tidur. Sembari menangis, mereka mencari dan memanggil-manggil namaku dengan nada panik. Aku merasa sedih bercampur bahagia melihatnya. Ingin rasanya menghambur ke arah mereka, tapi aku segera tersadar, jangan-jangan ayah dan ibu yang ini juga jelmaan tanuki. Perasaanku jadi tidak enak, dan aku mengurungkan niatku untuk mengejutkan mereka. Lalu aku menatap mereka berdua dengan saksama.

Ayah dan ibu tampaknya sama sekali tidak menyadari keberadaanku di dekat mereka. Ibu terus memanggil-manggil namaku, sekuat tenaga ia mengecek tiap laci di lemari. Ayah mengambil buku-buku di rak buku dari bagian ujung dan mengamatinya sambal mengelap kaca matanya yang berembun sebab tangisannya. Tidak salah lagi, itu adalah rak buku dan laci yang memang ada di rumahku. Aku tidak habis pikir kenapa mereka mencariku di tempat seperti itu. Untuk sementara kuanggap saja itu adalah suatu berkah, jadi aku memperhatikan mereka dalam diam.

“Bagaimanapun, tidak seharusnya ia ada di dalam buku-buku ini.” Ayah akhirnya berujar kepada ibu.

“Kau keliru. Pasti ia bersembunyi di laci-laci lemari ini, tertidur di dalamnya sejak entah kapan. Kita hanya belum menemukannya saja, sebab cahaya bulan tidak terlalu terang,” ibu membalas perkataan ayah sembari menangis, suaranya penuh emosi.

Ternyata mereka betul-betul ayah dan ibuku. Tidak salah lagi. Mustahil ada ayah dan ibu lain yang sangat memikirkanku sampai seperti itu. Tiba-tiba aku seperti mendapat keberanian. Aku tersenyum-senyum sendiri. Aku berteriak dan berlari ke arah ayah dan ibu, bermaksud mengagetkan mereka. Namun, sepertinya ada yang aneh. Tubuhku bagaikan udara kosong, menembus ayah dan ibu. Persis seperti saat aku tanpa kesulitan apa pun menembus gerbang sekolah yang terbuat dari besi. Aku berbalik badan, terkejut sendiri. Ayah dan ibu tetap berdiri di depan rak buku dan wadah kuas tulis, seakan-akan tidak mengetahui apa pun. Aku mendekat ke arah mereka. Kuulurkan tanganku. Kusaksikan sendiri bagaimana aku tidak bisa menyentuh ayah dan ibu, rak buku, bahkan wadah kuas tulis. Ayah dan ibu masih mencari-cari, memanggil namaku sekuat tenaga sembari tersedu-sedu. Entah mereka tahu apa yang kualami atau tidak. Aku mencoba bersuara. Perlahan-lahan suaraku semakin kencang.

“Ayah, ibu, aku ada di sini. Ayah! Ibu!”

Percuma. Ayah dan ibu tidak menyadari keberadaanku di situ sedikit pun. Mereka tampak fokus mencariku. Aku terus berteriak dengan mengenaskan, memanggil-manggil mereka. Aku ingin menangis saja rasanya.

Sekonyong-konyong aku tersadar akan suatu hal. Ayah dan ibu tidak bisa melihatku karena ulah topi tanuki di langit itu. Ya! Pasti ulah tanuki yang menjelma menjadi topi, pikirku. Rencanaku adalah aku akan menangkap si topi yang sedang melayang di udara itu, memojokkannya, lalu membuatnya mengakui perbuatannya. Aku memasang kuda-kuda, bersiap melompat tinggi.

“Bersedia… Siap… Ya!”

Aku melompat sekuat tenaga. Tubuhku naik dan naik, terus ke atas. Naik terus dengan ajaib. Lantas sampailah aku di tempat si topi. Aku mencengkeram si topi dengan kuat.

“Aduh, sakit!” teriaknya.

Aku tetap mencengkeram topi itu. Barangkali sebab itulah si topi akhirnya terlepas dari paku di langit, lalu kami mulai merosot turun. Turun dan terus turun. Kakiku rasanya sudah menginjak rumput, tapi nyatanya kami terus turun tanpa batas. Perlahan-lahan kondisi sekeliling mulai terang, terdengar suara petir, lalu terbentang lautan api menyilaukan yang membuatku hampir-hampir tak bisa membuka mata, dan kami seperti hampir tercebur ke dalamnya. Kalau hampir terjatuh ke sana, mustahil kami tidak terbakar lalu mati. Si topi memekik kencang, “Tolong aku!” Aku hanya menggumam karena merasa terlalu gentar.

Tubuhku diguncang oleh seseorang. Aku terperanjat. Begitu kubuka mataku, ternyata itu hanya mimpi.

Ibu membuka setengah bagian pintu penahan tempias hujan, lalu mendekat ke sisiku.

“Kamu banyak bertingkah, sepertinya bermimpi buruk sekali. Nah, tukang tidur, sekarang waktunya berangkat ke sekolah,” ucap ibu, Aku tidak peduli hal-hal itu. Dengan segera aku mengecek ke bawah bantal. Ternyata aku sedang menggenggam topi seharga 2 yen 80 sen dengan sintong mengilap yang sangat kusayangi.

Aku sungguh bahagia. Aku mengulum senyum, menatap wajah ibu, kemudian tertawa.(*)

kisah tentang topiku


Tentang Takeo Arishima

Novelis dan esais berkebangsaan Jepang. Lahir di Tokyo pada 4 Maret 1878, Takeo sempat melanjutkan pendidikan di Haverford College dan Harvard University. Sekembalinya ke Jepang pada 1907 setelah merantau ke Amerika Serikat dan Eropa, ia mengajar bahasa Inggris di sekolah pertanian di Sapporo, Hokkaido. Takeo memulai kariernya sebagai penulis setelah menerbitkan karyanya, Kankan Mushi, pada 1910. Beberapa tulisannya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, di antaranya Descendants of Cain dan A Certain Woman. Ia wafat pada 9 Juni 1923 di Karuizawa, Perfektur Nagano. Cerpen “Kisah tentang Topiku” berjudul asli Boku no Boshi no Ohanashi, dimuat dalam buku Hitofusa no Budo (Setangkai Anggur) yang diterbitkan oleh Penerbit Sobunkaku pada bulan Juni 1922.

kisah tentang topiku


Ilustrasi: Photo by Artem Beliaikin from Pexels

Baca juga:
Terpidana Nomor 19394
Jam Dapur – Cerpen Wolfgang Borchert

Komentar Anda?