Menu
Menu

Ketika perempuan membayangkan rumah sebagai suatu tempat yang penuh gejolak dan perubahan, ia akan lebih waspada, mempersiapkan diri lebih baik dan membuat pilihan-pilihan yang sesuai dengan pikiran dan nuraninya.


Oleh: Cyntha Hariadi |

Penulis puisi dan prosa, kelahiran Tangerang, Banten. Buku pertamanya Ibu Mendulang Anak Berlari menjadi salah satu pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 dan finalis Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK). Buku keduanya, kumpulan cerpen Manifesto Flora adalah kumpulan cerpen yang juga menjadi finalis KSK 2018. Bukunya yang ketiga, Kokokan Mencari Arumbawangi, sebuah novel dongeng menjadi salah satu Buku Rekomendasi Majalah Tempo 2021.


Pengantar: Esai ini dibacakan Cyntha Hariadi saat Bincang Tematik IV “Rumah dan Trauma” yang digelar di Flores Writers Festival pada tanggal 3 September 2021, di Perpustakaan Klub Buku Petra, Ruteng – Flores. Disiarkan di bacapetra.co atas izin penulis.

***

Rumah, Tak Selalu Bikin Betah

“Dunia-dunia Gelap”
—Gratiagusti Chananya Rompas

dunia-dunia gelap
sembunyi di
balik-balik sini
tak akan sengaja
menelanjangi diri

semua tertutup rapi
memeluk erat yang dikandung—
detak dan detik
menggema tanpa kedengaran

rasanya seperti mimpi
dengan hantu-hantu
mengetuk-ngetuk tanpa henti
padahal mereka tak pernah ada di balik pintu
aku takut, tapi bukan ngeri

dunia-dunia gelap yang malang
aku cuma bisa merasakan
keresahanmu

setiap malam di rumahku ada bunyi panci berkelontang
tapi aku tak pernah mau tahu kenapa

dunia-dunia gelap yang malang
kau membuatku tersayat-sayat

tapi tikus-tikus bisa membuatku mati berdiri
kau tahu, mereka sangat buruk rupa

Seperti cinta, rumah adalah sebuah ide yang sangat romantis. Beratap, berjendela, berpintu, dan tambah ideal bila dihiasi taman mungil yang hijau untuk burung berdendang dan yang warna-warna untuk dipetik menghiasi meja makan dan ranjang. Apalagi untuk perempuan yang dari kecil selalu diperingatkan akan dunia yang keras dan berbahaya untuknya, terutama bila sendirian, maka rumah diangankan sebagai tempat yang paling aman dan nyaman. Rumah adalah akhir dari perjalanan, tempat kita menetap. Ia ajek; ia berakar. Sekali kita berumah, tidak bisa seenak-enaknya kita pindah-pindahkan. Namun untuk perempuan, tidak mudah juga untuk memiliki rumah karena kami diajarkan prasyarat untuk memilik rumah adalah melalui pernikahan. Tugas lelaki memberikanmu rumah. Pembagian ini adalah tradisi yang memberatkan keduanya tapi tetap bertahan karena menciptakan begitu banyak keluarga-keluarga bahagia, yang nampak dari luar atau yang mereka akui sendiri.

Perempuan diiming-imingi sebagai ratu rumah, realitanya Inem pelayan seksi; rumah adalah hadiah bila kami berlaku baik, realitanya justru kami bisa dihadiahi mansion bila tidak berlaku baik; rumah dibungkus pakai pita, realitanya bisa penjara untuk korban kekerasan domestik dan seksual. Akankah lebih realistis dan malah membebaskan bila kita membayangkan rumah dan kehidupan di dalamnya sebagai berlayar dengan perahu? Kehidupan tidak pernah hanya diam di atas tanah, bukan?

Perahu juga sebuah imaji yang romantis, namun ada sedikit yang mencemaskan di sana. Mungkin karena alasan ini, orang jarang membayangkan rumah sebagai ruang terbuka yang terombang-ambing. Terlalu menakutkan mengingat risikonya. Kita ingat ucapan “selamat mengarungi bahtera rumah tangga” yang membuat kita meringis dan lebih senang mendengar “selamat berbahagia”? Yang pertama sering diucapkan secara guyon karena kita sedang berusaha meringankan beban suatu pilihan yang sangat serius; yang kedua, lebih netral, melarang kita berpikir yang buruk-buruk, bahagia aja dulu. Namun yang pertama lebih mendekati kebenaran sebab kita sedang menyemangati pasangan pengantin yang akan berlayar dan seringnya cuaca tidak seperti yang diramalkan.

Sekarang mari kita bayangkan…

Perempuan duduk di atas buritan, lelaki di haluan sebagai mahkota. Suami pegang kemudi, istri mengawasi dan mengurusi. Suami memandang ke depan, istri mengeliling. Mereka sudah membicarakan ke mana perahu akan menuju: ke tempat tanpa arus di mana mereka bisa menikmati matahari terbenam setiap sore sambil bergandengan tangan. Titik tujuan ini sebagaimana suatu horison seringkali nampak dekat tapi sulit dicapai. Ketika suami keliru membaca peta atau kompas, istri akan maklum, toh mereka sama-sama tengah belajar. Mereka akan berputar-putar di arus liar dengan sabar. Malam yang berbintang atau gelap, mereka syukuri selama masih mendayung ke arah yang sama. Ketika suami harus meninggalkan perahu untuk mencari ikan lebih besar, istri tinggal. Namun ia memilih untuk tidak diam saja di buritan. Kalau tidak bergerak, ia akan terbawa angin atau arus.

Pelan-pelan ia belajar mendayung sendiri dengan kekuatan seadanya, lama-lama semakin kuat. Beberapa kali ia terjatuh dari perahu tapi berhasil naik kembali. Di sini instingnya untuk bertahan hidup terasah, walaupun ia berenang seperti katak. Sungguh, percuma bermimpi menjadi putri duyung ketika kita adalah perempuan biasa. Akhirnya ia bisa menyelamatkan diri sendiri, berlayar sendiri, mencari makan sendiri, memperbaiki layar yang robek atau menempel lunas yang bocor, dari sering mengawasi suaminya. Ia pun menjadi pandai membaca pergerakan awan dan arah angin. Namun alangkah takutnya ia ketika melihat ikan yang lebih besar dari perahunya! Apa yang harus ia lakukan? Ia melatih diri untuk tidak melarikan diri dengan mendayung lebih cepat yang cuma akan mengejutkan si ikan dan membuatnya marah. Maka ia menenangkan diri dan berpikir bagaimana cara mengalihkan perhatian si ikan agar menjauh dari perahu (ada ikan yang ketakutan ketika perempuan menyelimutinya kepala sampai ujung kakinya dengan kain putih!). Akalnya menjadi semakin panjang.

Ketika suaminya pulang, alangkah senang ia pulang ke rumah yang utuh dan istrinya tersenyum melambaikan tangan. Tak terpikir olehnya si istri telah memperoleh pengalaman dan pengetahuan untuk mampu membawa perahu jauh agar tidak diketemukan olehnya, bila si istri menghendaki. Rumah tangga mereka pun kembali aman.

Kemudian seorang anak lahir. Perahu tidak lagi selapang dan seringan dulu. Tapi menjadi bapak dan ibu adalah kebahagiaan utama, hati mereka meloncat-loncat seperti lumba-lumba. Segera istri menyadari bahwa setelah menjadi ibu, ia tak lagi bebas mendayung, tangannya terikat pada tubuh anaknya. Si suami yang telah menjadi bapak pun harus mencari uang lebih banyak, kini sering melakukan perjalanan. Tak ada lagi petualangan bagi ibu. Berdua dengan anak, ia mengarungi samudra yang kembali menjadi asing karena ia sulit berkonsentrasi pada perahu dan alam sekitarnya. Ia biarkan perahunya terombang-ambing dan compang-camping. Cuaca mempermainkan hidupnya seperti rumahnya terbuat dari kertas, alam memaksanya bertahan hidup dalam sembilan musim. Siang dan malam tak lagi beda. Cahaya bulan menyilaukan, sinar matahari mengeraskan. Dalam perahu sendirian bersama anaknya, ia menjadi perempuan sekaligus lelaki. Ia menjadi pemimpin dan yang dipimpin. Perahu, ibu, dan anak termakan musim, tetapi mereka masih mengapung dan di sekeliling mereka ikan-ikan beterbangan. Ibu dan anak telah bersahabat dengan aneka perilaku alam dan mereka percaya akan bisa bertahan meskipun bapak belum pulang-pulang.

“Pelajaran”
—Rukiah

Dulu bersama-sama kita berlayar
kapal ke laut dilepaskan
di sana satu hari pertemuan kita dirancangkan
di tepi langit yang ramai berpesta warna,
untuk hidup kembali sambil menghitung-hitung
berapa bintang yang sudah jatuh?!

Selagi kau masih hijau, kaututup mataku
dengan pura-pura membuta
engkau pergi berpisah menyimpang
dari rancangan satu hari pertemuan sejak semula.

Kini aku masih suram
samar-samar melihat bulan
aku tidak tahu, kapal siapa tampak menggelap
dan laut mana yang seperti kaca mengkilap?

Dulu memang aku cinta kepada mimpi
yang dusta cuma mengembang dikenang!
hanya sekarang, sekarang aku duduk sendiri dalam kapalku
sedang engkau jauh membayang
buta semua — tuli bila kupanggil
dan memang semula aku bermohon: jangan lari!

Tapi sekarang, sekarang aku duduk sendiri dalam kapalku!
Bila pagi merah dan bintang-bintang pucat berlarian
ini tanda tepi langit hampir tiba.
Aku lebih suka, bila engkau hilang meninggalkan
dan tidak bertemu lagi —
Biar satu hari pertemuan yang dulu kita rancangkan
disimpan lagi dalam tambatan tali mimpimu!

Ketika bapak pulang menyaksikan rumah kotor dan ibu sibuk memperhatikan anak saja, seringkali bapak yang juga kelelahan tidak bisa menahan amarah. Perjalanannya tak membawa hasil seperti yang ia harapkan. Teriakan dan hajaran bapak seringkali lebih keras dari petir dan badai. Ini sangat mencemaskan ibu. Bagaimana perahu bisa seimbang bila penghuni di dalamnya berguncang-guncang? Tangisan anak pun menambah goyangan. Ibu berusaha tenang sambil terus berpikir bagaimana meredakan bapak, atau kadang terlintas, menyingkirkan bapak. Banyak cara yang bisa ia bayangkan, dengan dayung, jala, atau kail (karena bapak bukan ikan, ia tidak takut hantu-hantuan) sebanyak keraguan dan iba yang ia rasakan ketika memandang wajah bapak dan anak mereka. Di sini perjalanan perempuan yang paling perkasa sekalipun biasanya tersendat, bagai bumi menahan langkahnya untuk mengambil jeda dan berpikir tentang pilihan-pilihan hidup. Diri sendiri atau keluarga, diri sendiri atau keluarga, diri sendiri atau keluarga. Dilema perempuan sepanjang masa.

Cinta perempuan pada keluarga adalah cinta yang paling dasar. Ia berasal dari rahim; tidak bisa ia pungkiri, abaikan, hapus, karena berdenyut berada dalam tubuhnya. Juga, cinta paling murni dan agung yang paling mudah dimanfaatkan oleh orang-orang dan institusi-institusi berkepentingan. Kalau saja cinta perempuan cuma sebatas ide romantis, pasti sudah banyak perempuan-perempuan yang meninggalkan rumah. Ketika perempuan meninggalkan perahunya, ia tahu risiko yang akan ditanggung. Selain pengucilan dari masyarakat dan negara, yang paling berat adalah kerinduan pada anaknya. Tali pusar yang dikubur ke tanah atau dibuang ke laut tak pernah putus. Tak terlihat, alam akan mengembalikannya ke perempuan. Tali itu terus mengikat dan mengingatkan. Cinta menguatkan juga melemahkan kehendak; membebaskan dan membatasi otonomi perempuan. Kekerasan domestik/seksual yang dideritanya pun ia tanggung demi cintanya pada orang lain. Lebih cinta pada orang lain daripada dirinya sendiri, itu yang paling menyiksa perempuan. Pengaduan, pengakuan atau penyelesaian kasus-kasus kekerasan tersebut hanya akan meruntuhkan ilusi rumah sebagai tempat paling aman buat perempuan.

Menunggu keadilan untuk penyintas kekerasan domestik/seksual dan perubahan sistemik lainnya yang netral gender sama seperti mengharapkan negara-negara kaya mendistribusikan vaksin Covid secara merata ke negara-negara miskin. Kita harus meminta-minta. Itu melelahkan, memalukan dan kita tahu tidak memecahkan masalah pada intinya. Salah satu jalan yang menurutku paling mudah adalah bergerak kecil-kecilan dalam sistem dengan memaknai ulang bayangan tentang rumah. Aku punya anak remaja perempuan. Nanti pun aku mati, aku yakin sistem yang berlaku belum memihak anakku. Namun aku bisa mengajarinya membayangkan hal-hal baru, dimulai dari kata-kata yang tidak bisa dilepaskan dari maknanya, tergantung pada siapa yang mengatakan sekaligus memaknainya. Dan yang penting kita ingat: untuk kepentingan siapa, siapa yang diuntungkan? Menjadi perempuan sebaiknya belajar tidak memisahkan terang dan gelap, baik dan buruk, itu tugas lelaki itu tugas perempuan. Dalam dirinya akan selalu terjadi kontradiksi dan perlawanan. Untuk menguasai berlayar dengan perahu, kita harus bisa membayangkan menjadi perahu itu sendiri.

Ketika perempuan membayangkan rumah sebagai suatu tempat yang penuh gejolak dan perubahan, ia akan lebih waspada, mempersiapkan diri lebih baik dan membuat pilihan-pilihan yang sesuai dengan pikiran dan nuraninya. Lelaki dan gender lainnya juga harus menyesuaikan ekspektasi masing-masing. Hanya kalau setiap orang memiliki pemikiran feminis maka setiap orang akan diuntungkan. Ketika kita membayangkan rumah sebagai sebuah tempat yang tetap, aman, kokoh, isinya cuma boleh ayah-ibu-wati-budi, kita akan sering kecewa karena memasukinya dengan nilai-nilai gender yang sudah timpang dan ‘permanen’ dari asalnya. Kita akan memendam pengharapan-pengharapan yang kemanisan dan menjadi diri bulan-bulanan fantasi sendiri. Mari mencari lebih dalam pikiran dan perbuatan. Dalam membayangkan rumah sebagai perahu, mau tidak mau kita membayangkan diri menjadi pejuang, petualang, tak hanya penumpang. Hidup kita tidak hanya dibatasi pagar indah berbunga tapi juga samudra yang permukaannya tenang namun kedalamannya misteri.

“Cerita Laut”
—Rukiah

Sekali ini aku ingin cerita laut!
dengar, dengar suara itu gedebur ombak galak
dalam suaranya melagu muda
sudah mulai menggerakkan hati
mengalun
akhirnya aku turut berlagu meninggi!

Ketinggian lagu ini
benci akan mati yang gelap
cinta jadi membulat! Menari mengelilingi aku
berdiri di tepi
Ada kulihat di sini
berkas perahu kandas tenggelam ke dasar.

Aku juga pernah waktu dulu ke sini
kapalku seperti yang satu itu tenggelam
menggelap. Aku terbentur batu karang,
itu karena percampuran kelemahan
dari kemauan buat berjuang

Kapalku seperti yang satu itu tenggelam
dalam tidur di dasar, aku tiada diberi mimpi
bila siang matahari tak gemerlapan
sunyi dari terang cahaya kesadaran
yang menghidupkan.

Tapi — tapi datang lagi kapal lain waktu itu
pecah ke atas teriakku:
inikah cahaya pertama
dari gantungan bintang yang jauh meninggi?!

Sepanjang laut —
datang lagi kapal membangunkan
keruntuhan nyawaku
Aku lepas dari mimpi yang tak terbentuk
hariku diberi corak cahaya
aku cari kawan-kawan dan berpesta!

Aku sekarang bangun sekali lagi
bersiap. Akan kubawa kemenangan ini
sampai umurku memanjang tua.
Biar bekas perahu kandas ini
jadi kenangan ketika datang percampuran kelemahan
menindas kemauan buat berjuang!

Janga, jangan ditekan jua
Ini aku turut mencari suara
Dari ombak galak melagu muda!


Ilustrasi dari pexels.com.

Baca juga:
Menulis Orang-Orang Oetimu, Menulis Luka
Identitas


Komentar Anda?