Menu
Menu

Penduduk kota ini percaya pada kesaktian Mustika Delima Sendang.


Oleh: Sanubarianto |

Menulis di Jawa Pos, Radar Bojonegoro, Harian Surya, Timor Express, Victory News, dan media-media lain. Buku kumpulan esainya berjudul Bocah-Bocah Tuban (2011).


“Tidakkah kau tahu sekarang orang-orang lebih memilih ke tepi barat kota daripada di sini?”

“Aku tak tahu ada yang lebih lihai mengolah makanan itu dibanding bapak tua ini.”

“Rupanya kau benar-benar tidak tahu. Mustika Delima Sendang sudah berpindah. Kini keberuntungan tak akan singgah di tempat ini lagi. Perhatikan sekelilingmu. Orang-orang tak datang seramai dulu. Dulu yang ke sini selalu kerumunan. Bukannya tak jarang kau mengeluh karena tak kebagian?”

“Sial! Kau benar. Lalu, apa yang membuat tempat di tepi barat kota itu didatangi Mustika Delima Sendang?”

“Mereka mengolahnya dengan cara yang benar-benar berbeda. Mereka tak membiarkannya kering. Di sana mereka membiarkan teksturnya sama seperti saat mereka hidup: licin dan berhawa rawa. Nampaknya Nyi Danyang menyukai itu. Dia memindahkan Mustika Delima Sendang ke tempat itu. Peruntungan pun berubah arah.”

“Bajingan! Danyang … danyang siapa yang kau maksud, hah?”

“Kau betul-betul tidak tahu? Nyi Danyang. Penguasa tiap mata air. Yang aliran-aliran airnya menghampiri tiap sawah di kota ini. Yang membiarkan pertemuan air dan rimbuk padi melahirkan kehidupan-kehidupan. Tentu Danyang pemelihara segala belut!”

.

Sabar. Jika kau tak mengerti apa yang mereka bicarakan, mungkin aku bisa memberitahumu secara perlahan. Kau mungkin akan mengira percakapan tadi hanya bualan; persetan dengan wahyu, danyang, dan peruntungan. Kau sama seperti orang-orang yang bukan dari kota ini. Setiap mereka pasti susah percaya dan memilih tak akan percaya, tapi aku bisa jaminkan lidahku. Kelak, seumpama ceritaku terbukti bohong, potonglah sesukamu. Aku tak berniat membohongimu.

Kota ini mengenal seorang peri perempuan. Penduduk kota percaya, peri ini gemar menyantap sajian belut lezat. Yang membuatnya mabuk kepayang. Yang memaksanya mencoba lagi dan lagi. Jika sudah menetapkan warung idamannya, dia akan membuat orang-orang berbondong-bondong datang ke sana. Penduduk kota ini percaya, jika ada warung yang semacam itu, niscaya di dalamnya sudah pasti tersaji sepiring belut paling enak di seantero kota, dan peri—mereka memanggilnya Nyi Danyang—menyematkan Mustika Delima Sendang di sela-sela atap warungnya.

Ini bukan penglaris. Pemilik-pemilik warung itu tak mengupayakan pesugihan. Mereka hanya menyajikan belut paling lezat yang bisa mereka olah. Nyi Danyanglah yang menentukan. Nyi Danyang tak pernah minta balas jasa. Dia tidak sekelas dengan jin pesugihan yang selalu pamrih, peri ini membalas budi dengan sukarela. Dia akan menghembuskan ke tiap hidung dan telinga penduduk kota, menggodai otak mereka untuk mendatangi warung yang sudah dia pilih. Setelahnya, Nyi Danyang tinggal membiarkan lidah penduduk kota bersepakat dengan lidahnya. Selalu seperti itu. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya, entah sejak kapan.

Mari kita mulai dari tempat mereka tadi bercakap-cakap. Tempat ini telah didatangi berbondong-bondong orang. Sebuah warung sederhana yang benar-benar jauh dari keramaian. Dari jalan protokol kota kau harus memacu kendaraan bersisian dengan sawah dan kuburan, lalu kau harus masuk ke gang kecil dan masuk ke gang yang lebih kecil lagi untuk menemui warung ini. Lokasi warung ini betul-betul menyalahi saran para mentor pengusaha dalam memilih tempat berbisnis. Dari sini kau pasti sudah mereka-reka, betapa penduduk kota ini percaya pada kesaktian Mustika Delima Sendang.

Sampai di muka warung pun kau juga akan dibuat tak habis pikir. Bukan apa-apa. Kau tak akan mendapati warung dengan kursi-meja berjajar, daun jendela yang dibuat lebar agar udara mudah keluar-masuk, atau spanduk menu melambai menyapa. Yang ada di hadapanmu justru bagian samping rumah yang digunakan sebagai dapur dengan tungku-tungku api berjajar. Tungku-tungku itu terbuat dari bata yang menghitam. Hitamnya menyatu dengan tembok entah sudah berapa belas tahun. Di atasnya ada wajan dan kukusan yang tak hentinya berasap. Benar-benar dapur yang dengan sukarela dibuka agar yang datang liurnya menetes karena aroma wangi rempah yang menguar pekat.

Pemilik warung hanya menyediakan beberapa tempat duduk ala kadarnya yang kadang hanya digunakan oleh orang untuk menunggu pesanan. Lalu, warung mana yang tidak menyediakan tempat duduk bagi pembelinya? Tenang dulu, orang-orang yang memilih makan di tempat akan bersedia duduk lesehan di teras rumah pemilik warung. Jika penuh, tetangga kanan kiri warung telah menggelar tikar di serambi samping dan depan. Entah apa yang menjadi kesepakatan pemilik warung dan para tetangganya sampai mereka sukarela menyediakan pekarangannya untuk diduduki pelanggan yang tak jarang berisik—kadang mengganggu tidur siang. Semua itu demi yang sedang diolah di dapur. Pemilik warung itu adalah Burit. Masakan andalan di warung itu cuma satu: belut. Namun, seperti yang sudah aku beri tahu padamu di awal, masakan Burit bukan masakan sembarangan. Masakan ini sudah mendapat restu dari Nyi Danyang.

Dulu, sebelum warung Burit begitu terkenal, restu Nyi Danyang dilimpahkan pada satu warung yang juga tak jauh dari warung ini, Gareng nama pemiliknya. Belut olahan Gareng digoreng kering dengan bumbu rica yang siap membuat keringatmu menetes. Rica ini dicampur juga dengan sedikit bumbu kacang. Lengkap sudah dengan didampingi nasi jagung yang berbungkus daun pisang. Panas kebul-kebul siap disantap. Tak heran, Mustika Delima Sendang belasan tahun berdiam di sana.

Burit membuat sedikit perubahan. Dia tahu, kuncinya ada pada bumbu rica. Dia hilangkan unsur kacangnya, lalu dia buat racikan rica yang lebih berdaya sengat. Burit menambah intensitas cabai merah, terasi, dan bawang putih goreng sebagai bumbu halus. Di wajan yang lain, sudah ada belut, yang terlebih dulu dilumuri garam dan jahe parut, siap digoreng kering. Pada akhirnya, dipersatukanlah belut garing dengan bumbu rica tersebut, ditumisnya itu dengan lengkuas geprek, serai memar, dan daun jeruk. Belum cukup sampai di situ, Burit masih menumisnya dengan potongan-potongan rawit merah. Bau tumisan ini bisa memenuhi udara, menusuk hidungmu, dan mungkin memaksamu bersin. Tetapi, percayalah, saat mencicipnya kau akan tersentak, lidahmu terbakar, bibirmu mencecap tak percaya. Tanpa kausadari desis akan keluar dari mulutmu. Pupil matamu otomatis melebar. Dari dahimu pun muncul bulir-bulir keringat. Kau akan meracau atau menyumpahi apa yang sudah telanjur masuk di kerongkongan. Alih-alih menyesal, di sinilah keajaiban mulai bekerja.

Kau boleh mengeluarkan sumpah serapah. Kau boleh berjanji dalam hati tak akan menyantap masakan ini lagi. Tetapi, tanganmu tak akan bisa berhenti mengambil suap demi suap potongan belut. Nasi jagung yang kau niatkan hanya satu contong, perlahan tapi pasti, bertambah. Contong-contong lainnya terbuka. Belut sendiri tanpa dilumuri apa pun sudah gurih. Belum ditambah gurih bawang goreng. Gurih tambah pedas. Dahsyatnya melebihi ajian pengasihan. Kau seperti kena gendaman. Kau tak bisa berbuat apa-apa meski mulut dan lidahmu tersiksa. Kapok lombok. Jika sudah seperti itu, Burit dengan lihainya akan menawarimu tuak. Ada yang manis, ada pula yang sedikit masam dan memabukkan. Tuak-tuak itu dituangkan ke centhak, gelas dari bambu tua yang dipotong. Perihal tuak, kota ini paripurna. Peracik tuak di kota ini begitu terkenal. Mereka menyadapnya dari lontar-lontar di masa kemarau. Semakin kemarau, semakin nikmat tuak itu. Belut, nasi jagung, dan tuak; peri mana yang bisa mendustakan nikmatnya? Karena itu semua, beralihlah Mustika Delima Sendang dari Gareng ke Burit.

Terhitung sampai sekarang, Burit juga sudah belasan tahun menggenggam Mustika Delima Sendang. Nyi Danyang bersetia di sana. Sampai cerita itu berhembus. Cerita yang membuat warungnya perlahan sepi. Para tetangga pun tak perlu lagi menggelar tikar dan mengalah dengan pelanggan Burit.

.

“Kau ini keterlaluan.”

“Aku benar-benar belum pernah mendengar cerita ini.”

“Aku mengikuti cerita orang dan ternyata betul pula kata orang-orang itu.”

“Betul selama ini aku juga tak bisa lepas dari warung Burit. Namun, yang ini sepertinya harus aku coba. Sudah jangan banyak mengoceh lagi!”

Mereka pun langsung bergegas. Berpindah tempat menuju warung yang disebut-sebut jadi idaman baru Nyi Danyang, tempat baru Mustika Delima Sendang bernaung. Warung milik Deblong.

.

Kau harus benar-benar berpikir ulang jika menyangsikan keberadaan Nyi Danyang. Keberadaan warung Deblong kembali menjadi bukti sahih kesaktiannya. Warungnya ada di tepi barat kota, kau harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan sepeda motor, menyeberang jembatan besar, lalu jembatan kecil, lalu masuk gang ke pemukiman penduduk. Di sana kau tinggal menyusuri kendaraan yang terparkir. Di ujungnya kau mendapati rumah sederhana dijejali orang-orang. Jumlah orang yang datang tak sebanding dengan tempat duduk yang disediakan. Sayangnya Deblong tak punya tetangga selegawa Burit. Tak ada tetangga yang meminjami tikar dan serambi rumahnya. Pembeli Deblong mau tak mau memilih untuk membawa pulang pesanannya atau terpaksa duduk di jok-jok kendaraan tanpa pernah menyesali kurangnya kursi di tempat itu. Melihat itu semua, kau akan semakin yakin Mustika Delima Sendang ada di sana.

Deblong sepertinya sudah mengira-ngira bahwa Nyi Danyang sebenarnya penyuka pedas. Dia tidak meninggalkan cita rasa pedas pada olahan belutnya. Namun, dia membuatnya sangat berbeda. Dia membuat belutnya lembut dan berkuah. Kuahnya pun bukan sembarang kuah. Kuahnya berisi belasan rempah-rempah: bawang merah, bawang putih, jahe, jinten, pala, kemiri, ketumbar, serai, daun jeruk, terasi, daun salam, rawit, cabai hijau, dan cabai keriting. Rempah-rempah itu dihaluskan sebelum dididihkan dengan air dan sedikit santan. Semua diolah sampai berwarna merah darah menyatu dengan warna belut yang direndamkan dalam kuahnya. Penampakannya mungkin tak menerbitkan selera. Semangkuk belut dengan warna kuah merah darah tampak seperti cawan bekas hasil operasi. Tetapi jangan ditanya ketika satu suapan sudah menerpa lidahmu, kau akan merasakan nikmat meski tersiksa.

Nyi Danyang sepertinya berubah selera. Setelah berpuluh tahun setia dengan belut garing rica, kini lidahnya berubah haluanatau mungkin dia mulai bosan? Kau bisa bayangkan ketika dia mencobai belut di warung Deblong. Keringat di dahinya tetap menetes karena pedas yang tak kalah jauh sengitnya dengan bumbu rica. Tetapi, kali ini dia bisa menuang kuah di atas nasi jagung. Atau, Nyi Danyang akan menyeruputnya hati-hati sambil mengeluarkan bunyi slurup diringi desah yang melegakan. Dengan mempertimbangkan itu semua, Mustika Sendang Delima, setelah belasan tahun, kami yakini akhirnya pindah pemilik.

Perhatian orang-orang kota langsung pindah sorot. Mereka sudah melupakan Burit dan warungnya. Sesekali masih ada orang yang menyambangi warung itu. Sekadar untuk menuntaskan rasa lapar, bukan untuk memanjakan lidah. Menurut kabar yang berhembus, Burit pun sudah jarang kelihatan di warung itu. Hanya istrinya dan sisa karyawan setia yang berjaga di warung yang nyaris sepi. Beberapa mantan karyawannya pun mulai bergunjing perihal mengapa Mustika Delima Sendang sampai berpindah tangan, gunjingan yang akhirnya sampai ke telinga penduduk kota.

.

“Suatu malam Burit mabuk berat dia berteriak-teriak. Dia maki-maki sambil menyebut nama Nyi Danyang. Dia bersumpah akan memenggal kepalanya. Ha … ha… ha…. Lucu sekali. Bagaimana cara memenggal kepala seorang peri?”

“Menurutmu mengapa Nyi Danyang memindahkan mustikanya?”

“Ah, aku tak terlalu percaya dengan Nyi Danyang dan segala bualan mustika-mustikanya. Kupikir orang-orang pasti merasa bosan puluhan tahun bertahan dengan resep yang sama. Mereka menginginkan sesuatu yang baru tanpa harus jauh meninggalkan pakem resep yang lama. Deblong menjawab semua itu. Ditambah lagi harus kuakui, masakannya memang benar-benar enak.”

“Lalu, mengapa masakannya bisa begitu enak sampai-sampai satu kota sepakat kalau masakannya enak? Bukankah enak-tidak enak itu masalah selera. Orang susah sepakat kalau masalah selera, kan?”

“Tentu saja karena saking enaknya.”

“Bodoh kau! Ini semua karena campur tangan Nyi Danyang!”

.

Yang tidak diketahui penduduk kota, setiap hari, dari subuh sampai maghrib, Burit menghabiskan waktunya dengan memancing belut di sawah. Tidak, dia tidak hanya memancing. Mulutnya komat-kamit merutuki kebodohannya. Dia menyesal telah mengurangi jumlah belut dalam seporsi masakan dagangannya. Dia merasa semua akan baik-baik saja. Pelanggan tidak ada yang menyadarinya. Pelanggan memang tidak sadar. Namun, ada sesuatu yang lain yang sadar.

“Bodoh … bodoh …,” ujarnya sambil memukuli kepala, “aku sudah pernah mendengar kesalahan Gareng, mengapa justru aku mengulanginya! Ampuni aku Nyi Danyang!” (*)


Ilustrasi:

Baca juga:
Unu Ruben Paineon, Sastrawan NTT yang Menulis dengan Jujur
Terpidana Nomor 19394


Komentar Anda?