Menu
Menu

Setiap kali berkebun, ia tak sanggup melawan tarikan pandangan matanya ke atas bukit. Bunga-bunga di kebun Ibu Inka membuatnya geram.


Oleh: Cyntha Hariadi |

Buku pertamanya Ibu Mendulang Anak Berlari menjadi salah satu pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 dan finalis Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK). Buku keduanya, Manifesto Flora adalah kumpulan cerpen yang juga menjadi finalis KSK 2018. Bukunya yang ketiga, Kokokan Mencari Arumbawangi, sebuah novel dongeng menjadi salah satu Buku Rekomendasi Majalah Tempo 2021.


Terdapat sebuah rumah di atas bukit, sendirian jauh dari rumah-rumah lainnya di lembah. Yang paling dekat bisa melihat rumah itu adalah Ibu Nas; dengan kata lain, Ibu Nas adalah tetangga terdekat Ibu Inka, penghuni rumah bukit itu. Tapi, bukan selayaknya tetangga, saling bertegursapa pun mereka tidak pernah; tidak ada keperluan atau keinginan untuk itu. Namun ada yang mengharuskan untuk berusaha menjadi tetangga yang baik yaitu Romo Ang dalam pesan-pesan misanya, walaupun setelah umat keluar dari gereja, pesan itu tinggal kesan. Ibu Nas seperti orang-orang lain di lembah memilih membiarkan Ibu Inka sendirian. Diramahi sedikit saja, Ibu Inka akan minta uang tanpa basa-basi. Punya sepuluh ribu? Lama-kelamaan orang risih berdekatan dengannya. Pura-pura tidak mengenal Ibu Inka adalah jalan tengah, tidak menolong tapi juga tidak menyakiti. Tapi, tak seperti orang lain yang tidak pernah sedetik pun memikirkan Ibu Inka, setiap hari Ibu Nas berpikir tentangnya. Lebih tepatnya, tentang bunga-bunga yang tumbuh di kebun depan rumah Ibu Inka. Perempuan miskin dan malang sepertinya, mungkinkah dikarunia tangan yang begitu terampil menumbuhkan bunga terindah di Ruteng karena semata Tuhan mengasihaninya? Anehnya, Ibu Inka tidak pernah menjual bunga-bunganya, yang menurut Ibu Nas merupakan kebodohan atau kemalasan. Perihal ini membuat Ibu Nas makin memandang Ibu Inka sebelah mata. Kok, ada orang yang memilih berutang daripada bekerja dari hasil kebunnya sendiri?

Ibu Nas mengamati darah yang menggenang di telunjuknya. Sebelum jatuh, ia masukkan jari itu ke dalam mulut dan mengisapnya. Hari itu, seperti waktu-waktu tertentu, ia merasa perlu membelai mawar-mawarnya, jadi ia tak pakai sarung tangan. Mawar-mawar, terutama mawar kubis adalah kebanggaannya, serupa dengan kebanggaan atas anaknya yang sebentar lagi ditahbiskan. Ia tak pernah membiarkan orang lain membesarkan keduanya; hanya boleh sentuhan tangannya karena keduanya adalah miliknya dan Tuhan. Dalam tiga bulan ke depan, Ibu Nas sudah menerima tiga pesanan menghias gereja untuk perayaan sakramen perkawinan. Harga jasanya paling mahal karena selain menumbuhkan bunga-bunga istimewa —dianggap indah karena langka, padahal belum tentu indah di mata setiap orang— ia juga merangkaikan buket tangan pengantin perempuan, yang selalu menjadi perhatian khusus seluruh umat di gereja. Ibu Nas yang memulai tren ini. Dulu, mana ada orang mementingkan sebuah buket tangan. Bunga-bunga apa pun yang tumbuh pada musimnya, liar di jalan atau terawat di kebun rumah, akan dipakai dan dirangkai seadanya, itu sudah cukup membahagiakan semua orang. Memandangi setitik tusuk yang tidak berdarah lagi walau masih nyeri, Ibu Nas mengumpat. Dasar mawar pasaran, harusnya kau tahu diri. Sudah jelek ya, jangan berduri. Cepat-cepat kupensiunkan kau! Belum lagi menyentuh mawar-mawar kubis kesayangannya, jarinya tertusuk duri setangkai mawar putri, jenis yang paling umum itu, yang ia harus kembangkan juga karena paling mudah walaupun warnanya yang merah tua sangat membosankan.

Ibu Nas memang senang mengoceh pada tanaman, setidaknya ia sadar bunga-bunga itu hidup. Kepada mawar kubis yang kelopaknya padat menumpuk menciptakan warna merah muda menyala menyegarkan, Ibu Nas tentu berpihak walaupun seringkali durinya banyak. Ia pun menumbuhkan mawar pertiwi berwarna merah muda lembut untuk pendamping mawar kubis bila ia sedang tidak punya cukup persediaan. Kalau yang kubis sedang mekar, wah, harumnya paling mentereng. Seperti wangi minyak angin yang bikin pusingku hilang. Keharuman mawar kubis memang memabukkan sehingga kemekarannya dinantikan setiap orang bagai candu gratis. Tak heran, kebun mawar Ibu Nas terkenal, Ibu Nas pun disegani. Ia mengharumkan udara se-Ruteng. Amboi. Hanya ada satu hal yang sangat mengganggu Ibu Nas dan untungnya cuma diketahui dirinya saja. Setiap kali berkebun, ia tak sanggup melawan tarikan pandangan matanya ke atas bukit. Bunga-bunga di kebun Ibu Inka membuatnya geram. Campur-campur jenisnya dari yang murahan seperti lantana, asoka, azalea, krisan aneka warna, sampai yang mahal seperti bunga bakung dan mawar, semuanya tampak lebih indah dari bunga-bunganya sendiri. Pikir Ibu Nas, mereka lebih indah karena tampak berbeda. Bedanya apa, ia tak tahu. Apalagi ketika kabut mulai turun menggantung di atas kebun itu. Dalam pandangan Ibu Nas, sesuatu yang suci bisa muncul tiba-tiba di antara bunga-bunga itu, bahkan ia sering membayangkan penampakan Maria di kebun Ibu Inka. Imajinasi yang menyakitkan. Bukankah seharusnya di kebun mawarnya lebih pantas?

.

Romo Ang menerima banyak sekali permintaan untuk menjadi pembimbing kursus pernikahan. Pasangan-pasangan yang pernah mengenalnya suka kejujurannya yang mengaku tak tahu apa-apa soal dunia pernikahan —salah satu misteri kudus, yang tentu saja disambut dengan sorakan. Namun ia banyak belajar dari mengamati dan berdiskusi dengan orang tua dan kedua kakaknya yang sudah menikah. Ia akan menjalankan tugasnya menjelaskan apa yang seharusnya ia sampaikan dari silabus namun akan menjawab pertanyaan dengan kepragmatisan seorang kawan. Sebetulnya dalam gereja diatur seperti x tapi kalau dalam konteks keseharian menjadi y kita harus tinjau lagi dan sebisa mungkin mengadakan penyesuaian. Atau ia sering berkata, Waduh, nanti saya tanya kakak saya dulu ya, dia lebih tahu. Ia akan sungguh kembali membawa jawaban dalam bentuk video percakapan agar para calon suami-isteri bisa menilai sendiri. Pada hari pemberian sakramen pernikahan, Romo Ang selalu memuji bunga-bunga Ibu Nas yang membuatnya bungah. Mawar-mawar Ibu Nas sungguh lambang cinta, orang-orang yang sudah tak percaya cinta pun akan tersihir jatuh cinta lagi bila memandang dan menghirup harumnya. Semua orang akan berbahagia di hari itu, mendukung pernyataan Romo Ang, kecuali Ibu Inka.
Ibu Inka jarang sekali ke luar rumah kecuali ke gereja. Ia sering mengambil uang persembahan umat dari dalam kantong uang yang diedarkan dalam misa. Karena mengambil tanpa melihat, ia lega ketika mendapatkan selembar dua ribu atau lima ribu dan merasa bersalah ketika yang terambil dua puluh ribu atau lima puluh ribu. Ia akan berhenti menghadiri misa beberapa waktu sampai tak tertahankan lagi dorongan untuk ke gereja. Kalaupun ada orang yang mencurigainya mencuri, orang itu akan diam saja dengan pikiran ‘tidak baik berpikiran buruk apalagi dalam gereja’ atau ‘biarkan ia mengambil uang dari patungan kita bersama daripada ia pinjam uang dariku yang semua orang tahu tak pernah dibayar kembali’. Yang selama ini tahu apa yang dilakukan Ibu Inka adalah Tesa, anaknya. Tesa bekerja sebagai pelayan restoran, yang gajinya hanya cukup untuk memastikan mereka berdua bisa makan secukupnya setiap hari. Memarahi ibunya, menceramahinya bahwa mencuri itu perbuatan dosa adalah sia-sia, dari dulu Tesa tahu. Karena yang dilakukan ibunya bersangkutan dengan gereja dan berkepanjangan maka Tesa memberanikan diri berbicara dengan Romo Ang.

Diberitahu Tesa bahwa ibunya akan datang ke misa sore, Romo Ang mencarinya seusai misa. Ia memulai percakapan dengan berbicara tentang Tesa. Apa ia betah bekerja di restoran, apa ia sudah punya pacar, apa ia atau Ibu Inka tertarik ikut salah satu kegiatan gereja. Ibu Inka hanya diam atau mengangguk atau menggeleng, matanya menghindari mata Romo Ang tapi tertumpu pada kasulanya. Ia mulai menyentuh sulamannya, menelusurinya dengan jari-jarinya. Jengah, Romo Ang menjauh, Ibu Inka menurunkan tangannya. Tapi ia mulai lagi. Matanya tak bisa lepas dari sulaman tersebut dan tangannya mulai meraba kasula lagi. Romo Ang berpikir cepat dan menggiring Ibu Inka ke ruang paramen, penyimpanan pakaian liturgi. Di sana Ibu Inka bebas mengamati sulaman-sulaman di jubah-jubah yang tergantung. Ibu Inka bisa menyulam? Ia mengangguk. Romo Ang tersenyum dan berpikir Tesa pasti senang. Beberapa hari kemudian Romo Ang membawa kasula polos, contoh-contoh sulaman dan peralatan menyulam ke rumah di atas bukit. Tak ada kabut waktu itu, hari cerah. Alba yang dikenakan Romo Ang semakin terlihat terang dari jauh. Ibu Nas yang sedang memeriksa mawar-mawar melihatnya melintas. Ia melongo terlalu lama dan tertusuk lagi. Ia pikir, ada orang-orang yang pantas dan tidak pantas mendapatkan kehormatan kunjungan seorang Romo, seakan seorang imam itu raja, bukan pekerja.

.

Sebuah karya yang sangat bagus atau yang sangat buruk bisa mendapat perhatian yang sama. Maka setiap misa orang-orang menanti-nanti melihat setiap kasula, alba, atau stola baru yang dipakai Romo Ang. Sebenarnya semua itu tidak ada yang betul-betul baru. Sulaman lama dibongkar dan diganti dengan yang baru atau ditambahkan elemen baru. Ibu Inka sangat bersemangat, bila sulamannya tak bisa dikatakan rapi, ia kreatif karena cuek. Ia menolak memakai pola, walaupun mengikuti gambar. Jadinya domba kayak kucing, merpati kayak capung, piala anggur terbelah menjadi beberapa bagian, wajah Yesus dan Maria seperti hasil operasi plastik gagal, sampai menyulam salib pun tidak lurus tetapi seperti tanda halilintar. Sengaja atau tidak, tak ada yang tahu. Untung saja semua ini disulam di atas pakaian liturgi sehingga orang bisa menerka-nerka seharusnya itu gambar apa. Banyak umat mengecam, banyak juga yang santai saja. Pertama kali melihat hasil kerja Ibu Inka, Romo Ang terperanjat tapi akhirnya terbahak. Tesa sangat malu namun menjadi geli sendiri. Ia minta maaf berkali-kali tapi Romo Ang bersikeras memakainya. Anggap saja ibumu mendekonstruksi simbol-simbol gereja, keren, kan. Ibu Inka berterima kasih berkali-kali pada Romo Ang ketika menerima upah jasanya. Ia berhenti mengambil uang kolekte saat misa.

Dulu, ketika Tesa masih bayi, Ibu Inka sering meninggalkannya sendirian di rumah. Suaminya merantau ke Bali hanya sebulan setelah melihat anaknya lahir. Ia berjanji akan mengirimkan uang. Ditinggal berdua saja bersama anaknya, Ibu Inka merasakan kesepian yang sangat melilit, ia merasa bayinya adalah alien. Ditambah dengan masalah Tesa yang menangis terus walaupun sudah disusui serta ketakutan akan diusir dari rumah yang dimiliki keluarga suaminya, Ibu Inka menanggung tekanan yang menguji kejernihan pikirannya. Ia pun mengikuti dorongan ke arah mana pun kakinya mengajak melangkah. Kadang ia pikir ia melihat piring terbang di padang tapi ketika ia mendekatinya, objek itu semakin menjauh darinya. Ia ingin meminta piring itu membawa alien yang ada di rumahnya kembali ke negeri asalnya. Tak jarang pula, Ibu Inka merasa tenang karena pikirannya kosong. Jalan-jalan yang tak berujung ini membiarkannya berjalan tanpa tujuan tanpa menghakiminya; ia mudah menghindari orang-orang yang mencemooh, menunjuk dada telanjangnya dan menimpukinya; ia bisa berlari dan terus berlari di jalan yang terus membuka jalan untuknya. Namun ketika sapi-sapi diam tak bergerak di padang seperti patung, ia menjerit, mengajak mereka lari bersamanya; ia ingin terus berlari melihat apa yang ada di balik deretan pegunungan itu tapi ketika air susu memenuhi payudaranya yang mengeras dan nyeri, ia ingat Tesa.

.

Melihat ibunya yang tampak bahagia mempunyai pekerjaan tetap, Tesa mengungkapkan niat pacarnya untuk mengajaknya menikah. Ibu Inka tesenyum mendengar kabar ini tapi tidak bertanya apa pun tentang pacar Tesa, namanya pun tidak. Romo Ang yang mencari informasi tentangnya, dan menemui orangtua Nanda. Keluarga itu perantau dan memiliki kios yang menjual perlengkapan telpon genggam dan Nanda bekerja penuh di sana. Romo Ang pikir Nanda dan keluarganya kelihatan orang baik-baik dengan segala kekurangan-kekurangan yang tidak mungkin diketahui sekarang. Pada kursus pernikahan, ia selalu meminta setiap calon membayangkan kekurangan-kekurangan pasangannya yang mungkin akan muncul setelah mereka menikah dan menuliskannya di kertas. Simpan kertas itu sebagai pengingat kau memasuki pernikahan ini menggunakan kepala, bukan semata cinta atau nafsu, jadi sebaiknya menyelesaikan setiap masalah dengan kepala juga. Yang Romo Ang bisa lihat adalah Nanda dan keluarganya punya niat baik pada Tesa. Akhirnya setelah berpacaran kurang lebih enam bulan, Tesa mengundang Nanda ke rumah atas bukit. Ia menyarankan Nanda memarkir motornya di bawah biar mereka bisa berjalan kaki ke atas menikmati keteduhan dan ketenangan barisan pohon sengon, mahoni, dan palem.

Matahari sudah turun, udara mendingin, mungkin kabut akan datang lebih awal. Nanda agak grogi masuk hutan sekaligus terpesona. Aku gak kebayang setiap kali kamu pulang malam, gak takut, Tes? Kan dari lahir aku tinggal di sini. Kamu sih, orang kota. Bunga-bunga liar pun tumbuh indah di sini. Tunggu sampai kau lihat kebunnya Ibu Nas. Nanda mencium yang harum. Tesa menunjuk ke arah kebun Ibu Nas. Ia merangkai bunga untuk pernikahan di gereja. Tapi kita tak mampu membayarnya. Nanda terpana. Mawar-mawar seakan berebut menyembulkan mahkotanya untuk memanggilnya, membuatnya terkesan dan tambah jatuh cinta. Ah, kalau secantik itu, aku mampu, kok. Sekali seumur hidup, Tes, akan kita ingat selamanya. Tesa tersenyum dalam kecemasan yang menebal semakin mereka mendekati rumahnya. Tiba-tiba, Nanda berlari ke arah kebun Ibu Nas. Tesa terdiam di tempat tak berani menyusul. Ia tak pernah bertegursapa dengan Ibu Nas atau keluarganya yang terhitung penghuni baru di lembah; mereka pun menganggapnya tak ada. Tiba-tiba lagi, Nanda muncul di hadapannya dengan setangkai bunga mawar kubis pada puncak mekarnya. Berdiameter hampir 10 cm, mawar itu lebih merah muda dan ranum dari pipi Tesa yang terasa terbakar. Tesa terpekik dan keduanya terkikik-kikik sambil berlari menanjak. Eh, jangan senang dulu, Tes, bunga itu untuk ibumu.

Sesampai di atas, turun gerimis. Kebun Ibu Inka yang warna-warni menjadi basah dengan kesenduan yang menawan hati. Tesa tertegun melihat ibunya berdiri di pintu yang terbuka, rambut dan pakaiannya rapi dan ia tersenyum. Andai setiap orang bisa melihat ibunya seperti sekarang, batin Tesa. Tesa menduga Romo Ang telah mempersiapkan ibunya untuk kedatangan tamu. Ibu Inka tak bicara sepatah kata pun namun ia banyak tersenyum. Ini pun mengkhawatirkan Tesa tapi ia berusaha tenang dengan banyak berbicara mengenai pekerjaan Nanda dan kehidupan keluarganya kepada ibunya. Nanda juga banyak memuji kerajinan Tesa di restoran. Kemudian Nanda teringat pada setangkai mawar kubis yang ia petik. Ibu Inka tambah tersenyum lebar menerima bunga itu, menciumnya dan memegangnya erat di dada. Ketika Nanda pamit pulang, mendadak Ibu Inka bersuara. Petiklah beberapa bunga dari kebunku untuk ibumu. Dengan senang Nanda bergegas ke kebun sebelum Tesa bisa menahannya. Meraih setangkai bunga bakung putih, Nanda menjerit, mukanya ngeri. Lalu ia berlari ke sana kemari mencabuti bunga-bunga lainnya. Membawa beberapa bunga di tangan, Nanda menghampiri Tesa dan ibunya yang berdiri terpaku di pintu. Seluruh tubuh dan suaranya bergetar. Tesa, apa-apan ini? Perempuan macam apa yang menanam bunga plastik di kebunnya? Tanpa menunggu jawaban, Nanda melepaskan bunga-bunga di tangannya dan berlari seperti habis melihat setan menuruni bukit.

Ibu Nas, bersarung tangan dan membawa gunting ke luar dari rumahnya menuju kebun. Gerimis sudah berhenti, ganti kabut tipis menggantung. Ia pikir ia melihat kelebatan seseorang berlari menuju lembah tapi segera menepis penglihatannya. Ia yakin tak ada orang yang mau mengunjungi rumah atas bukit —ia menyimpulkan kedatangan Romo Ang waktu itu juga cuma penampakan saja, permainan pikirannya— seperti ia juga yakin bunga-bunga Ibu Inka lebih indah dari bunga-bunganya. (*)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung (Ilustrasi ini sebelumnya disiarkan di buku Antologi Cerpen Nadus dan Tujuh Belas Pasung, untuk cerpen Bisopo karya Siti Hajar)

Baca juga:
Usaha Memahami Pengalaman Membaca Buku Jingga
Puisi-Puisi Khoer Jurzani – Maharani


1 thought on “Bunga-Bunga di Ruteng”

  1. Lisa Pingge berkata:

    Cerpennya asyik, lucu, menghibur dan berkesan. Salam.

Komentar Anda?