Menu
Menu

Bengkel penerjemahan adalah kegiatan Kantor Bahasa Provinsi NTT, dilaksanakan di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Yayasan Klub Buku Petra menjadi mitra kerja mereka di Kabupaten Manggarai.


Oleh: Lolik Apung |

Tinggal di Pitak, Ruteng. Anggota Klub Buku Petra dan Komunitas Tunas Harapan Pitak.


Memasuki bulan Oktober, Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan  Klub Buku Petra, Ruteng menggelar workshop Bengkel Penerjemahan Dwibahasa. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 1 sampai 4 Oktober 2021, bertempat di lantai 3 Apotek Wae Laku, Ruteng. Peserta yang terlibat dalam kegiatan ini berjumlah tiga belas orang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda.

Bengkel Penerjemahan ini merupakan agenda rutin Kantor Bahasa NTT dan Ruteng menjadi kota kelima di NTT yang menjadi tempat workshop ini. Tujuan dari kegiatan ini adalah menyusun dan menerjemahkan cerita-cerita rakyat ke dalam bahasa daerah setempat. Oleh karena itu, di Ruteng Bengkel Penerjemahan ini terjadi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai. Para peserta didorong untuk menemukan cerita-cerita rakyat dari wilayah Manggarai, menyusunnya dalam bahasa Indonesia, lantas menerjemahkannya ke bahasa Manggarai.

Pada hari pertama, hawa dingin abadi yang menyelimuti Kota Ruteng tidak menjadi masalah bagi para peserta untuk hadir tepat pukul 07.00 Wita. Para peserta nampak antusias ketika Kepala Kantor Bahasa NTT, Syaiful Bahri Lubis membuka workshop dengan review tentang ‘Fokus Program Literasi Kantor Bahasa NTT’. Fokus program itu adalah penataan ekosistem literasi di sekolah. Adapun aspek yang ditata adalah tampilan dan isi buku bacaan, ekosistem literasi sekolah, dan regulasi perbukuan. Untuk menunjang fokus ini, pada tahun 2021, Kantor Bahasa telah menerbitkan 748 bahan bacaan literasi dan 60 buah komik bagi PAUD-SLTA, 1.400 judul terjemahan dari bahasa asing, dan 450 judul terjemahan dari bahasa daerah. Menuju tahun 2024 terjemahan ini akan semakin banyak dan sering, serta akan ditunjang lagi dengan pembuatan film pembelajaran BINA (Bahasa Indonesia) dan GLEN (Gerakan Literasi Nasional).

Pada pukul 11.00, para peserta dibakar dengan materi tentang ‘Penulisan Berbagai Bahan Bacaan’ dari Marcelus Ungkang, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di UNIKA St. Paulus Ruteng, juga Redaktur Ulasan Bacapetra.co. Kaka Celus, begitu ia akrab disapa, berbagi pengalamannya dalam mencetak sebuah karya, entah tulisan maupun pementasan teater. Menurutnya kiat pertama yang mesti dibuat untuk menulis adalah menciptakan lingkungan menulis bagi diri sendiri. Kiat kedua adalah membaca karya orang lain dan melihat pola dalam karya-karya tersebut. Kiat ketiga adalah personalisasi, dalam arti memasukkan hal personal dalam karya. Kiat keempat adalah menggunakan template atau formula tertentu, dan yang terakhir adalah menertawakan tulisan sendiri. Kiat yang terakhir ini menciptakan ledak tawa di antara para peserta, termasuk Afin Gagu. Bagi Afin, kiat yang terakhir ini adalah sesuatu yang baru. Ia justru sering merasa sedih ketika selesai membaca karya yang dihasilkannya.

bengkel penerjemahan kantor bahasa

Pada hari kedua, para peserta tetap hadir dengan semangat yang sama. Kudapan dan kopi pagi menjaga api semangat itu. Pak Syaiful kembali hadir dengan materi tentang ‘Aspek Penting dalam Penulisan Bahan Bacaan/Cerita Rakyat Dwibahasa’. Aspek-aspek itu kemudian dikerucutkan lagi oleh Rm. Ino Sutam, Pr., Pastor-Dosen di UNIKA St. Pulus Ruteng, juga Budayawan Manggarai. Beliau membawakan materi tentang ‘Nilai-nilai Luhur Orang Manggarai yang perlu Ditonjolkan dalam Bahan Bacaan Anak’. Materi Romo Ino menerbitkan kesan nanonano dalam hati peserta. Romo bicara tentang kebudayaan para peserta, sesuatu yang dekat tetapi dirasa jauh oleh peserta. Menurut Romo Ino, nilai-nilai yang perlu ditonjolkan dalam bahan bacaan anak haruslah sesuai dengan kebudayaan setempat.

Adapun kebudayaan orang Manggarai berciri ritualistik, dualistik, simbolik-figuratif, dan lisan, dengan asal dan muara pada eksistensi kosmos atau alam. Misalnya dalam cerita tentang Ata Boke (Orang Berkulit Borok): Dikisahkan bahwa ada seorang yang berkulit borok. Ia selalu dibuli, hingga ia memutuskan untuk melakukan perjalanan mencari Mori Kraeng (Tuhan Allah) ke puncak sebuah gunung. Ketika bertemu, ia hanya meminta agar Mori Kraeng menerimanya dalam situasi ketika orang lain menolaknya. Ia juga meminta berkat bagi orang yang membantunya. Keesokan harinya, ia pun langsung sembuh. Bagi para peserta, cerita ini baru didengar hari ini. Juga cerita-cerita lain seperit Mitos Ulumbu, Nabit Alang (Tuhan Allah), Weki Ca Waga (Badan Setengah), Kisah Loke Nggerang, Asal-usul Kera, Asal-usul Wau, dan lain-lain. Hal ini memacu para peserta untuk memanggil kembali cerita-cerita di kampung yang terekam di dalam lapisan-lapisan memori masing-masing. Dengan berkelompok, dongeng-dongeng yang berhasil dipanggil di antaranya adalah Tengku Siwa, Empo Jelet dan Anjingnya, dan Monyet yang Baik Hati.

Pada hari ketiga, tepat pada hari Minggu, Armin Bell, Ketua Yayasan Klub Buku Petra dan Pemimpin Redaksi Bacapetra.co menemani para peserta untuk ‘Merangkai Bahan Bacaan/Cerita Rakyat’. Kaka Armin hadir bersama putri sulungnya yang sedang duduk di kelas V SD, Rana Bellarmin. Rana berperan penting dalam sesi ini. Ia menjadi pendengar anak dari tiga dongeng yang sudah disusun peserta sejak kemarin. Di setiap akhir ‘pendongengan’, Rana memberikan kesan-komentarnya atas cerita. Rana berperan dengan baik. Menurut ayahnya, jika dongeng menimbulkan pertanyaan bagi anak-anak atau siapa pun maka ada yang perlu diperbaiki dari dongeng tersebut. Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan kurasi atas tiga dongeng yang sudah ditulis oleh peserta.

bengkel penerjemahan rana bellarmin

Tiga dongeng itu diulek halus hingga menjadi bahan bacaan ramah anak oleh Kaka Armin. Beberapa hal yang menjadi perhatian Kaka Armin adalah rasionalitas cerita, penyusunan paragraf pembuka, dan fungsionalitas ide. Menurutnya, tiga dongeng ini belum memiliki paragraf pembuka yang baik, juga dibebani oleh begitu banyak informasi. Terbukti dari kalimat pertama yang tidak langsung menampilkan judul dongeng. Hal ini membingungkan anak-anak. Dalam kasus rasionalitas cerita, banyak cerita yang tidak masuk akal. Menurutnya, sekalipun fiksi, hal-hal tertentu dalam cerita harus tetap sesuai common sense. Misalnya dalam kisah ‘Monyet yang Baik Hati’, disebutkan bahwa ubi, jagung, dan pisang ditanam secara bergantian oleh tokoh utama. Hal ini perlu diluruskan, karena dalam kenyataan, pisang adalah jenis tanaman yang hidup berumpun dan jarang dibudidayakan secara bergantian dengan tanaman lain pada satu musim/tahun tanam. Demikian juga dalam fungsionalitas ide. Dalam dongeng ‘Empo Jelet dan Anjingnya’, tokoh antagonis yang bernama Kimpur Tilu tidak berkabar lagi di akhir cerita, padahal ia memainkan peran yang besar dalam seluruh rangkaian cerita.

Mendengar masukan dari Armin Bell, banyak peserta yang termotivasi untuk memugar teknik dan isi ceritanya. Seorang peserta dari Kelompok Tengku Siwa, bernama Anne Habut merasa ceritanya jauh dari ideal. Ia mengaku jika menulis cerita tidak semudah repa mata alias mengedip mata, apalagi menulis cerita yang akan dibaca anak-anak. Dibutuhkan ketekunan dan kerja keras seperti seorang atlit. Namun berkat ulekan dari Kaka Armin, dongeng-dongeng itu pun mulai berbentuk.

Pada hari keempat, peserta diberi banyak ruang dan waktu untuk mengedit dongengnya. Kerja berkelompok tidak memudahkan peserta untuk menyelesaikan dongeng dengan cepat. Debat dan diskusi terjadi berjam-jam. Untuk membantu penyelesaian dongeng, Kaka Selus dan Kaka Armin terjun secara langsung. Mereka memeriksa, mengurangi, menambahkan, dan mengubah beberapa bagian dalam dongeng. Dongeng-dongeng itu pun jadi.

Tugas berat lain menanti peserta setelah dongeng-dongeng itu jadi. Tugas itu adalah menerjemahkan dongeng yang sudah jadi ke dalam bahasa Manggarai. Hampir semua peserta tidak mampu menyelesaikan terjemahannya hingga acara penutupan datang. Tugas itu kemudian dilanjutkan di rumah. Panitia memberikan waktu selama tujuh hari bagi peserta untuk menyelesaikan cerita dan terjemahannya.

Pada acara penutupan, Pak Syaiful, Kaka Armin, dan Retha Janu hadir memberikan kesannya masing-masing tentang workshop yang sudah berlangsung. Pak Syaiful menyampaikan ucapan terima kasih untuk kerja sama yang sudah terjalin selama 4 hari. Demikian pula Kaka Armin. Sebagai Ketua Yayasan Klub Buku Petra, ia bersyukur atas program terjemahan yang sudah diinisasi oleh Kantor Bahasa NTT. Ia berharap agar kerja sama serupa tetap berlangsung di masa depan. Adapun Retha Janu yang mewakili peserta merasa belajar banyak hal melalui workshop bengkel penerjemahan ini. Ia bersyukur dipertemukan dengan orang-orang hebat yang membantunya berkembang dari hari ke hari.

bengkel penerjemahan kantor bahasa nusa tenggara timur

Dongeng-dongeng yang sudah ditulis oleh para peserta menurut rencana dari Kantor Bahasa NTT akan diterbitkan masing-masing dalam bentuk buku cerita anak. Satu dongeng, satu buku. Meskipun sudah diterbitkan, para peserta bersama Klub Buku Petra tetap diminta untuk menajamkan antenanya dan terus memperluas bahan bacaan agar cerita-cerita rakyat khas anak tetap ada dan terus dilestarikan. Anak-anak akan menjadi baik dengan mendengarkan dan membaca dongeng. Begitulah yang diyakini oleh Kantor Bahasa NTT dan juga Klub Buku Petra. Karena anak-anak akan tetap ada, maka kerja literasi seperi Bengkel Penerjemahan ini merupakan kerja sepanjang zaman.(*)


Baca juga:
Menyingkir dari Derita Wabah Lewat Kisah-Kisah Paradoks
Bagaimana Pandemi Mengubahmu Menjadi Gregor Samsa


Komentar Anda?