Menu
Menu

Para cerpenis tampak menggarap isu ODGJ berdasarkan pengamatan ala kadarnya, minim riset.


Oleh: Tim Kerja Lomba |

Nomor HP Narahubung: 082339780887 dan 081339366174.


Lomba Cerpen ODGJ adalah sayembara cerpen dengan tema dan tujuan khusus. Namun demikian, cerpen sebagai teks sastra memiliki seperangkat konvensi baik dalam proses penciptaan maupun dalam proses penilaiannya.

Strategi-strategi naratif seperti apa yang digunakan seorang pengarang untuk menciptakan sebuah dunia cerita yang meyakinkan dapat ditelaah dan dinilai paling tidak dari tiga elemen yang tak terpisahkan berikut: Konten, Keperajinan, Konteks.

Konten, atau subject matter, pada dasarnya adalah ide-ide, gagasan, perspektif, atau tawaran isi, yaitu apa yang umumnya muncul sebagai jawaban dari pertanyaan apa yang ingin disampaikan seorang pengarang dalam cerita tertentu. Otentisitas seorang pengarang bisa ditilik dari gagasannya. Keberpihakan pengarang atas isu tertentu dapat disingkap dari posisi ideologisnya, baik yang secara gamblang tampak pada permukaan teks maupun yang tersembunyi dalam lapis bawah teks.

Keperajinan, atau craftmanship, pada dasarnya adalah kecakapan teknis atau pertukangan dalam mengolah bentuk, yang secara esensial menentukan bagaimana sebuah cerita diolah, dibangun, dikonstruksikan. Dengan kata lain, kemampuan menciptakan komposisi, baik yang padu sesuai pakem storytelling atau yang rumpang by-design. Termasuk dalam elemen ini adalah kemahiran berbahasa dalam menyusun kalimat dan memilih diksi, kepiawaian mengeksekusi sudut pandang penceritaan, kelenturan memunculkan voice yang unik, dan anasir-anasir stilistika lainnya.

Konteks punya dua kaki, yaitu khazanah dan realitas. Khazanah berkaitan dengan sejauh mana sebuah cerita dapat dihadapkan dan dibandingkan dengan karya-karya yang telah ada sebelumnya, bagaimana posisi sebuah cerita dalam tegangan antara invensi dan konvensi. Realitas, atau secara longgar bisa disebut sebagai “konteks kebudayaan”, adalah sejauh mana sebuah cerita berhubungan dengan situasi sosial-budaya tempat seorang pengarang melahirkan karyanya, apakah cerita itu lahir dalam modus mimisis sebagai pencerminan, peniruan ataupun pembayangan kenyataan empirik atau lahir dalam modus creatio sebagai sebuah upaya penciptaan dunia alternatif, dunia yang mungkin, atau bahkan dunia yang sama sekali baru.

Setelah melewati empat pekan yang panjang, dimulai dari proses pembacaan 22 cerpen yang berhasil melewati tahap kurasi—semua cerpen yang diteruskan ke meja juri tidak menyertakan nama para penulis—kemudian penentuan 7 cerpen unggulan dari masing-masing Juri, hingga akhirnya mengerucut menjadi 5 besar pilihan Dewan Juri, maka dengan ini kami umumkan TIGA PEMENANG yang berhasil keluar sebagai KARYA TERBAIK LOMBA CERPEN ODGJ – LUSTRUM KLINIK JIWA RENCENG MOSE.

Sebelum itu, mari kita simak Pertanggungjawaban Dewan Juri atas cerpen-cerpen pilihan yang masuk dalam daftar LIMA BESAR.

[nextpage title=”Pertanggungjawaban Dewan Juri dan Daftar Pemenang 1, 2, dan 3″]
Sesuai dengan saringan pertama yang disepakati oleh para juri, lima besar cerpen yang masuk dalam babak penilaian akhir (untuk memenangkan peringkat I, II, dan III) adalah Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya (NdSRyM), Seru Serangga Dalam Diriku (SSDD), Nian Ina Ema Bulakan (NIEB), Orang Gila Berisik Sekali (OGBS), dan Penemu (P).

Penting untuk disinggung sejak awal, lima besar cerpen tersebut ternyata tidak lepas dari sejumlah kesalahan elementer seperti penggunaan kalimat-kalimat yang tak efektif, kesalahan ejaan dan tanda baca, pemilihan diksi yang tak hati-hati, atau bahkan silap yang memberikan dampak serius pada otoritas pengarang: kesalahan informasi faktual dalam narasi. Kesalahan-kesalahan tersebut tampaknya disebabkan oleh kerja penyuntingan yang tergesa-gesa (untuk tidak mengatakan “sembrono”) dan riset yang digarap ala kadarnya (untuk tidak mengatakan “tanpa riset sama sekali”).

Dengan demikian, kelima cerpen terpilih bisa dibilang sebagai minus malum, cerpen-cerpen yang memiliki kadar kesalahan paling sedikit, cerpen-cerpen yang mempunyai tingkat kesalahan yang “masih dapat dimaafkan”.

Dua cerpen pertama sesungguhnya punya bobot yang tak terpaut jauh. Mari kita bahas satu per satu. Inti kisah NdSRyM adalah seorang pemuda, Nadus, kerasukan sembilan roh, mengamuk, dan membuat kacau seisi kampung sementara seorang pria paruh baya gila lain, Linus, dituduh dan dihakimi atas kejahatan yang tidak dilakukannya sehingga akhirnya membuat semacam pembalasan yang tidak disangka-sangka. Premis yang menarik.

A.N. Wibisana mengungkapkan, paragraf pembuka NdSRyM merupakan paragraf pembuka terbaik dari keseluruhan 22 cerpen yang lolos kurasi Lomba Cerpen ODGJ. Bukan sesuatu yang baru sebenarnya, tapi tampak benar pengarang telah berupaya mengolah kalimat sedemikian rupa sehingga berhasil mengimitasi gerak kamera zoom in seperti yang biasa kita lihat dalam film. Gabungan antara pemerian bentang alam dan aksi dramatis adalah kunci yang mengikat perhatian pembaca sejak awal. Kalimat-kalimat pada paragraf-paragraf selanjutnya tidak secemerlang paragraf pembuka, tapi masih terhitung mudah dipahami. Plot cukup terjaga, alur mengalir lancar.

Menarik menelaah mengapa roh yang merasuki Nadus adalah tokoh-tokoh historis, bukan roh leluhur atau arwah penguasa tempat keramat atau yang sebangsanya. Peristiwa trance yang lazimnya menguarkan aura mistis justru bercampur dengan percik rasa humor. Mix-feeling ini akan bertaut dengan kejutan peristiwa di ujung kisah, yang sebenarnya problematis—baik dalam kerangka plot dan perspektif ideologis tentang ODGJ—tapi pembaca barangkali bisa menerimanya sebagai (humor) satir. Jika tidak, ending kisah ini bisa menghantam pesan cerpen secara keseluruhan: Apakah seorang yang kurang waras memang dekat dengan tindak kriminal, dengan kekerasan pula?

Sementara itu, terhadap hasil pembacaan NdSRyM, dr. Ronald Susilo menyampaikan bahwa, keputusannya memilih cerpen NdSRyM sebagai nomor pemenang pertama, sebab cerpen ini (lebih) kaya akan nuansa budaya kehidupan masyarakat di NTT. Yang lebih penting lagi adalah, bagaimana sikap kita (orang NTT) terhadap orang dengan gangguan jiwa dan orang-orang yang memiliki tanda-tanda gangguan jiwa: “waham kebesaran”. Beberapa alasan di atas bisa ditemukan saat membaca cerita ini. Kendaraan umum yang digunakan antar-desa dan kecamatan, hasil bumi di sebuah wilayah, kepala desa yang menjadi orang penting dalam memutuskan benar tidaknya kelakuan warga desa, suasana alam, kemalasan masyarakat yang menciptakan kemiskinan, dan lain sebagainya.

Sedangkan, Ibu Olik Moon melihat cerpen NdSRyM lebih kaya dalam memadukan aspek sosial (di mana sesuai dengan salah satu ketentuan lomba) dan psikologis. Penyajian NdSRyM sangat apik dengan alur yang begitu rapi. Setiap bagian tidak saling lepas atau dengan kata lain, saling berkesinambungan. Kebahasaannya juga baik dan enak untuk dinikmati pembaca. Meski isi ceritanya ringan, namun kalimat dalam cerita mampu membawa pembaca ingin terus membacanya. Koherensi antar-paragraf juga nampak baik.

Kelemahan-kelemahan berikut yang perlu dicatat atas cerpen NdSRyM, antara lain: penggunaan diksi menyeduh (apakah kata ini kini berarti menyesap atau meminum?), informasi faktual tentang tujuh jenderal (ya, jenderal bukan jendral) yang salah kaprah (hanya enam jenderal yang gugur, satu kapten, dari keenam jenderal itu pun tidak semua terbunuh di Lubang Buaya, beberapa tertembak di rumah, dan Lubang Buaya adalah nama daerah bukan sumur tempat jenazah para Pahlawan Revolusi dibuang, dan seterusnya dan seterusnya).

Kisah NdSRyM dinarasikan via sudut pandang orang ketiga serba tahu (omniscience narrator), kesalahan-kesalahan rujukan peristiwa historis akan mengikis kredibilitas narator, membuat kisahnya tidak layak dipercaya. Namun demikian, rujukan kultural yang memperkaya cerpen NdSRyM, baik dalam dialek lokal dan deskripsi latar, sedikit banyak “menutupi” beberapa kekeliruan lain. Konteks kebudayaan dalam cerpen NdSRyM tergarap dengan apik.

Cerpen SSDD berhasil “keluar dari kerumunan” karena mengisahkan seorang penderita gangguan jiwa via sudut pandang orang pertama. Pilihan ini sudah bernilai dua plus. Pertama, dari awal pengarang telah berupaya untuk memberikan suara pada pihak yang selama ini bungkam (giving voice to voiceless). Kedua, dalam khazanah storytelling modern, narator yang sejak awal membocorkan bahwa diriya seorang gila merupakan bagian dari apa yang lazim disebut sebagai unreliable narrator. Ini tidak berarti kisah yang ia tuturkan tidak layak dipercaya, tapi tegangan justru menciptakan enigma, menimbulkan kompleksitas pemaknaan karena pembaca akan “ditarik” untuk menyimpulkan sendiri bagian-bagaian kisah mana yang sungguh-sungguh terjadi, bagian-bagian mana yang semata penyelewengan narator.

Menurut A.N. Wibisana, dari gejala yang dituturkan langsung oleh tokoh aku, kemungkinan besar ia seorang pengidap skizofrenia. Penyebabnya berkaitan dengan hereditas—atau begitulah ia merasa. Tidak seperti NdSRyM yang kental dengan muatan antropologis, SSDD semata dibangun dari muatan psikologis. Tidak seperti NdSRyM yang tangga dramatiknya mudah dikenali sebagai babak awal-tengah-akhir dan plot point-nya merupakan peristiwa aktual dalam latar tertentu, kedalaman kisah SSDD bergantung pada seberapa kuat penggambaran gebalau pikiran si protagonis. Sebagian deskripsi itu mengesankan. Contohnya, bagian yang menyebutkan tentang tuma-tuma dari buku-buku tua yang melahap jejaring neuron atau bagian yang menceritakan konser bersama The Beatles atau, puncak dari semuanya: Percakapan dalam bahasa serangga.

Bagi dr. Ronald, berbeda dengan cerpen NdSR yang realis, cerpen SSdD lebih surealis. Perbedaan itu bukanlah menunjukkan kualitas—keduanya memiliki kualitas yang sama dan sama-sama memberikan sensasi bagi pembaca. Namun, SSdD lebih mengandalkan pemilihan diksi yang baik dan lincah, permainan kalimat-kalimat panjang yang cukup indah, serta mengambil gejala skizofrenia sebagai tiang penceritaanya. dr. Ronal mengakui cukup terkesan dengan cara penulis menggambarkan hilangnya gejala halusinasi setelah disuntik obat:

“Ia lantas menyuntikkan cairan pekat ke bokongku, menidurkan keganasan minotaur dengan seketika……yang tertinggal cuma Gandhi yang samar, kalem dan tampak masih mabuk ahimsa……bersama berlalunya waktu, Gandhi pun jarang mampir. Mungkin saja seorang fanatik celaka kembali menembaknya untuk mati kedua kalinya, ketiga kalinya hingga keseratus kalinya”. (hal.4).

Tentu saja, deskripsi pada SSDD bukan tanpa cacat. Semua orang tahu serangga (insekta) berkaki enam, bukan berkaki delapan seperti laba-laba (arachnida). Peralihan antarparagraf juga beberapa kali tersendat, apakah ini by-design, secara sadar dilakukan untuk menggambarkan bagaimana pikiran seorang pengidap skizofrenia terpecah-pecah atau semata keteledoran pengarang? Jika melihat banyak sekali kesalahan ejaan dan tanda baca di sepanjang cerpen ini, kemungkinan kedua cenderung dilakukan penulis.

Namun demikian, secara umum cerpen ini layak diapresiasi. Bagi A.N. Wibisana, SSDD mengingatkannya pada aliran anti-psikiatri, terutama dalam perspektif mempertanyakan bagaimana bisa diagnosa gangguan mental ditegakkan berdasarkan penilaian perilaku tapi penyembuhannya dicapai secara biologis melalui obat. Fungsi kisah yang baik, salah satunya, adalah membuka ruang dialog dengan pernyataan atau pertanyaan kritis. Percakapan dalam bahasa serangga itu kurang lebih menunjukkan: Madness need not be all breakdown. It may also be breakthrough.

Cerpen NIEB punya konteks kebudayaan yang hampir sama kaya dengan cerpen NdSRyM. Cerpen NIEB merupakan cerpen dengan porsi penggunaan bahasa lokal terbanyak, dalam dialog khususnya. Apakah penggunaan bahasa atau idiom lokal dalam cerita otomatis membuat cerita tersebut kuat dalam konteks kebudayaan, unggul dalam lokalitas? Tidak selalu memang. Tapi bahasa lokal menciptakan tekstur kisah, tokoh-tokoh yang berbicara dalam bahasa lokal tampak sebagai sosok manusia yang natural.

Lokalitas dalam NIEB sebenarnya bukan hanya ditegakkan oleh idiom bahasa, tapi juga dengan penggambaran fungsi dan struktur keluarga (besar) dalam kehidupan keseharian masyarakat Timor. Di tengah masyarakat yang tampak tak peduli, keluarga besar jangan-jangan mampu berperan sebagai supporting system bagi ODGJ. Sayangnya, modal lokalitas ini tidak diimbangi oleh plot kisah yang menarik. Tangga dramatiknya terlalu datar. Khotbah di ujung kisah terlalu hambar. Di mana kotbah dan nasihat sangat tidak diperlukan dalam sebuah cerita pendek. Ruang yang begitu sempit untuk sebuah cerpen mengharuskan penulis mengisahkan sebuah cerita tanpa perlu merangkumnya menjadi nasihat. Nasihat bisa didapatkan di mana-mana, tidak harus melalui cerpen. Di dalam cerpen, pembaca mencari perspektif lain tentang sebuah peristiwa. Cerita apa yang ingin disampaikan, apa yang dilakukan para tokoh, latar tempat dan waktu, dan banyak lagi, bukan nasihat.

Akan lebih baik jika kisah ditutup secara simbolik, paragraf pertama dan kedua yang menggambarkan tentang matahari dan pohon-pohon di kebun bisa menjadi pintu. Akan sangat kuat jika kisah ini memaparkan secara detail ritual-ritual pengobatan macam apa yang dijalani Ina, khususnya untuk membangun tegangan antara perspektif pemulihan secara adat dan penyembuhan secara medis.

Dari tiga kandidat cerpen peringkat III—NIEB, OGBS, dan P—sebenarnya keperajinan OGBS lebih unggul. Cerita dibuka dengan panorama yang cukup fantastis, bergerak dalam kombinasi alur maju dan mundur, sebelum ditutup kembali dengan panorama yang sama pada bagian pembuka kisah, plus tambahan suasana magis. Kelemahan OGBS dibanding dua cerpen lain terutama berkaitan dengan tujuan khusus Lomba Cerpen ODGJ, pengarusutamaan isu ODGJ. Porsi penceritaan Tryana, gadis malang yang dipasung di bawah pohon ketapang, terbilang sangat sedikit. Betul ada upaya untuk menggambarkan bahwa gangguan jiwa yang dialami Tryana tidak datang tiba-tiba. Namun, backstory kelewat panjang kelewat genit. Bagian penting yang mestinya bisa menjelaskan momen krusial bagaimana Tryana mengalami Post-traumatic stress disorder (PTSD) justru tidak dielaborasi sebagaimana mestinya. Sentilan-sentilan kritis yang menggambarkan bagaimana otoritas Gereja melakukan pengabaian (atau paling tidak, pembiaran) terhadap korban patut dipuji, tapi di sisi lain, karakterisasi figur mantan Frater tidak tergarap dengan baik. Tiba-tiba saja tokoh mantan Frater muncul, tiba-tiba saja ia memperkosa Tryana. Serba kebetulan, deus ex machina.

Cerpen P, cara penulis memilih latar, sama seperti cerpen SSD, namun kekurangannya pada bagian diksi jika dibandingkan dengan SSD. Alurnya sederhana, tokohnya hidup, dan kejadian yang diceritakan merupakan kisah nyata jika sebuah layanan kesehatan menerima pasien dengan gangguan jiwa. Tanda baca ditempatkan dengan baik sehingga selama membacanya kita tidak lelah. Kisah dalam P diakhiri dengan kalimat yang lucu dan humoris:

Gadis mahasiswa keperawatan itu membuka buku laporannya, lantas menulis di sana, “Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan pertama, Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP), belum berhasil dilaksanakan. Intervensi dilanjutkan”.

Narator cerpen P, jelas punya selera humor. ‘RSJ Sangat Mencintaimu.’ ‘Alexander Graham Bell versus Alexius Namparnos.’ ‘Bina Hubungan Saling Percaya.’ Tapi sekadar humor tak otomatis membuat sebuah cerita memiliki kualitas sastrawi kelas wahid. Humor yang bermakna harus tertinggal di benak pembaca lama setelah suara tawa usai.

Cerpen P ditulis dengan cukup lancar, segar saat dibaca, tapi gagal mempertahankan kesegaran itu sebab makna yang ingin disampaikan tidak cukup liar—bahkan jika si pengarang sebenarnya telah berupaya me-restrain perhatian pembaca. Cerpen ini sederhana bahkan terlalu sederhana. Kurang banyak dimensi yang disentuh. Tetapi, jika nanti akan dimasukkan ke dalam sebuah antologi, cerpen ini patut dipertimbangkan.

Secara keseluruhan cerpen dengan tema ODGJ yang masuk ke meja juri kualitasnya belum sesuai dengan harapan. Sebagian besar cerpen ditulis dengan tergesa-gesa sehingga banyak penggunaan tanda baca yang tidak tepat, pemilihan kata yang kurang pas, nalar atau logika sebuah cerita tidak dibangun dengan baik, judul yang masih belum provokatif, tokoh yang diciptakan tidak terasa hidup ketika dibaca, teknik penceritaan yang itu-itu saja dan masih banyak lagi yang sebenarnya bisa disebutkan. Ini tentu saja akan menjadi pekerjaan ekstra bagi editor ketika harus menyunting cerpen-cerpen yang akan dikumpulkan menjadi antologi.

A.N. Wibisana, sebagai salah satu juri menyampaikan kekecewaannya: dengan tema semenarik ini, para cerpenis tampak menggarap isu ODGJ berdasarkan pengamatan ala kadarnya, minim riset. Ada spektrum tipe gangguan jiwa yang sangat luas—apakah para cerpenis membaca DSM-5, atau paling tidak ikhtisarnya—tetapi nyaris semua cerpen tergiring membahas ODGJ dengan sederhana sebagai “orang gila”. Beberapa cerpen membahas PTSD, tetapi subjek permasalahan favorit para cerpenis itu adalah pemasungan, stigma. Betul pemasungan adalah problem krusial (di NTT atau di Jawa Barat mungkin paling krusial), tetapi sayembara ini jelas-jelas diadakan sebagai salah satu bentuk pengarusutamaan isu ODGJ, bukan semata advokasi untuk masalah pemasungan.

dr. Ronald kemudian menyimpulkan, contoh-contoh di atas membuktikan bahwa penulis-penulis dari NTT belum menaruh minat yang besar pada dunia literasi. Barangkali perlu dilakukan penelitian terkait hal ini. Menurut dr. Ronald, ketidaktertarikan penulis-penulis ini bisa terjadi karena membaca dan menulis tidak menghasilkan uang dalam waktu yang cepat. Dengan bahasa yang lebih sederhana, menulis tidak dapat memberi kehidupan yang layak. Akhirnya, akan muncul istilah: menulis itu butuh bakat, bukan usaha. Jika ini terjadi, maka hilanglah daya saing kita di semua bidang. Ingin melakukan sesuatu, yang dipikir pertama kali adalah bakat bukan bagaimana caranya.

Setelah membaca keseluruhan catatan di atas, kita barangkali sudah bisa menduga siapa saja yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Dan, inilah TIGA BESAR LOMBA CERPEN ODGJ – LUSTRUM KLINIK JIWA RENCENG MOSE.

JUARA I – Judul cerpen: NADUS DAN SEMBILAN ROH YANG MERASUKINYA. Penulis: Marto Ryan Lesit.

JUARA II – Judul cerpen: SERU SERANGGA DALAM DIRIKU. Penulis: Kristian Dan Dadi.

JUARA III – Judul cerpen: NIAN INA EMA BULAKAN. Penulis: Silviana Yanti Mesak.

pemenang lomba cerpen odgj

Selamat kepada para pemenang, kiranya tidak lekas berpuas diri. Semoga kesempatan ini menjadi pemicu untuk berusaha lebih giat lagi menulis cerita-cerita yang menginspirasi sekaligus memberikan dampak sosial yang baik bagi lingkungan sekitar.

Selanjutnya para pemenang akan dihubungi oleh pihak panitia. Pengumuman lain terkait Antologi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) akan diberitakan lebih lanjut melalui website ini, juga akun media sosial Klub Buku Petra.(*)


Informasi lomba dan kegiatan lainnya di Klub Buku Petra dapat diikuti media sosial kami!

2 thoughts on “Lomba Cerpen ODGJ – Pengumuman Pemenang dan Catatan Dewan Juri”

  1. Flores berkata:

    Bahasan dan penilaiannya bagus sekali.

    Ok. Semua cerpen yang masuk lima besar adalah minus malum. Kata lainnya terpaksa masuk, supaya ada juaranya.

    Saya kira adalah sangat bagus jika juri konsisten pada pendoman penilaian. Misalnya, jangan paksakan cerpen2 itu masuk ke lima besar. Pemaksaan adalah pelanggaran terhadap pedoman yang telah juri atau panitia sendiri tetapkan. Ini disebut permisif.

    Mungkin cerpen juara 1 kini hanya bisa masuk ke juara 5. Biarkan itu terjadi supaya permisif itu dihindari.

    Praktik pasung dan pelbagai masalah apa pun, saya kira justru bermula dari praktik permisif seperti ini.

    1. KLUB BUKU PETRA berkata:

      Selamat siang Florespos.id,

      Terima kasih atas perhatian dan masukannya.
      Dalam waktu dekat, tentu akan ada tanggapan resmi dari Dewan Juri dan Panitia Lomba terkait masukan ini. Terima kasih atas kesediaannya menunggu.

      Salam,
      Redaksi~

Komentar Anda?