Menu
Menu

Renceng Mose adalah klinik rehabilitasi jiwa di bawah naungan Yayasan Karya Bakti Ruteng, penyelenggara lomba menulis cerpen dengan tema Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dalam rangkaian kegiatan tersebut, kami hadirkan profil Klinik Jiwa Renceng Mose di bacapetra.co.


Oleh: Maria Pankratia |

Admin Klub Buku Petra. Orang Ende yang tinggal di Ruteng.


Saya bertemu Philipus (bukan nama sebenarnya) beberapa bulan lalu. Pertemuan kami disengaja karena saya diminta membimbing Philipus menyalurkan keinginannya untuk belajar menulis. Saya datang ke Klinik Jiwa Renceng Mose, bertemu Philipus, lalu kami berbincang lama sekali pagi itu. Sebelum itu, saya tidak pernah ke Klinik Jiwa Renceng Mose. Saya hanya mendengarnya dari cerita beberapa orang yang sudah pernah ke sana, juga dari kawan-kawan yang bekerja di sana, seperti dr. Ronald Susilo dan Hermin. Philipus adalah pasien dengan gangguan jiwa yang sudah cukup stabil keadaan kejiwaannya, menulis adalah salah satu anjuran terapi agar Philipus lebih cepat pulih.

Philipus hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengalami gangguan jiwa dan dirawat di Klinik Jiwa seperti Renceng Mose. Selain Philipus, panti rehabilitasi yang dikelola Bruder-Bruder Karitas ini, menampung kurang lebih 30 pasien rawat inap. Pasiennya datang dari berbagai daerah di daratan Flores. Dari Maumere, Ende, Bajawa, Nagekeo, dan tentu saja Manggarai Raya. Beberapa pasien bahkan berasal dari luar NTT, seperti Jakarta dan daerah lainnya, yang kebetulan mengetahui informasi tentang Klinik Jiwa Renceng Mose. Philipus adalah salah satu pasien yang berasal dari luar NTT itu; ia datang jauh dari Jakarta.

Usai sesi bersama Philipus, saya meminta bertemu Bruder Honor, salah satu Bruder yang mendampingi para pasien di panti. Kami lalu terlibat percakapan yang panjang sekali, tentang bagaimana Klinik Jiwa Renceng Mose akhirnya hadir dan berkembang di Ruteng.

Adalah Yayasan Karya Bakti yang berpusat di Wonosobo, pada tahun 2004 silam mengutus para Bruder Karitas untuk melakukan survei demi menemukan jenis pelayanan baru di luar pulau Jawa, yaitu di Ruteng, Manggarai. Yayasan Karya Bakti merupakan instansi swasta yang bekerja lintas instansi dan sektor, yang peduli pada kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus seperti, orang dengan gangguan pendengaran(tuna rungu), orang dengan gangguan grahita (tuna grahita), orang dengan gangguan jiwa dan para korban penyalahgunaan NAPZA. Keprihatinan terhadap orang-orang yang mengalami berbagai gangguan ini, membuat Yayasan Karya Bakti membuka cabang-cabang sesuai dengan gangguan yang diderita. Salah satunya adalah Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose, untuk pasien dengan gangguan jiwa di Ruteng.

Pada kunjungan untuk survei di tahun 2004 tersebut, ditemukan ternyata belum ada lembaga terkait, baik pemerintah maupun juga swasta, yang menangani para pasien dengan gangguan jiwa di Kabupaten Manggarai. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di daratan Flores saat itu masih sangat minim. Keluarga-keluarga yang memiliki sanak saudara dengan gangguan jiwa, lebih suka memutuskan sendiri jalan untuk mengurusnya. Jika tidak mendatangi orang pintar (baca:dukun kampung), maka mereka akan memasung dan memberikan tempat tinggal tidak layak yang berjarak jauh dari rumah tinggal atau pemukiman penduduk. ODGJ dikucilkan dan dibiarkan menderita sendirian.

Saya teringat, beberapa bulan sebelum bertemu Philipus, saya diajak oleh dr. Ronald bersama Tim Medis Klinik Jiwa Renceng Mose untuk ikut mengunjungi pasien-pasien yang dipasung di wilayah selatan Kabupaten Manggarai. Perjalanan tersebut membuat saya sedih berhari-hari. Selain saya akhirnya memahami bahwa, orang-orang dengan gangguan jiwa adalah sesama manusia yang butuh perhatian dan perawatan dari manusia normal seperti saya, juga ternyata memasung orang dengan gangguan jiwa, apalagi mereka adalah keluarga sendiri, merupakan pekerjaan yang teramat sulit dan menyedihkan. Dulu sekali, salah satu tetangga saya di Ende, sering melakukan hal ini pada anggota keluarga mereka yang dianggap gila karena bicara sembarangan. Saat itu saya berpikir bahwa orang-orang dengan gangguan jiwa pantas diperlakukan seperti itu.

Bruder Honor kemudian melanjutkan ceritanya, melalui banyak proses dan kerja sama dengan pemerintah daerah, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan, Yayasan Karya Bakti cabang Ruteng akhirnya membuka panti rehabilitasi bagi orang dengan gangguan jiwa, yang kemudian diberi nama Renceng Mose—dalam bahasa Manggarai berarti Hidup Bersama—pada tanggal 25 September 2014 secara resmi layanan bagi pasien dibuka di Jln. Lintas Luar, Kel. Bangka Leda, Kecamatan Langke Rembong Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Sebagai lembaga yang mengabdikan dirinya pada bidang kesehatan dan kemanusiaan, Klinik Jiwa Renceng Mose di bawah naungan Yayasan Karya Bakti Ruteng memikul tanggung jawab yang besar. Visi utama dari pilihan untuk menangani Orang dengan Gangguan Jiwa adalah bersama keluarga dan masyarakat sebagai satu kesatuan dalam pelayanan  penuh iman, harapan dan kasih bagi sesama yang menderita khususnya penderita gangguan kejiwaan demi kehidupan yang lebih baik dan mandiri.

Kegiatan-kegiatan yang mendukung visi tersebut antara lain: melayani penderita gangguan jiwa dengan dasar dan semangat cinta kasih, rasa kemanusiaan, persaudaraan, kebersamaan, keakraban maupun kekeluargaan serta memberikan perawatan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan yang bermutu secara profesional. Yayasan Karya Bakti Ruteng juga berusaha semampunya, untuk membantu keluarga maupun masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa dengan memberikan pendampingan, pendidikan, pelatihan, dan dukungan demi menumbuhkembangkan perhatian dan kepedulian keluarga dan masyarakat bagi penderita gangguan jiwa. Bersamaan dengan itu, membuka dan memberi cara pandang baru kepada keluarga, juga masyarakat tentang masalah gangguan kejiwaan. Yang terakhir, tentu saja terus meningkatkan profesionalisme pelayanan pada segala aspek demi pelayanan yang berkualitas. Saat ini ada 9 tenaga profesional yang bertugas merawat dan mendampingi pasien rawat inap di panti rehabilitasi Renceng Mose. Mereka adalah dokter, tenaga perawat, pemerhati gizi, bimbingan dan keterampilan, serta apoteker.

Memasuki tahun kelima pelayanannya, Klinik Jiwa Renceng Mose dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Orang dengan Gangguan Jiwa memunculkan sebuah gagasan menarik. Menggandeng Klub Buku Petra Ruteng, salah satu Yayasan yang bergerak di bidang pengembangan literasi di Kabupaten Manggarai, Yayasan Karya Bakti Ruteng mengadakan Lomba Menulis Cerpen bertemakan Orang dengan Gangguan Jiwa (Lomba Cerpen ODGJ).

Perlombaan tersebut kini tengah memasuki periode penjurian. Pada 10 Desember 2019 mendatang, bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, akan diumumkan para pemenang dari Lomba Cerpen ODGJ ini.

Melalui lomba ini diharapkan, persoalan/isu tentang orang dengan gangguan jiwa akan menjadi percakapan yang luas melalui karya-karya cerpenis yang menjadi peserta lomba. Skema harapan yang ingin dibangun adalah, pertama, para penulis yang akan menjadi peserta lomba mengakrabi isu ODGJ (melalui riset), dan kedua, para pembaca akan mendapat tambahan pemahaman tentang isu yang sama melalui karya-karya para pemenang. Dalam rencana, karya-karya pemenang akan diterbitkan dalam sebuah Antologi Cerpen Orang Dengan Gangguan Jiwa.

Peserta yang diizinkan terlibat dalam perlombaan ini adalah yang berdomisili di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keputusan ‘membatasi’ wilayah asal peserta ini diambil dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan utama adalah karena Klinik Jiwa Renceng Mose berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Manggarai—seluruh pasien yang dirawat di klinik ini (sejauh ini) berasal dari area Manggarai dan daerah lain di daratan Flores—dan pada saat yang sama belum banyak yang mengetahui isu ini dengan baik. Sebagai akibatnya, penanganan terhadap orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak dilakukan dengan tepat, bahkan tidak pernah berhasil menjadi percakapan arus utama di NTT.

Pertimbangan berikutnya adalah kesadaran bahwa salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjadikan ini sebagai percakapan besar adalah melalui karya-karya sastra. Dan karena ‘wilayah sasaran’ adalah NTT maka para penulis yang terlibat adalah yang berada di wilayah tersebut, dengan harapan mereka dapat menghasilkan karya yang (sebut saja) paham konteks atau tidak tercabut dari kondisi riil daerah ini.

Semangat tersebut sejalan dengan apa yang sedang dikerjakan oleh Klub Buku Petra (tentang kecerdasan literasi dan hal-hal lainnya) dan karena itulah dua lembaga ini bekerja sama melaksanakan Lomba Menulis Cerpen bertema ODGJ ini.

Saya tertegun lama mendengarkan penjelasan panjang dari Bruder Honor tersebut. Beliau kemudian mengajak saya berkeliling melihat-lihat kondisi klinik. Kami tiba di sebuah ruangan yang berisi pasung-pasung bekas, yang dulunya digunakan untuk memasung para pasien yang kini dirawat di panti. Berbagai ukuran pasung ada di sana, ada yang dibuat dari bongkahan batang kayu yang besar dengan rantai yang terurai panjang, ada pula yang hanya seperti balok panjang tanpa tali atau rantai yang melilit di sekitarnya. Barangkali sudah dibuang. Di samping pasung-pasung tersebut, terdapat kolase foto para pasien setelah mereka sudah cukup sehat dan sedang melakukan aktivitas seperti kerja bakti dan olahraga.

Cukup lama saya menghabiskan waktu di ruangan ini, membayangkan sebuah proses kesembuhan yang tentu saja tidak mudah. Tidak mudah bagi pasiennya, maupun juga para petugas di Klinik Jiwa Renceng Mose.

Selama berjalannya Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa Renceng Mose sejak tahun 2014 sampai dengan saat ini, banyak masyarakat yang antusias dan aktif melakukan konsultasi jika terdapat penderita Gangguan Jiwa di lingkungannya, Bruder Honor Menambahkan. Total pasien yang menjalani rawat jalan saat ini, sebanyak 585 orang. Sedangkan yang mendapat perawatan di panti, sebanyak 30 orang. Barangkali jumlah tersebut terbilang sedikit, sesuai dengan kapasitas kamar dan fasilitas pendukung lainnya yang hanya bisa menampung 30 orang saja. Pasien yang keadaannya kembali stabil setelah menjalani rehabilitasi akan dikembalikan ke pihak keluarga sehingga selalu ada pergantian pasien setiap bulannya.

Seusai berkeliling, saya berpamitan dengan Bruder Honor. Saya kembali bertemu Philipus di depan lorong menuju pintu keluar. Philipus mengucapkan terima kasih dan meminta saya berdoa agar keluarganya segera datang menjemput. Dia merasa sudah sangat sehat dan bisa melakukan banyak pekerjaan sebagaimana orang normal lainnya. Saya hanya tersenyum dan mengiyakan. Saya kembali ke rumah setelah matahari cukup tinggi, di kejauhan Stadion Golo Dukal nampak kehijauan dan sepi. (*)


Tulisan lain terkait lomba dapat disimak di tautan ini!

Komentar Anda?