Menu
Menu

kau sangat menyukai petang musim panas/ hingga memasuki malam yang mulai dingin/ langit masih saja hijau zwielicht


Oleh: Annisa Hidayat |

Kelahiran Taliwang, 29 Mei 1988. Menulis puisi, prosa, dan artikel perjalanan. Puisinya tergabung dalam antologi penyair perempuan NTB “Taman Pitanggang” (Akarpohon, 2014) dan antologi penyair perempuan “Perempuan Langit 3” (2017). Mahasiswa master di Asia Africa Institute, Universitaet Hamburg, Jerman. Saat ini sedang melakukan penelitian mengenai sastra lisan kuno Sumbawa.


Petang Musim Panas di Tepi Danau Harburg

senja itu, waktu yang baik untuk barbecue
akhirnya kau datang melewati hutan
aku bisa merasakan hantu ksatria berkuda
menyelinap ke balik batang-batang eiche
gerbang tua kerajaan peri
aku percaya pada hidup yang misteri
seperti kau percaya Tuhan, perasaan iba,
dan barangkali, cinta yang tiba-tiba

aku jatuh hati pada pohon-pohon duka
punggung mereka yang berkabut
selalu membungkuk pada danau yang kelam
kau sangat menyukai petang musim panas
hingga memasuki malam yang mulai dingin
langit masih saja hijau zwielicht
dan bayang lampu-lampu rumah kebun
laksana jajaran kunang-kunang melayang
di atas cermin danau yang remang

menjelang dua belas malam
api unggun mulai melembut
wajah-wajah kian menyepi
rimbun pohonan semakin mendekat
bersama suara angin yang galib
kita memasuki gerbang mesin waktu
ketika ayat-ayat diciptakan
dan dongeng surga-surga dikidungkan

kau berbaring di sampingku
bicara padaku tentang Al-Ikhlas
saat dunia menyebarkan kepalsuan
berbaringlah di sampingku
demi bintang-bintang musim panas
aku merasa semua kesengsaraan di bumi ini
menghilang sejenak, menghilanglah sejenak

Hamburg, Juni 2019

Catatan:
*Eiche (German) = Oak, pohon ek, salah satu jenis pohon paling tua di Jerman.
**Zwielicht (German) = Twilight, cahaya petang yang panjang pada musim panas.

Menuju Balai Kota (Fridays for Future)

ini bulan musim panas di Hamburg
tapi musim itu berlalu begitu cepat
harusnya ada cahaya langit utara
bukan awan gelap dan angin belantara
kita telah dicemaskan oleh musim semi
yang sunyi. pagi membisu, hari kian sempit

kita gelisah, lalu mulai berjalan ke balai kota
pada Jumat yang berkah untuk masa depan
kelak jika badai semakin menderu
memukul pohon-pohon di sepanjang sungai alster
dan belas kasih semakin memudar di kota ini
tetaplah berjalan bersamaku
demi burung-burung dan lebah madu

kerangka bumi terbentuk dari hutan-hutan
orang-orang dipahat dengan kayu-kayu
indera dunia diciptakan oleh media sosial
sejak gunung-gunung es menghitam
dan dataran hijau kini membeku
tak ada yang pasti, memicu kita berjalan kembali
selain musim gugur yang datang begitu awal
tak ada yang pasti, selain hati kita yang patah
tak ada yang membuatku berjalan
selain hatiku yang sedang patah
aku jatuh seperti daun-daun ini
di ribaan tanah yang setia menanti

kita telah menghabiskan waktu berjalan
namun tak terlihat lagi daun-daun
kita pernah takut pada hutan
kini kita takut kehilangan hutan

Hamburg, Juli 2019

Catatan:
*Fridays for Future = Aksi internasional peduli iklim setiap Jumat oleh pelajar.
**Alster = sungai yang terletak di depan Balai Kota Hamburg, Jerman Utara.

Musim Panas yang Sebentar

di bawah langit musim panas ini
aku tak peduli lagi warna waktu
tapi rambutmu yang keemasan
bercahaya seperti masa depan
sejak hari-hariku dalam hitungan
langit biru kian jernih seperti matamu
sore itu, waktu yang baik menikmati es krim
kita berjalan sampai senja dengan berdebar.

aku tahu musim panas ini begitu sebentar
pohon-pohon melambai mesra kepadaku
angin menyentuh lenganku penuh kasih
aku jatuh hati, aku jatuh untuk kesekian kali
pada langit musim panas ini, pada matamu
aku semakin menyerupai engkau
senyumanku menjelma senyumanmu
“aduh, aduh.” kau suka mengucapkan itu
tanpa sadar aku sering menggemakannya
persis seperti getar suaramu.

aduh aduh, Tuhan
musim gugur mendekatiku sebagai puisi
sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini
daun-daun mulai berterbangan, aku tidak tahu nanti
apakah aku masih akan menunggumu, musim panas.

Hamburg, Juli 2019

Musim Panas Sekali Lagi

aku mesti pergi seperti musim panas
biarlah badai mendekat
musim gugur merasuki
cemaslah mereka yang tidak mencintai
aku akan melihatmu
beterbangan dari kejauhan
angin bergerak
matahari meninggi
sebuah jendela terbuka
kenangan mulai berputar
untuk menghidupi musim panas
di dalam dada yang sepi
sekali lagi

Hamburg, September 2019

Selamat Pagi Musim Dingin

orang-orang masih tertidur dalam pagi kelabu
sementara badai musim dingin bergumam
barangkali diriku pernah menjadi sebuah badai
di antara batang-batang pohon terpencil
kami berjalan dalam diam
dengan mantel sekelam kabut malam

hari baru pukul sepuluh
dewa salju masih bersumbunyi
selamat pagi musim dingin yang muda
burung-burung ranting yang menghitam
beterbangan laksana penyihir tua
manakala suara mereka menghantui
dunia belumlah terlalu buruk
meski dalam kelabu, hidup masih berdenging

pohon-pohon purba berlengan besar
diselimuti lumut gelap menebal
mereka berdiri di bawah langit muram
barangkali diriku ratusan tahun lalu
bersama angin yang terus menyelinap
tiba di inti jantung mereka yang debar
hingga mahkota mereka berkilau
laksana tetes embun baru
terlahir dari sisa badai yang lampau

Hamburg, Desember 2018


Ilustrasi: Photo by Martin Damboldt from Pexels

Kirim PUISI, CERPEN, dan ULASAN Anda ke [email protected].

Komentar Anda?