Menu
Menu

Bukalah matamu, Aziel. Engkau hanya perlu membuka mata untuk melihat uluran tangan-Nya. Ia menyertai setiap langkahmu. Sang Pemburu Tuhan.


Oleh: Jemmy Piran |

Lahir di Sabah-Malaysia, 18 Februari. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul Obituari Sebutir Telur, Seekor Ayam, dan Babi (Basabasi, 2018), dua novel berjudul Wanita Bermata Gurita (Laksana, 2020) dan Dalam Pelukan Rahim Tanah (Basabasi, 2021). Ia terpilih sebagai salah satu peserta Emerging MIWF 2020, yang dilangsungkan pada tahun 2022.


Ia bukan seorang nabi yang harus berseru-seru di padang gurun. Atau pernah ditelan seekor ikan sebagaimana Yunus.

Namun, ia memiliki sebuah karunia yang tidak banyak orang di dunia ini miliki. Ia bisa bercakap-cakap dengan semua binatang.

Ia hanya seorang lelaki, yang sudah mendekatkan diri dengan sembahyang tiap menjelang fajar dan senja lenyap. Tak ada lagi yang ia minta kecuali ingin melihat Malaikat Maut merenggut dirinya. Namun, hal itu belum terjadi hingga hari di mana ia memutuskan untuk bertaruh dengan Tuhan.

Aziel, nama lelaki itu. Ia ingin tahu apakah Tuhan masih mencintainya atau justru sebaliknya. Namun, yang pastinya, ia ingin membunuh Tuhan dengan caranya.
Ia lalu melakukan perjalanan panjang seperti para peziarah. Ia tidak ingin menggunakan unta sebagaimana mereka yang sering melewati negerinya.
Aziel akhirnya berhasil menakluki gurun.

Ia memandang ke arah langit, “Aku tidak percaya bahwa Kau masih mencintaiku.”

Tidak ada jawaban, kecuali angin menderu dari kejauhan.

“Aku tidak percaya padamu.”

Ia diam beberapa saat lalu tersenyum kecil.

Aziel menarik diri dan mengungsi ke sebuah gua. Dalam gua yang penuh dengan ular-ular yang terus mendesis dan kalajengking yang mempunyai sengatan mematikan, Aziel melemparkan dirinya. Ia berharap ular-ular berbisa mematuk dan kalajengking menyengat tubuhnya hingga kejang dan mati terkapar.

Karena ia sudah merasa terlalu lelah terus memberikan pelayanan atas karunia yang diterimanya.

Saat tubuhnya terempas—terpelanting—ke depan, ular dan kalajengking terjungkal beberapa jengkal ke belakang. Binatang berbisa itu berhamburan dan berlindung di balik batu seperti takut pada tubuh lelaki itu. Dalam keremangan bulan yang terpancar dari luar, binatang-binatang berbisa itu menegakkan kepala, seperti ingin memastikan.

“Kenapa kalian bersembunyi wahai binatang-binatang yang berbisa? Pagutlah tubuhku sebab aku telah berdosa di hadapan-Nya dan hukuman bagiku adalah kematian.”

Tidak ada jawaban.

“Apakah kalian tidak ingin mengambil hidupku?”

Ular dan kalajengking keluar dari persembunyian. Kata seekor ular, “Bagaimana mungkin kami membunuh milik kepunyaan-Nya. Bahkan Ia justru meminta kami tunduk menyembah padamu sebab engkau diutus-Nya ke tengah-tengah dunia untuk mewartakan kabar sukacita. Engkau datang untuk menyelamatkan manusia dan mengangkat derajat kaum binatang di muka bumi.”

“Ah, yang kalian dengar itu berasal dari iblis.”

“Tidak. Sebelum engkau datang kemari, Ia telah menguduskan tempat ini untukmu. Ditugaskan kepada kami untuk menjagamu. Di luar gua ini, sepasukan kalajengking tengah bersiaga. Sementara kami, ular-ular yang kau lihat ini, akan menjagamu agar tidak seorang atau seekor binatang buas mencabik kulit dan meremukkan tulangmu. Lalu, akan datang tikus-tikus membawakanmu hidangan terbaik yang telah disiapkan bagimu. Kelelawar telah terbang ke segala penjuru untuk mengintai: Apakah ada pergerakkan mendekat kemari.”

“Jangan merayuku. Aku tahu, aku seorang pendosa. Aku seharusnya dibunuh, tubuhku mestinya dihanguskan dalam bara api. Aku amat najis di hadapan-Nya. Aku tidak layak.”

“Hanya Ia yang dapat mengambil jiwa seseorang.”

“Tapi bukankah ada tertulis dalam nas tentang perintah untuk membunuh?”

“Dengan dasar nas itu engkau meminta kami membunuhmu?”

“Tubuhku sebaiknya dihancurkan.”

“Membunuh seperti yang kau ketahui itu sebetulnya demi sebuah alasan, yaitu, kebaikan. Tetapi tentang hal ini, kukatakan kepadamu, membunuh adalah tindakan yang tidak dibenarkan sama sekali.”

“Aku sungguh berdosa terhadap Tuhan, alam semesta, dan leluhur, maka aku pantas mendapatkan hal itu. Ia memakaiku, keluar dari tempat yang penuh cinta hanya untuk menjebakku.”

“Janganlah engkau mencobai Tuhan dengan keras kepalamu, Aziel, sebab kemurkaan-Nya sewaktu-waktu akan datang tiba-tiba.” Ular itu kemudian mendesis bagai menyadari sesosok tak kasatmata. Seembus angin berdesir, membuat tubuh lelaki itu meremang.

“Bukalah matamu, Aziel. Engkau hanya perlu membuka mata untuk melihat uluran tangan-Nya. Ia menyertai setiap langkahmu.”

“Aku ingin berpaling selamanya.”

“Terlalu banyak nasihat yang engkau terima sehingga kepalamu diisi dengan suara-suara iblis. Sebaiknya kau istirahat sebentar untuk menjernihkan pikiranmu, Aziel.”

Lelaki itu diam sebentar, lalu kembali melemparkan pertanyaan, “Wahai ular, menurut kalian, siapakah aku ini?”

“Engkau adalah seorang nabi.”

“Seorang tabib,” jawab seekor kalajengking.

“Pembawa kabar sukacita,” tambah kelelawar.

“Yang diurapi,” tukas ular yang lain lagi.

“Seorang yang diberkati dengan kekudusan,” simpul seekor ular kuning.

Gua terasa hening. Angin dingin begitu intim.

“Tidak. Aku seorang lonte, seorang kafir!”

“Mengapa engkau tidak menjaga mulutmu dari kata-kata sendiri?”

“Sebab aku memang demikian.”

“Oleh karena engkau, Ia masih menahan amarah-Nya terhadap dunia ini, mengasihani dan tidak melenyapkan mereka yang menyimpang dari ajaran-Nya. Kemurkaan-Nya tak menghanguskan bumi, sebab, Ia percaya, angkatan yang baik akan kembali bermunculan. Dari tanganmu engkau akan mengurapi mereka yang berletih lesu dan menahirkan mereka dari belenggu dosa dan aib.”

“Mana mungkin semua itu bisa terjadi sementara Ia memalingkan wajah-Nya dariku.”

“Kenapa engkau meragukan penyelenggaraan-Nya?”

Aziel tercenung. Ia ingin berkata bahwa Tuhan ada dalam hidupnya, tetapi ada dorongan lain mengatakan sebaliknya. Tuhan terlalu samar dan bahkan hampir tak ia temukan dalam perjalanannya.

“Aku seorang kafir,” ujar Aziel kemudian.

“Dan, Ia tetap memilihmu. Di mata-Nya, seorang kafir maupun seorang beriman sekali pun tetap memiliki kedudukan yang sama, karena baik kafir maupun beriman tidak menambahkan atau mengurangi kemuliaan-Nya.”

Aziel tidak lagi menemukan kata-kata yang tepat.

Ular itu mendesis panjang, lalu katanya, “Oleh karena engkau, Ia tidak menjatuhkan bencana atas kita semua.”

“Aku tidak percaya.”

“Kenapa?”

“Sepertinya Ia terlalu arogan.”

“….”

. sang pemburu tuhan

Setelah dua tahun hidup dalam gua itu, akhirnya Aziel keluar. Ia berjanji pada dirinya bahwa dalam hidupnya yang tersisa, ia akan memburu Tuhan. Sebetulnya ada sebersit tantangan untuk menguji kesabaran Tuhan. Atau, boleh dikata demikian, bahwa ia ingin bertaruh dengan Tuhan: Apakah Tuhan tetap memilihnya atau Tuhan mengalah karena keras kepalanya.

Ia menengadah ke langit sebentar, lalu gumamnya, “Tuhan, aku akan memenangkan permainan ini. Aku yakin, Engkau akan kalah. Jika Engkau memenangkan pertandingan ini, aku menganggap-Mu sebagai seorang keparat, tapi jika aku kalah maka Engkau memang pantas disembah.”

Tantangan itu dijawab Tuhan dengan mengirimkan angin topan. Pohon-pohon yang ada di sekitar Aziel tumbang.

Entah dari mana, Aziel mendengar suatu suara, “Janganlah sekiranya engkau mencobai Tuhanmu sebab besarlah Ia dan kemurkaan-Nya akan membuat seisi bumi lumpuh.”

Aziel menulikan telinganya dengan suara itu. Ia memandang jauh ke depan, berharap ada isyarat yang menandakan kehadiran sesosok tak kasatmata. Ia sudah berjanji dengan dirinya, jika memang itu adalah suara iblis yang memanggilnya, ia sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin menaklukkan Tuhan.

“Aku adalah iblis,” serunya dengan suara nyaring ke arah langit.

Langit hanya bergeming. Aziel terus melangkah dan berharap menemukan keajaiban-keajaiban. Namun, hingga beberapa jauh, ia tidak menemukan apa-apa, malahan ketika semakin jauh, ia merasa kegersangan semakin sempurna. Ia beberapa kali tersenyum ke arah langit, sebab ia merasa Tuhan mulai mengalah. Sekali, dua kali, ia memandang lalu melemparkan senyum yang paling sinis. Menuding-nuding sambil melemparkan cacian.

Pada suatu hari, ia menemukan sebuah telaga. Saat ia bercermin di permukaan air telaga, ia tak mengenal wajahnya lagi. Ada kerut tak biasa, ada ceruk yang menjejak di sana. Ada garis hitam samar di bawah matanya.

Dalam bayangan yang samar, ia bagai mengingat seraut wajah, entah kapan ia temui. Yang pasti wajah itu bagai menarik, membawanya kepada suatu tempat. Ia pastikan lagi. Wajah itu seperti bisa menggetarkan hatinya. Wajah yang bagai dirindui oleh banyak orang, tetapi entah siapa. Lalu, pelan-pelan, ingatannya bagai memulih.

Ia lalu mengingat kata yang pernah diucapkan Axel waktu itu, “Setiap orang selalu dipanggil pulang, entah dengan alasan atau tanpa alasan, bahwa Sang Pemilik Kehidupan sering kali pelik dengan kehidupan seseorang.”

Sekarang, ia mulai sadar dan mengerti kalimat itu. Tuhan menuntun langkah kakinya untuk keluar dari tanah yang penuh dengan berkat dan makanan, hanya untuk memahami betapa ada yang membutuhkan uluran tangannya. Namun, oleh tangan yang tak kasatmata, ada yang menggerakkan kakinya untuk kembali ke muasalnya. Ia tahu, pada saatnya ia akan kembali ke tempat semula. Tuhan mempermainkannya. Memikirkan ini kebencian bagai kembali bergolak.

Aziel pergi karena ada yang menuntun, tetapi ada yang memanggilnya kembali. Barangkali itu adalah suara iblis atau bisa jadi suara Tuhan.

“Aku akan menjadi pemenang dan mengalahlah Tuhan, sebab dunia ini telah kugenggam dengan kesombongan yang pernah Kauberikan kepada Lilith.”

Langit hanya bergeming dan tidak lama setelah itu angin dari selatan berembus. Sebuah tanda lain datang dari arah timur. Teringatlah Aziel dengan pesan yang pernah disampaikan Axel. Apabila ada tanda yang datang dari timur, segeralah songsong, sebab Ia yang penuh kemuliaan, telah meninggalkan singgasana-Nya. Tuhan selalu datang dari arah timur.

Maka, saat itu juga Aziel melangkahkan kakinya ke arah timur. Ia pun menyadari satu hal lain bahwa keberangkatannya ke sana menggenapi nas yang bertuliskan tentang Adam dan Hawa, yang diusir keluar dari Eden dan berjalan ke arah timur dan tinggal di sana hingga delapan belas tahun lamanya.

Dalam hati Aziel berharap ia dibiarkan di sana hingga rentang waktu yang ditentukan sebagaimana Hawa mengandung, melahirkan, dan membesarkan Diafotos dan Amilabes. Boleh jadi darahnya ditumpahkan sebagaimana Habel. Ia menjadi percaya bahwa kemungkinan-kemungkinan yang tertulis akan ia genapi.[*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Di Bukit, Kupu-Kupu Kuning Terbang
Lelaki yang Membatukkan Bunga


1 thought on “Sang Pemburu Tuhan”

  1. Charol Maubere berkata:

    sebuah karya yg luar biasa

Komentar Anda?