Menu
Menu

Menemukan Beberapa Pertanyaan di Pantai; Wisata Pantai Loang Baloq; Yang Bertahan di Pantai Pura Segara, Ampenan; Sebentang Pantai Menampung Bertahun-tahun Masa Lalu; Perahu yang Tak Ingin Berlalu dari Hari Minggu Anakku; Kembali ke Ayunan Itu; Tarum.


Oleh: Tjak S. Parlan |

Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Buku kumpulan puisinya Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021), masuk dalam 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Saat ini mukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.


Menemukan Beberapa Pertanyaan di Pantai

Apa yang lebih pasang dari debar dadamu?
Hasrat melaut tak surut-surut,
hasrat yang tak hendak turut pada maut.

Apa yang lebih gelombang dari kelam rambutmu?
Bagi malam-malam sebentuk biduk
yang mimpinya teluk selepas amuk.

Apa yang lebih mabuk dari amuk badai?
Barangkali cinta di masa pancaroba,
barangkali ia yang tak menemukan

dermaganya.

Ampenan, 16 November 2022

. Menemukan Beberapa Pertanyaan di Pantai

Wisata Pantai Loang Baloq

Kami tak singgah di kompleks pemakaman tua:
tak berdoa di pusara Sang Maulana penyebar agama,
tak bertafakur di kubur Anak Yatim dan Datuk Laut si pencari
ikan, tak juga menabur bunga ke lubang beringin tua
Loang Baloq—tempat bersemayamnya buaya purba,
tempat dihidupkannya keramat dan cerita-cerita.

Kami tak datang untuk saur sesangi:
tak ada kaul yang kabul, tak ada apa-apa yang mesti
kami ikat pada akar-akar gantung pohon pengharapan.

Kami melipir ke bibir pantai, melewati sebuah taman

yang baru saja dibangun menghadap ke laut. Di plaza
pengunjung, sebuah panggung menghadirkan pesenam zumba:
mereka ibu-ibu muda yang senang berkeringat dan kerap

mengingatkan pada sebuah semboyan tentang kesehatan.

Melewati plaza, lapak-lapak pedagang mengantre diisi,
seperti sore yang bosan menunggu kabar baik:
kunjungan-kunjungan di musim paceklik.

Tapi kami tak ingin terlalu ramai. Sore cukup dengan angin
pantai, sesapan kopi instan, kudapan sedikit berminyak
—jeda sejenak di antara debur-julur ombak.

Maka hingga matahari mencium paras lautan,
kami tetap bertahan. Di bibir pantai yang rentan
spot-spot cantik kembali terusik kabar buruk dari muara:

parade sampah plastik, sampah kota sehari-hari
yang terbawa arus Kali Unus.

Ampenan, 20 November 2022

.

Yang Bertahan di Pantai Pura Segara, Ampenan

Ia kembali bertandang ke pantai itu,
meski purnama kedasa masih lama
dan pujawali belum saatnya.

Tapi ia percaya akan menemukan hari baik.
Seperti ketika bentang pantai masih lengang,
seperti sebelum gelombang senang mengusir
orang-orang dari pesisir,

seperti dulu sebelum amuk segara
kerap menghantam dinding pura.

Ia ingin merasakan angin beraroma garam dan
bau tajam ikan-ikan pindang di perkampungan nelayan.
Ia rindu wangi dupa, suara-suara, juga aura
ambang malam ketika melintas di sana:

orang-orang yang berdoa pada upacara piodalan
di pelataran Pura Segara, Ampenan.

Tapi ia tak menemukan hari baik. Petang itu
gelombang pasang, langit lembab dan dingin besi baja.
Sejengkal dari tembok pura yang retak, seekor
anjing kampung yang murung dan kelaparan,

lalu sampan-sampan—sisa-sisa yang bertahan
dari ancaman siklus zaman.

Ampenan, 21 November 2022

.

Sebentang Pantai Menampung
Bertahun-tahun Masa Lalu

Di sini sebentang pantai menampung
bertahun-tahun masa lalu:
pakansi-pakansi kecil di hari Minggu,
hari-hari libur kaum pelesir kota,
kunjungan hari raya ketiga
para tetangga desa.

Di sini pagar karang kemerahan
serupa korosi pada besi,
pantang lekang oleh hantaman
pasang Samudra Hindia.
Di sini mereka-reka, membaca
tanda yang sudah tak ada:

pernah suatu masa di antara
tatapan bengis mandor romusha, para
pekerja paksa menanam tonggak-tonggak
kayu—tiang pancang untu walang,
benteng pertahanan di mulut teluk
sekokoh dan setegar pagar besi.

Maka terujarlah nama itu:
Rajegwesi! Rajegwesi!

Di sini sebidang pantai
dengan pelelangan ikan yang ramai
di Minggu pagi, ikan-ikan pelagis segar
berpindah ke tangan para penawar;
perahu-perahu warna biru menepi
di hamparan pasir kecokelatan sebelum

kembali berlayar, sebelum ikan-ikan
bermigrasi ke tempat yang terlalu jauh
dari lemparan sauh.

Di sini sebuah bukit karang
masih kerap disambangi
dan doa-doa melambung
dari petilasan Mbah Agung
—ia yang diagungkan dalam
pengasingan di Banyuwangi selatan.

Lalu mulut goa yang menganga itu,
nyaris tak meninggalkan apa-apa
selain lorong panjang menuju masa
suram pendudukan Jepang.

Dan di sini gerbang hutan Meru Betiri
selalu terbuka: menuju jalan yang lain, barangkali
kenangan lain yang lebih sunyi dan tak pernah ada
dalam buku-buku panduan wisata,
yang kerap bersembunyi
dan tak pernah ditemukan

dalam catatan-catatan
kawasan konservasi.

Ampenan, 30 November 2022

.

Perahu yang Tak Ingin Berlalu
dari Hari Minggu Anakku

Selembar layar
mengembang dari tangan anakku.
Lalu sebuah perahu menjulang
di antara lengkung—garis-garis
gelombang semenanjung.

Perahu itu muncul berulang-ulang:
timbul-tenggelam, timbul-tenggelam
saban pagi hingga siang,
saban petang,
saban akhir pekan

di halaman-halaman baru
buku gambar anakku.

Sebuah perahu layar
terperangkap dalam buku gambar.
Perahu yang lekas gusar oleh awan
yang merendah ke kibar layar,
perahu yang tak ingin berlalu

dari hari Minggu anakku.

Ampenan, 30 November 2022

.

Kembali ke Ayunan Itu

Angin yang tak bisa mengirimkan kantuk
ke tubuhmu tetap semilir di hari Minggu,

di antara perahu-perahu sedang mengaso
di bibir pesisir Bintaro
di antara desau daun-daun waru pantai
yang menyapihmu dari ingatan tentang badai,

dan dari cabang pohon itu seutas tali terulur
seperti tangan ibu merengkuhmu
ke dalam buaian, mengayun pelan ke seberang
hari yang lebih lengang—lengang panjang

jauh sebelum surup menyusup ke ubun-ubun
orang-orang dewasa dan melapangkan jalan
menuju kecemasan-kecemasan berikutnya:
ramalan cuaca, peringatan bencana.

Angin yang tak bisa mengirimkan kantuk
ke tubuhmu tetap semilir di hari Minggu,
seperti teman kecil memangil-manggilmu

kembali ke ayunan itu.

Ampenan, 16 Januari 2023

. Menemukan Beberapa Pertanyaan di Pantai

Tarum

Seorang penenun yang tak mau kehilangan warna
telah membawanya dari pesisir Kuta.
Maka hiduplah ia sebagai indigofera,
perdu rimbun di pinggir kanal dusun
Bun Mudrak—tempat yang terbangun
dari jalinan tekun benang-benang tenun.

Sebelum pucuk-pucuk mudanya
dimamah lembu, penenun itu
menyelamatkannya terlebih dulu. Tenang
menunggu hingga daun-daun berusia matang
dan direndamnya ke dalam ceruk basah
tempat ditemukannya warna biru:

biru indigo
yang mengingatkan seorang rantau
pada bentang laut yang memisahkannya
dari pulau-pulau.

Dan kelak
ketika warna-warna telah dikekalkan
telah dipadatkan pada serat-serat benang,
akan ada yang berdetak di dada setiap orang
akan ada yang selalu tergiang:

sesekali bunyi hentak berire
sebelum sunyi—jeda yang panjang
memanggil-manggil para dedare pulang
ke kampung halaman.

Ampenan, 17 Januari 2023


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Widya Mareta – Kamar Pengantin
Puisi-Puisi Adhimas Prasetyo – Kalau Dunia Berakhir


Komentar Anda?