Menu
Menu

Cerpen Pilihan Kompas 2021 terasa berbeda dari edisi-edisi sebelumnya—yang sudah pernah dibahas di Bincang Buku Petra.


Oleh: Maria Pankratia |

Anggota Klub Buku Petra, Ruteng.


Mendiskusikan buku sembari bermain adalah tema khusus Bincang Buku Petra ke-48 yang digelar pada hari Sabtu, 17 Desember 2022. 22 peserta hadir malam itu, duduk melingkar di Perpustakaan Klub Buku Petra membahas buku Keluarga Kudus: Cerpen Pilihan Kompas 2021. Ada Marto Rian Lesit yang bertindak sebagai pemantik, Lolik Apung yang memandu acara malam itu, Ronald Susilo, Armin Bell, Marcelus Ungkang, Febry Djenadut, Retha Janu, Nadya Tanja, Romo Beben Gaguk, Grace Katarina, Beato Lanjong, Arsy Juwandi, Yuan Jonta, Yani, serta kawan-kawan dari UKM Literasi Sastra Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng: Berno Beding selaku Pembina UKM, Armando sebagai Ketua UKM, juga lima anggotanya, Lensi, Nia, Iwan, Naldy, dan Yudi. Saya sendiri hadir dan mendapat tugas merangkum diskusi malam itu.

Selain merayakan buku seperti biasa, pertemuan terakhir Klub Buku Petra di tahun 2022 kali ini dikemas berbeda oleh Marto dan Retha, dua anggota bincang buku yang menawarkan diri menyiapkan acara. Sebelum acara dimulai, peserta diminta mendeskripsikan dirinya pada sepotong kertas yang berisi: ciri-ciri fisik, pengalaman baik dan kurang baik yang dialami sepanjang tahun 2022, serta kesan dan harapannya untuk Klub Buku Petra di tahun mendatang. Potongan kertas ini kemudian dipilih secara acak oleh para peserta, dibacakan sebelum tiba gilirannya menyampaikan hasil pembacaan terhadap Keluarga Kudus: Cerpen Pilihan Kompas 2021 (selanjutnya: Cerpen Pilihan Kompas 2021).

Ada 23 cerita pendek yang dipilih oleh Dewan Juri kali ini: “Akar Bahar Tiga Warna” karya Lina PW, “Aku Ngenteni Tekamu” karya Martin Aleida, “Kota Ini adalah Sumur” karya Mashdar Zainal, “Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling” karya Zaidinoor, “Cakar Dubuk Tutul” karya Naning Scheid, “Keluarga Kudus” karya Sunlie Thomas Alexander, “Redian dan Kulkas Barunya” karya Teguh Affandi, “Lelaki yang Menabur Rempah” karya Ramayda Akmal, “Tato, Ciuman, dan Sebuah Nama” karya Yetti A KA, “Rahasia Bubur Pedas” karya T Agus Khaidir, “Masakan Ibu dan Bumbu-Bumbu di Halaman Rumah” karya Rizqi Turama, “Di Bawah Pohon Kersen” karya Atta Verin, “Batu di Pinggang Mak Ru” karya Damhuri Muhammad, “Kematian Seorang Pelukis” karya Budi Darma, “Sihir Keluarga” karya Risda Nur Widia, “Toya” karya Mahwi Air Tawar, “Hanz Matthaeus dari Magelang” karya AM Lilik Agung, “Toko Wong” karya Raudal Tanjung Banua, “Metamorfosa Rosa” karya Aliurridha, “Pangus Ukulele” karya Gde Aryantha Soethama, “Ulang Tahun” karya Novka Kuaranita, dan “Kabar di Malam Natal” karya Silvester Petara Hurit.

Secara keseluruhan para peserta mendapat kesan menarik dari Cerpen Pilihan Kompas 2021 yang terasa berbeda dari edisi-edisi sebelumnya—yang sudah pernah dibahas di Bincang Buku Petra.

Lolik yang memandu diskusi, memulai dengan sedikit pengantar. Menurutnya, Cerpen Pilihan Kompas kali ini, sebagaimana buku-buku sebelumnya selalu mengusung tema besar; sosial politik, sejarah, agama, representasi, dan hal-hal lainnya. Hal ini bisa dilihat dari pertanggungjawaban Dewan Juri, misalnya representasi lokal dari cerpen Martin Aleida, Sil Hurit, Sunlie, dan cerpen-cerpen lainnya.

“Sepertinya Dewan Juri sengaja memilih kisah-kisah Indonesia Raya dan seluruh dunia melalui cerpen-cerpen lain yang latar ceritanya mewakili beberapa tempat di dunia yang juga bisa kita temukan pada cerpen Ramayda Akmal, AM Lilik Agung, dan Naning Scheid. Representasi adalah nilai yang luhur agar ada perwakilan bagi situasi, tempat, atau topik tertentu. Namun kerap kali sensor yang dipakai dengan cara ini terkesan menggeneralisir dan bergantung pada siapa yang menulis, lokasi mana yang ditampilkan, sebagaimana kritik-kritik yang sering disampaikan pada karya representasi,” ungkap Lolik.

Selanjutnya, Marto yang bertugas memantik diskusi menyampaikan bahwa sebagaimana judul yang dipilih Cerpen Pilihan Kompas kali ini “Keluarga Kudus”, cerpen-cerpen yang ada di Cerpen Pilihan Kompas 2021 masih banyak mengangkat tema-tema domestik; kisah-kisah tentang keluarga, relasi dengan ibu, teman, relasi dengan diri sendiri melalui beragam perspektif, juga tantangan, peluang-peluang yang diupayakan, dan krisis yang dihadapi secara personal. “Cerpen-cerpennya begitu dekat dengan keseharian kita; rumah, kampung, merantau meninggalkan kampung halaman lalu pulang,” kata Marto.

Retha yang mendapatkan kesempatan kedua, melihat ragam kisah di Cerpen Pilihan Kompas kali ini justru merefleksikan pengalaman hidupnya sepanjang tahun 2022. Menurut Retha, Sebagian besar cerpen di buku ini berbicara tentang relasi personal antara kita dengan orang lain.

“Seberapa banyak saya mengalami kehilangan teman dan seberapa banyak teman-teman baru yang akhirnya masuk ke dalam hidup saya selama tahun 2022, di saat bersamaan membantu saya untuk melepaskan orang-orang yang memang tidak bisa bersama saya untuk seterusnya. Di antara kehilangan itu, kisah-kisah di dalam buku ini juga menawarkan kepada saya bahwa masih ada harapan untuk hidup yang lebih baik,” terang Retha.

Cerpen-Cerpen yang Paling Menarik Perhatian

Baik Marto maupun Retha, memilih tiga cerpen yang sama yang menjadi favorit mereka. Cerpen pertama adalah “Ulang Tahun”. Menurut Marto, cerpen ini menarik karena menggunakan perspektif seorang anak untuk mereflesikan keluarga dan peristiwa kematian kakaknya. Penulis sedemikian rupa membahasakannya dari sudut pandang anak-anak yang polos, dengan analogi roket, yang menggambarkan hidup sekaligus hubungannya dengan kakaknya. Menjelaskan kondisi keluarga, ibu, dan rumahnya setelah kakaknya tiada, membuatnya cukup tersentak. Kisah hari kematian sang kakak bertepatan dengan hari ulang tahun sang adik, mengingatkannya pada pengalaman personal; hari kematian bapaknya yang bertepatan dengan ulang tahun adik bungsunya. Sementara bagi Retha, “Ulang Tahun” mengingatkannya pada adik bungsunya yang telah meninggal dunia bertahun-tahun lalu. Ada rasa kehilangan sekaligus rasa bersalah ketika melupakan begitu saja kesedihan yang telah ia abaikan sejak lama karena kesibukan sehari-hari.

Yuan membutuhkan waktu dua hari untuk menyelesaikan seluruh cerpen di dalam buku ini. Satu hari khusus dihabiskan untuk membaca cerpen “Ulang Tahun”. Bagi Yuan, cerpen ini secara emosional sangat berkesan. Walaupun pesan-pesan disampaikan melalui perspektif seorang anak, sebagai orang tua, Yuan bisa ikut merasakan kesedihan yang digambarkan di dalam cerpen. Sedangkan bagi Grace, cerpen ini mau tidak mau mengingatkannya pada kehilangan hewan-hewan peliharaannya. Kehilangan bukan hanya tentang manusia tetapi juga apa saja yang begitu dekat dengan kita. Hal senada disampaikan juga oleh Berno, Iwan, Arsy, dan Lolik. Menurut Lolik, cerpen Novka Kuaranita ini menjadi semakin menarik karena penulis menggunakan narator orang kedua tunggal (kau) sehingga pembaca seolah-olah ikut menjadi salah satu tokoh di dalam cerpen tersebut.

“Redian dan Kulkas Barunya” menjadi cerpen kedua yang mendapat cukup banyak perhatian peserta Bincang Buku Petra malam itu. Bagi Marto, Kulkas dan Kucing di dalam cerita ini menjadi kunci utama yang menghantar pembaca pada dua tokoh yang karakternya saling bertolak belakang. Akan tetapi, justru karena perbedaan tersebut, cinta dapat terbangun di antara mereka. Cinta yang tidak terbahasakan dengan kata-kata melainkan kilasan kenangan demi kenangan. Bagian menarik lainnya dari cerpen ini, di akhir cerita, penulis sengaja memberi ruang kepada pembaca untuk menginterpretasikan kejadian selanjutnya melalui pertanyaan: kenapa belum menikah? Sejalan yang disampaikan oleh Marto, menurut Berno Beding tokoh-tokoh di dalam cerpen ini memiliki karakter yang kuat sebagaimana Kulkas itu sendiri. Saya sendiri mendapat kesan bahwa cerpen Teguh Afandi ini secara tidak langsung menjalankan fungsinya sebagai karya sastra yang merefleksikan realitas kehidupan; pergolakan hati dan pikiran manusia yang terus menerus dialami manusia di tengah ketakpastian hidup.

Cerpen berikutnya yang juga menarik minat para peserta adalah “Kabar di Malam Natal”. Bagi Nadya, cerpen Silvester Hurit ini ‘bikin turun naik emosi’ dan diakhiri dengan sebuah kalimat yang bikin hati patah. Kesetiaan dan kesabaran Ama Ola ternyata tidak berbuah manis. Sedih sekali membayangkan nasib Ama Ola. Sementara Berno Beding melihat, justru cobaan-cobaan yang datang dari sekitar lingkungannya yang memperkuat cinta Ama Ola kepada Ina Boleng, meskipun pada akhirnya Ama Ola harus menerima pengkhianatan. Arsy Juwandi ikut membayangkan kesedihan Ama Ola dengan menambah latar suasana malam Natal di Ruteng yang selalu diiringi bunyi hujan dan lagu “Malam Kudus”, membikin hati makin perih ketika mendapat kabar buruk dari orang yang dicintai. Bagi saya, Ama Ola adalah gambaran sebaik-baiknya laki-laki Flores yang teguh dan setia pada pasangannya meskipun selalu dihantam badai dalam rumah tangga. Tanggapan lain datang dari Romo Beben Gaguk yang adalah seorang Imam Katolik.

“Sepertinya penulis kurang riset atau lupa bahwa tidak akan ada pastor/imam yang akan mengeluarkan pernyataan seperti yang ada di cerpen: terkutuklah tanah itu! Karena Gereja Katolik memiliki kepercayaan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah sehingga tanah benar-benar harus dimuliakan. Allah justru meminta manusia untuk menjaga dan mengelolanya. Kita kadang lupa memaknai konsep “Tanah Terjanji”, tanah harus dicintai. Ketika kita memiliki orientasi tanah terjanji maka kita memiliki nilai untuk memaknainya dalam pergulatan-pergulatan kita sebagai harapan. Surga ada karena ada Golgota. Tidak ada sukacita tanpa dukacita. Karena kubur di Golgota adalah Rahim yang melahirkan spirit kehidupan,” tegas Romo Beben.

“Batu di Pinggang Mak Ruh” adalah cerpen keempat yang diminati para peserta. Febry yang memilih cerpen ini sebagai salah satu cerpen favoritnya menuturkan, “Saya seperti diingatkan bahwa bahagia itu sebenarnya sederhana saja dan tidak perlu dipaksakan. Seperti Mak Ruh yang tidak memaksa semua orang harus menyukai jahitannya atau memaksa suaminya untuk kembali padanya setelah memberi janji manis akan menjemput Mak Ruh setelah urusannya beres di tempat tinggal yang baru. Peristiwa lainnya yang membuat saya terharu adalah ketika Mak Ruh menyaksikan di televisi, Jun yang telah menjadi profesor mengenakan celana masih dengan pola yang sama seperti jahitan yang pernah Mak Ruh kerjakan. Mak Ruh begitu bangga dan bahagia meskipun Jun mungkin sudah lama melupakannya.”

Bagi Nadya, lapak jahitan Mak Ruh seperti stasiun kereta api; tempat orang-orang datang dan pergi. Ada yang pergi lalu kembali, ada juga yang berlalu begitu saja, tanpa pernah kembali. Sementara Yuan, mengomentari cara Damhuri Muhammad menuturkan cerita ini yang seperti menyulam peristiwa demi peristiwa sebagaimana jahitan Mak Ruh. Senada dengan yang disampaikan Febry, Arsy kemudian membagikan ceritanya tentang Om Rius, salah satu pekerja veteran di Seminari Pius XII Kisol, tempat ia bekerja sekarang. Om Rius mengenal banyak pastor dan romo, juga alumni-alumni Kisol yang dulu bersekolah dan berasrama di sana. Setiap ada kesempatan, ia akan bernostalgia tentang para seminaris yang dulu ia bantu jahitkan sepatu bolanya atau perbaiki barang-barang mereka yang rusak. Meskipun telah dilupakan, baik Mak Ruh maupun Om Rius tetap memiliki tempat bagi mereka yang pernah singgah dan mengenang semuanya dengan setia.

Kisah Makanan dalam Cerpen Pilihan Kompas 2021

Pada kesempatan menyampaikan hasil pembacaannya, Lolik mengungkapkan kesan lain terhadap Cerpen Pilihan Kompas 2021.

“Dewan Juri kali ini sepertinya memiliki kesukaan tersendiri pada makanan sebab banyak sekali cerpen-cerpen bertema makanan. Salah satunya adalah “Lelaki yang Menabur Rempah”. Selain berlatar di luar Indonesia, cerpen ini juga menggunakan analogi dan diksi yang menarik sehingga kisahnya mengalir. Salah satu kalimat yang sulit dilupakan adalah, kekecewaan seperti udara yang harus dihirup tanpa pilihan,” ungkap Lolik.

Bagi Yuan, selain mengangkat makanan dan rempah sebagai bagian menarik dari cerita, cerpen karya Ramadya Akmal ini memiliki tema yang unik dan premis yang langka sebab ceritanya digerakkan oleh isu diskriminasi dan rasisme yang dialami tokoh yang barangkali tidak pernah mengalami hal semacam ini.

“Kita sering menganggap ras barat adalah ras unggul, akan tetapi dalam cerita ini, penulis menempatkan tokoh utamanya yang kita pikir selalu unggul (orang Jerman) sebagai yang terdiskriminasi. Bagi saya menarik, karena ia membalikkan keadaan yang selama ini selalu kita alami, khususnya orang-orang Asia (Indonesia). Kita juga selalu menemukan bahwa sastra selalu berpihak kepada orang-orang yang kalah, akan tetapi di sini, orang yang kita kira adalah bangsa-bangsa superior ternyata tidak jarang mengalami pula hal yang sering kita alami. Kita selalu terjebak dalam stereotipe yang dibentuk oleh bangsa lain. Bisa kita lihat pada kalimat ini, kalau ras lain yang melakukannya maka akan dianggap emansipatif, sementara kalau bangsa barat yang melakukannya akan dianggap arogan atau berlebihan. Entah karena lingkungan atau kebiasaan tetapi akhirnya ada justifikasi oleh gerakan-gerakan tertentu. Secara ideal, menilai seseorang berdasarkan sesuatu yang general (asal daerah misalnya), itu tidak adil, tetapi kita juga harus lebih sering merefleksi diri sendiri, barangkali ada pola, kebiasaan, atau perilaku kita yang memang tidak berterima di lingkungan masyarakat tertentu sehingga kita didiskriminasi,” jelas Yuan.

Cerpen lainnya yang juga dikomentari Yuan adalah “Sihir Keluarga” yang juga dipilih oleh beberapa peserta lain. Menurut Yuan, cerpen Risda Nur Widia ini menggambarkan bagaimana keterampilan memasak itu berkembang dalam keluarga. Resep itu sebenarnya tidak terlalu penting karena bisa didapatkan di buku mana pun apalagi zaman sekarang ada internet. Bagian paling penting adalah memahami dengan baik cara memasak. Di cerpen ini digambarkan bagaimana kita harus memperlakukan bahan makanan, memahami prosesnya tahap demi tahap, kapan harus menyalakan kompor, sebesar apa nyala apinya, kapan wajan mesti dinaikkan, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itulah yang harus dilatih. Kebiasaan-kebiasaan ini begitu dekat dengan kita, tetapi lebih sering kita mengabaikannya.

Nadya adalah salah satu peserta yang menyukai dua cerpen bertemakan makanan; “Rahasia Bubur Pedas” dan “Masakan Ibu dan Bumbu-Bumbu di Halaman Rumah”. Nadya menyukai cara T Agus Khaidir dalam menggambarkan ingatan tokoh akan bubur pedas Mak Lina yang luar biasa gurih. Ada emosi yang meluap-luap sekaligus kenangan yang tertahan saat ia menyantap bubur bikinan sang ibu yang rasanya berbeda dengan bubur pedas Mak Lina. Suasana ini secara tersirat juga menjelaskan soal-soal yang dihadapi keluarganya di masa lalu hingga akhirnya berseberangan dengan keluarga Mak Lina, permasalahan yang akhirnya tidak berakhir dengan baik karena beragam alasan dan pertimbangan. Sementara cerpen “Masakan Ibu dan Bumbu-Bumbu di Halaman” karya Rizqi Turama, menurut Nadya, memberi perasaan hangat yang berbeda ketika di akhir cerita sang ibu dan sang menantu membuang egonya masing-masing dengan tindakan mereka tanpa harus mengungkapkannya. Mereka akhirnya merelakan kebiasaan masing-masing, sang ibu lebih suka menggunakan bumbu dan bahan organik, sementara sang menantu lebih merasa praktis dengan bumbu instan. Pada akhirnya, kehadiran cucu pertama membuat mereka dapat menerima satu sama lain.

Menelaah Cerpen “Keluarga Kudus”

“Keluarga Kudus” yang juga menjadi judul dari Cerpen Pilihan Kompas 2021 memang tidak dipilih menjadi cerpen favorit oleh para peserta. Akan tetapi, cerpen ini paling banyak disoroti.

Bagi Armando, “Keluarga Kudus” menggambarkan realitas kehidupan manusia. Ia juga menyayangkan karena penulis langsung mengidentikkan perempuan dengan ular betina di awal cerita. Seolah-olah perempuan adalah maklhuk penggoda yang juga selalu dipandang lemah.

Tanggapan berikutnya datang dari Grace. ”Pada bagian awal penulis cerpen ini tidak menjelaskan secara detail bagaimana kriteria menjadi keluarga kudus, kita langsung disodorkan tentang situasi keluarga Mama Marta dan keluarga lainnya yang lalai membayar uang pembangunan sehingga dianggap tidak layak dikategorikan sebagai keluarga kudus. Penulis juga tidak menerangkan dengan jelas, jangka waktu dari pembayaran iuran gereja sehingga ketika membaca cerpen ini saya seperti membaca gosip saja,” ungkap Grace. Hal yang sama diungkapkan oleh Arsy Juwandi. Menurut Arsy, gaya bercerita penulis cerpen terlampau melebih-lebihkan peristiwa sehingga terkesan penulis sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang ia tuliskan; penulis melihat katolik dan timur hanya dari jauh.

Komentar Arsy ini kemudian ditimpali oleh Armin Bell dan Romo Beben yang juga terlibat aktif dalam kepengurusan Gereja Katolik di Ruteng. Malam itu, cerpen “Keluarga Kudus” menjadi pintu masuk untuk menjelaskan konteks Gereja Katolik di Indonesia (Asia) saat ini, sekaligus melihat lebih terang bagaimana sepatutnya paroki, sebagai salah satu ruang lingkup Gereja Katolik di mana pun di dunia ini dalam mengatur manajemen keuangannya. Armin menyoroti kurangnya informasi penulis cerpen ini tentang metode pengelolaan keuangan gereja yang menyebabkan kisah ini seperti potret jauh dengan justifikasi sepihak—sesuatu yang agak berisiko dalam membangun cerita dengan tema-tema sespesifik ini. Sementara itu, Romo Beben yang akhirnya bisa bergabung kembali setelah hampir setahun tidak terlibat karena diterpa beragam kesibukan, menanggapi cerpen ini dari konteks manajemen keuangan pastoral gereja dan tugas seorang pastor paroki.

“Praktisnya untuk pengeluaran gereja, itu masuk dalam kategori pengeluaran harta benda, baik bergerak maupun tidak bergerak. Dalam Dewan Keuangan Paroki, jika kondisi paroki sedang membangun gereja maka ada yang namanya Seksi (Divisi) Pembangunan. Divisi ini yang menentukan anggaran pembangunan dan mengatur lalu lintas uang masuk dan keluar ke tiap-tiap lingkungan dan KBG (umat), bukan pastor paroki (seperti Romo Linus dalam cerpen ini). Terlalu nekat Romo Linus menentukan aturannya sendiri. Sistem penarikan iuran pembangunan ini ditetapkan bersama-sama oleh pastor paroki dan pengurus dewan lalu diumumkan di gereja, yang kemudian menjadi tanggung jawab para pengurus dari masing-masing lingkungan dan KBG untuk memastikan semua umat menyetor iurannya. Biasanya, yang masuk dalam golongan janda, itu dibebaskan/diringankan besaran iurannya. Lalu terkait kolekte atau derma, itu sesuatu yang bersifat sukarela. Uang kolekte/derma yang masuk akan dihitung dan disepakati penggunaannya untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan gereja dan sebagainya. Di Eropa, bahkan ditetapkan Pajak Gereja (dipotong langsung 1% dari gaji umat yang terdaftar sebagai penganut Katolik). Sebenarnya tidak besar, tetapi di Eropa ada banyak jenis pajak yang ditetapkan Negara sehingga mau-tidak mau orang menentukan prioritasnya. Tidak heran jika banyak umat Katolik di Eropa yang memilih meninggalkan gereja,” ungkap Romo Beben.

Romo Beben melanjutkan, “Hal berikutnya yang cukup mengganggu dari cerpen ini adalah manajemen partisipasi pastoral. Saya bingung dengan tokoh Romo Linus. Beliau sendiri tanpa Kapelan (pastor rekan) sibuk menyiapkan Natal, dari memberi Sakramen Pengakuan sampai melarang orang yang belum bayar iuran pembangunan untuk mengikuti kegiatan gereja. Sesuatu yang sangat asing dan di luar kebiasaan Gereja Katolik, seorang pastor paroki memikirkan hal hingga sekecil itu sebab aturannya sudah ada petugas masing-masing yang mengurusnya. Selain itu, agak kontradiktif yah, bagaimana keluarga Bapa Yoseph yang tekun dan karismatik tidak membayar iuran. Berangkat dari pengalaman, bisanya umat-umat seperti Bapa Yoseph ini yang justru taat terhadap aturan gereja. Jadi, secara penggambaran tokoh dan cerita, penulis tidak konsisten,” jelas Romo Beben

“Yang terakhir, menanggapi isu gender. Di bincang buku sebelumnya yang kita pernah bahas novela Surat-Surat Habel dan Veronika karya Ajen Angelina, mengapa perempuan selalu menjadi penyebab kejatuhan seorang Imam? Mengapa bukan laki-laki (imamnya itu sendiri)? Penting sekali adanya voice of public. Melihat sebuah situasi secara objektif, siapa berbuat apa sehingga dia mendapatkan reward atau sebaliknya punishment,” demikian Romo Beben mengakhiri tanggapannya atas cerpen Sunlie Thomas Alexander ini.

Cerpen-Cerpen Lainnya

Komposisi Cerpen Pilihan Kompas 2021 tampak mengalami perubahan yang signifikan dari edisi-edisi sebelumnya. Memang, cerpen-cerpennya disusun berdasarkan jadwal penayangannya dari Januari hingga Desember 2021 di Surat Kabar Kompas, akan tetapi pihak redaksi entah dengan sengaja atau tidak sadar telah mengatur ritmenya dengan sangat baik sehingga meskipun cerpen pertama hingga keempat rasanya biasa-biasa saja, pembaca kemudian mulai tertarik di cerpen kelima, lalu dengan sendirinya betah dan bertahan menyelesaikan keseluruhan buku hingga tiba di cerpen terakhir.

Selain cerpen-cerpen yang telah dibahas di atas, beberapa cerpen lain juga memberikan kesan tersendiri bagi masing-masing pembaca. Ada “Cakar Dubuk Tutul” yang menjadi titik balik bagi pembaca untuk melahap isi buku ini hingga selesai. Tentang cerpen Naning Scheid ini, Febry juga ikut berkomentar.

Menurutnya, ini bukan cerpen biasa. Ia senang dengan kepedulian sang dokter terhadap pasiennya yang mengalami tindakan pelecehan dan menjadi korban dari tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat. Sang dokter akhirnya melawan dan akibatnya tempat tinggalnya dibakar sebagai bentuk serangan terhadap perlawanannya. Akan tetapi, justru bagian ini yang memuaskan pembaca: Sang dokter akhirnya berhasil mencapai apa yang ia perjuangkan. Sementara itu, Dokter Ronald melihat ini cerpen yang menarik karena seorang penulis perempuan mengisahkan tokoh dokter yang adalah seorang laki-laki.

“Toko Wong” dipilih khusus oleh Marcelus Ungkang dan Arsy Juwandi. Menurut Marcelus, cerpen Raudal Tanjung Banua ini adalah satu-satunya cerpen yang menggunakan lanskap bukan sebagai latar melainkan sarana untuk berkisah. Selain itu, jarang ada cerpen Indonesia yang mengambil tema peristiwa ’65 dan benar-benar mendayagunakan kekuatan lanskap. Bagi Arsy, lanskap cerpen ini mengingatkannya pada Ruteng di masa lalu. Banyak lokasi dan bangunan dengan kisah sejarah di baliknya dan kini ada ada banyak sekali bagian-bagian tersebut yang telah hilang atau tercerabut begitu saja.

“Di Bawah Pohon Kersen” karya Atta Verin menjadi pilihan beberapa peserta yang kemudian bernostalgia dengan masa kecil masing-masing; kehidupan keluarga yang penuh keriangan dan pohon kersen sebagai magnet cerita. Tetapi kemudian kita dikejutkan dengan akhir yang tragis. Tokoh anak kecil menyaksikan ayah dan ibunya dibunuh oleh para perampok rumah mereka dari atas pohon tersebut, pohon tempat ia bermain selama ini. Peristiwa ini membuatnya enggan turun dari atas pohon. “Sang anak seperti melayang antara langit dan bumi sehingga tidak ingin turun, ia tidak siap menerima kenyataan tragis itu dan memilih melihatnya dari jauh karena tidak ada lagi pengangan lain yang ia punya kecuali pohon kersen itu,” ungkap Marto.

Sementara itu, berkaitan dengan topik kesehatan mental, “Hanz Matthaeus dari Magelang” karya AM Lilik Agung menjadi salah satu cerpen yang menarik perhatian Dokter Ronald Susilo, karena mengangkat isu Orang Dengan Gangguan Jiwa. Demikian pula “Metamorfosa Rosa” karya Aliurridha yang dipilih Grace sebagai salah satu cerpen favoritnya. Dua cerpen ini mengisahkan seorang bapak dan seorang perempuan dengan masa lalu yang kelam hingga akhirnya menderita gangguan jiwa dan ditinggalkan keluarga. Isu kesehatan mental masih menjadi jalan panjang dan pekerjaan rumah untuk kita semua.

Masih tentang isu yang sama, sudut pandang lain datang dari cerpen Pangus Ukulele karya Gde Aryantha Soethama. Cerita yang diawali dengan tokoh yang sakit-sakitan dan seorang diri, membuat Yuan membayangkan akhir yang menyedihkan. Akan tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi di tengah cerita, Gde Aryantha Soethama memperkenalkan model terapi baru untuk orang insomnia melalui musik yang asik. “Plotnya begitu random bagi saya dan tiba-tiba ada banyak sekali tokoh yang muncul. Seketika cerpen ini menjadi begitu riuh dan menyenangkan,” ungkap Yuan.

“Akar Bahar Tiga Warna” karya Lina PW, “Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling” karya Zaidinoor, dan “Toya” karya Mahwi Air Tawar, adalah tiga cerpen yang kurang lebih menggambarkan hal senada dengan cerpen- cerpen yang sudah dibahas sebelumnya. Permasalahan ekonomi dan keluarga hari-hari ini seperti lingkaran setan yang membuat kita terjebak dan sulit keluar. Demi tetap bertahan hidup, kita tidak punya pilihan selain melakukan hal-hal berlawanan dengan keyakinan kita. Menyelam ke dasar lautan demi mendapatkan tanaman penyembuh bagi sang ibu, mencuri dari kebun karet teman sendiri agar tetap bisa makan, atau menjual air bertuah kepada orang-orang supaya tetap menyambung hidup.

Tentang “Tato, Ciuman, dan Sebuah Nama”, Yuan dan Armin memiliki komentar sama; cerpen Yetti A KA ini membuka banyak kemungkinan. Pembaca dibiarkan bertanya-tanya tentang tokoh utama maupun tujuan cerita. Pada mulanya, kita akan menduga bahwa arwah Betsy yang sedang bercerita tetapi kemudian kita mulai berpikir, bisa jadi ada orang lain yang juga memiliki tato dan nama yang sama yang menceritakan kisah ini setelah mengalami peristiwa yang kurang lebih telah dialami Betsy. Tergantung pembaca melihatnya dari sudut pandang yang mana.

“Kota ini Adalah Sumur” karya Mashdar Zainal memberi kesan aneh karena bagian awalnya yang serupa esai akan tetapi hal ini yang justru menarik bagi Armin Bell. Menurutnya, gaya ini justru membuat cerpen itu berbeda dari cerpen-cerpen lain. Sementara itu, Martin Aleida dengan cerpennya “Aku Ngenteni Tekamu” masih bermain seputar topik 65 yang kurang lebih sama dengan cerita-ceritanya yang pernah dimuat di Cerpen Pilihan Kompas sebelumnya. Cerpen “Kematian Seorang Pelukis” karya Budi Darma menjadi cerpen terakhir yang dibahas malam itu. Ceritanya yang berlapis-lapis dan sulit dimengerti membuatnya kurang begitu diminati oleh para pembaca. “Kita perlu konsentrasi lebih untuk menyelesaikan cerpen ini,” tutup Lolik.

Malam itu, pertemuan terakhir Klub Buku Petra di tahun 2022 ditutup dengan tukar kado buku di antara para peserta. Semua bergembira dan mendoakan yang terbaik untuk Bincang Buku Petra di tahun yang baru.(*)


Baca juga:
Buku Harian Keluarga Kiri: Tentang Ingatan Menahun
Liyan dan Ancaman dalam Cerpen Iwan Simatupang


Komentar Anda?