Menu
Menu

Apakah Buku Harian Keluarga Kiri juga merupakan bagian dari upaya berdamai itu?


Oleh: Elvan De Porres |

Lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Menulis esai, cerpen, dan feature pada sejumlah media. Buku kumpulan esainya yang telah terbit berjudul Menggaris dari Pinggir (2017). Elvan kini mengajar di IFTK Ledalero.


Novel Buku Harian Keluarga Kiri yang ditulis Dhianita Kusuma Pertiwi kembali membuka wawasan/refleksi mengenai peristiwa suram yang pernah melanda bangsa ini, yakni tragedi kemanusiaan 1965/1966.

Dengan menggunakan berbagai sudut pandang penceritaan, karya ini menunjukkan kisah yang dialami Bapak Suwadi (kakek penulis) di Malang, Jawa Timur yang dituduh komunis atau terlibat dalam aktivitas PKI-PNI oleh negara, kemudian mengalami pengasingan ke Pulau Buru, daerah yang saat ini tengah mengalami bencana ekologis akibat tambang emas. Bapak Suwadi sebetulnya hanyalah seorang simpatisan Soekarno, pegawai kotapraja, yang dekat dengan petani, nelayan, buruh, dan seniman. Ia sendiri tidak terlibat langsung dengan gerakan komunis.

Dari isi buku ini terlihat adanya kebingungan luar biasa, entah secara fisik ataupun psikologis, yang dialami Pak Suwadi dan istri dan anak-anak, termasuk cucunya sendiri, terkait peristiwa penangkapan-pembuangan tersebut. Bingung di sini bukan dalam pengertian tidak tahu, melainkan perasaaan kehilangan arah yang terjadi secara tiba-tiba di tengah situasi sosial-politik yang mencekam pascatragedi 30 September 1965. Apa-apa yang dianggap komunis adalah malapetaka, makar bagi negara, tidak peduli bagaimanapun peran Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam usaha membawa keluar bangsa ini dari jeratan trisula maut; imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme.

Jika kita baca secara hati-hati, karya ini sebetulnya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan (juga kegelisahan) personal dari masing-masing narator tentang dengan keadaan sosial yang terjadi. Kenapa saya tiba-tiba dibawa begitu saja? Bagaimana keadaan suami saya? Sedang apakah bapak sekarang? Mengapa orang-orang melihat kami dengan pandangan aneh? Kegelisahan personal sehari-hari ini pada sisi tertentu bisa juga membawa pembaca untuk turut bertanya mengenai apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi dengan peristiwa tersebut—dan tentu tidak sekadar mendapatkan narasi “aib” keluarga.

Pada titik ini harus diakui keberanian dan kegigihan Dhianita dalam menuliskan cerita kakek dan keluarganya tersebut. Apalagi penulis sendiri mau tidak mau harus mengolah ketegangan ataupun luka-luka yang dirasakan setiap narator, baik tokoh Pak Wadi, istrinya, maupun anak-anaknya. Terlihat ada kerja pengetahuan lain yang beroperasi di balik penulisan karya ini, setidaknya pemahaman atas kontes sosial-politik, pada masa mengerikan tersebut.

Persoalan kemanusiaan 1965/1966 memang merupakan trauma bangsa, perkara struktural. Saya sendiri tidak tahu apakah kita sudah berdamai dengannya atau belum, di tengah kencangnya propaganda pikiran selama masa kekuasaan Orde Baru. Apalagi propaganda pikiran ini dikerjakan lewat cara yang langsung menyentuh hati dan batin manusia, misalnya dengan aktivitas seni dan kebudayaan. Saya pun teringat, waktu kecil ketika tinggal beberapa tahun di rumah nenek di sebuah kampung di Maumere-Flores, kata “PKI” merupakan sesuatu yang berkonotasi buruk dan jahat. Setiap anak yang berbuat onar atau tidak pergi ke gereja langsung dikatakan PKI. Tentu sebagai anak yang belum mengerti apa-apa dan bertumbuh dalam tradisi Katolik yang kuat, ucapan-ucapan semacam itu lantas mengendap terus-menerus, kemudian berubah menjadi pertanyaan yang mesti terjawab atau mungkin terbuka dengan sendirinya.

Tentang ini, untuk konteks Nusa Tenggara Timur, daerah Maumere atau Kabupaten Sikka merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah korban kekerasan 1965/1966 terbanyak. Salah seorang pastor Katolik, dalam sebuah seminar beberapa tahun lalu di kampus filsafat Ledalero, bahkan menganjurkan pembuatan tugu atau semacam simbol untuk memperingati peristiwa masa lalu ini, walaupun sampai sekarang wacana itu hanya terjaring oleh angin dan debu kota; terbang begitu saja di antara luka dan ingatan-ingatan yang terus menumpuk.

Hal mengejutkan lainnya—sebagai perbandingan atas konteks sosial-politik di Maumere, meski tidak disampaikan secara gamblang dalam “Buku Harian Keluarga Kiri”, ialah keterlibatan organisasi pemuda keagamaan sebagai aktor pengamanan, dalam hal ini Banser di Malang, Jawa Timur. Di Maumere, peran pengawasan dan pengamanan itu juga diambil alih oleh pemuda Katolik atau mereka yang berafiliasi dengan Partai Katolik. Beberapa studi kemudian menjelaskan bahwa kondisi yang terjadi di Maumere saat itu: orang Katolik membantai sesama orang Katolik. Meskipun, secara lebih kritis kita bisa melihat bahwa yang sebenarnya terjadi adalah pertarungan antara para elit sipil Katolik, dan sisanya adalah martir atau “rakyat yang tersalibkan.” Para elit Katolik ini, dengan membawa senjata primordialnya masing-masing, saling bersitegang guna memperebutkan posisi kekuasaaan di kabupaten yang baru terbentuk.

Para martir atau “rakyat yang tersalibkan” itu, misalnya, terlihat dalam wajah penduduk Tuabao, Tana Ai-Maumere, yang mana anggota suku saling jagal tanpa tahu-menahu apa masalah juga persoalan sesungguhnya. Ini persis seperti yang dialami Bapak Suwadi tadi. Ada rasa kehilangan arah yang membuat orang Tuabao harus mengorbankan nyawa sesama saudaranya sendiri. Padahal, ya, tidak ditemukan data ataupun catatan yang secara eksplisit menggambarkan keterlibatan penduduk itu dengan organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) ataupun PKI. Para warga tempatan, termasuk pelaku, hanyalah korban dari tekanan militer dan kekuasaan masa tersebut. Tidak mengherankan, seorang penyair Maumere kala itu, Kajetanus Solapung, merespons situasi demikian dengan menulis sajak berjudul “Darah” pada bulan Maret 1966.

Kemudian, sebagaimana situasi yang dialami keluarga Pak Suwadi di Malang, generasi penerus Tuabao juga mengalami kebingungan luar biasa pascasituasi itu. Apalagi stigma sebagai orang komunis dan kafir, yang turut dilanggengkan misionaris Katolik Eropa, berjalan beriringan dengan penghancuran situs dan ritus budaya setempat. Trauma di Tuabao pun bertahan selama kurang lebih 50 tahun, lantas memunculkan ide rekonsiliasi budaya yang baru saja terselenggara pada tahun 2017 lalu. Ada upaya berdamai dengan masa yang kelam.

Pertanyaan lebih lanjut, apakah Buku Harian Keluarga Kiri juga merupakan bagian dari upaya berdamai itu? Dengan kata lain, teks—dalam hal ini karya sastra—menjadi ruang sosial bagi pemulihan rasa sakit dan trauma. Tentu hanya Dhianita sendiri yang bisa menjawabnya. Bisa juga karya berlatar belakang sejarah ini turut menambah daftar panjang gugatan ataupun pertanyaan kritis mengenai pertanggungjawaban negara dalam peristiwa 1965/1966. Dengan demikian, rekonsiliasi tidak hanya sekadar menjadi urusan personal dan kultural dalam lingkup keluarga dan komunitas-komunitas tertentu, tetapi (mesti) menjadi perkara struktural di tangan negara. Rekonsiliasi juga bukan berarti melupakan, ia merupakan usaha mawas diri, sadar terhadap keterbatasan dan kerentanan, agar kita tidak lagi menjadi korban atau mengorbankan orang lain.

Pada akhirnya buku yang ditulis Dhianita Kusuma Pertiwi ini mungkin hanya akan ikut menumpuk di atas berbagai karya sastra berperspektif korban/penyintas lainnya tentang tragedi G30S 1965/1966, yang kemudian dianggap jadi seremoni percakapan tahunan ketika bulan September tiba. Tetapi ingatan tetaplah ingatan. Dan ingatan kuat tentang masa lalu yang masih terus dibicarakan adalah pertanda bahwa ada yang belum beres dengan bangsa ini.

Sejarah, dalam pengertian objektif, memang tidak pernah berulang, namun sejarah adalah juga subjek-subjek yang hingga hari ini suaranya barangkali masih mengambang di tengah sekian banyak persoalan bangsa. Dibutuhkan lebih banyak penggalian cerita seputar tema tersebut, sebelum kita benar-benar menjadi amnesia atau sebaliknya terkejut bahwa luka bangsa ini ternyata semakin membesar dan terus membesar.(*)

Tulisan ini sebelumnya disampaikan pada salah satu sesi diskusi pada gelaran Flores Writers Festival 2022.


Baca juga:
Kita adalah Tokoh dalam Cerita
Liyan dan Ancaman dalam Cerpen Iwan Simatupang


Komentar Anda?