Menu
Menu

Pada malam musim semi yang memabukkan dan membuatku tidak berdaya ini, aku selalu ingin berkeliaran tanpa tentu arah, berjalan-jalan sampai hari mulai cerah baru kemudian kembali ke tempat tinggalku.


Oleh: Miguel Angelo Jonathan |

Lulus dari Prodi Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2021. Saat ini berjualan buku di Toko Buku Rusa Merah dan bekerja sebagai editor lepas. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia (2020). Belum lama ini menerjemahkan novela Yu Dafu yang berjudul Tenggelam (2022) dan diterbitkan oleh Diomedia.


1

Setelah hidup menyendiri di Shanghai selama setengah tahun, aku terpaksa pindah sebanyak tiga kali karena kehilangan pekerjaan. Awalnya, aku tinggal di sel penjara bebas yang mirip seperti sangkar burung yang tidak pernah terkena sinar matahari di sisi selatan Jalan Kuil Jing’an[1]. Seluruh penghuni sel penjara bebas ini, selain beberapa penjahit yang menakutkan seperti perampok dan pencuri, adalah para penulis tidak terkenal yang malang. Karena keadaan tersebut, pada saat itu aku menyebut tempat itu sebagai Yellow Grub Street[2].

Tinggal di Grub Street ini selama sebulan, biaya sewa mendadak naik. Aku terpaksa membawa beberapa buku usang, memindahkannya ke gudang milik seorang kenalan di dekat pacuan kuda. Kemudian, karena di gudang ini aku terus-menerus mendapatkan berbagai perlakuan yang kurang mengenakkan, mau tidak mau aku kembali pindah. Di tengah Jalan Dent[3] yang terletak di tepi utara Jembatan Waibaidu, dekat perumahan kumuh di seberang Rixinli, aku mememukan sebuah kamar yang sangat kecil dan pindah ke sana.

Deretan rumah di Jalan Dent, diukur dari lantai dasar hingga atap, tingginya hanya satu zhang[4] beberapa chi[5]. Kamar di lantai atas tempat aku tinggal, sangat-sangat pendek dan kecil ukurannya. Jika berdiri di lantai dan mencoba meregangkan tubuh, kedua tangan akan langsung menyentuh langit-langit yang berwarna hitam keabu-abuan.

Berjalan sedikit melewati gerbang rumah dari gang depan, berdiri rumah pemilik bangunan. Di tengah tumpukan kain, kaleng, stoples kaca, botol bekas, dan besi tua, jika berjalan dua langkah ke samping, terdapat sebuah tangga yang disenderkan ke dinding. Tangga ini digunakan untuk masuk ke sebuah lubang gelap selebar dua chi di atas, untuk bisa naik ke atas bangunan.

Lantai hitam pekat yang ada di atas awalnya berukuran sangat kecil. Namun, pemilik bangunan membaginya lagi menjadi dua kamar kecil. Kamar bagian dalam ditempati pekerja wanita dari Perusahaan Rokok N. Kamar yang kusewa adalah kamar kecil yang berada di dekat tangga. Karena penghuni kamar bagian dalam harus keluar masuk melewati kamarku, biaya sewa bulananku lebih murah beberapa jiao[6] daripada penghuni kamar dalam.

Pemilik bangunan adalah seorang lelaki tua bungkuk berusia lima puluhan. Di wajahnya yang kekuning-kuningan, lapisan minyak gelap tampak bersinar. Matanya yang satu besar dan yang satunya lagi kecil, tulang pipinya tinggi, dan kerutan di dahi dan pipinya yang tertutup jelaga, membuat wajahnya terlihat seperti tidak dibasuh setiap paginya.

Setiap hari dia bangun pada pukul delapan atau sembilan pagi, batuk sebentar, lalu mengambil sepasang keranjang bambu dan berangkat pergi. Pada pukul tiga atau empat sore dia biasanya kembali dengan sepasang keranjang kosong. Terkadang saat dia kembali dengan muatan penuh, keranjang bambunya dipenuhi kain compang-camping, besi bekas, botol kaca, dan sebagainya. Pada malam seperti ini, dia pasti pergi membeli beberapa anggur untuk diminum, duduk sendirian di tepi tempat tidur, lalu mulai mengumpat tidak karuan.

Pertemuan pertamaku dengan penghuni kamar sebelah terjadi pada sore hari ketika aku baru pindah. Pada pukul lima sore saat malam sudah hampir tiba di musim semi yang datang dengan cepat, aku menyalakan sebatang lilin, kemudian meletakkan di sana beberapa buku usang yang baru saja dipindahkan dari gudang. Pertama-tama aku menyusunnya menjadi dua tumpukan, yang satu tumpukan kecil dan yang satunya tumpukan besar. Kemudian, aku meletakkan dua buah kuda-kuda untuk menggambar seukuran dua chi di atas tumpukan buku yang lebih besar. Karena barangku semuanya sudah dijual, tumpukan buku dan kuda-kuda ini pada siang hari bisa digunakan sebagai meja tulis, dan pada malam hari sebagai tempat tidur.

Setelah menyusun papan kuda-kuda, aku memperhatikan meja yang terbuat dari tumpukan buku lalu duduk di tumpukan buku yang lebih kecil untuk merokok. Punggungku dengan begitu menghadap ke tangga. Ketika aku sedang merokok sambil menatap kosong api lilin di atas meja, mendadak terdengar suara gerakan dari tangga. Menoleh ke belakang, aku hanya dapat melihat pantulan bayangan diriku sendiri yang membesar dan tidak dapat melihat hal apa pun lagi. Tetapi indra pendengaranku dengan jelas memberitahukanku: “Ada orang yang naik ke atas.”

Aku memandangi kegelapan selama beberapa detik, dan kemudian wajah bulat berwarna abu-abu dan sebagian tubuh perempuan ramping muncul di depan mataku. Setelah melihat perawakannya, aku langsung tahu kalau perempuan itu adalah tetangga yang tinggal di sebelah. Sebab sewaktu aku datang mencari kamar untuk disewa, lelaki tua pemilik bangunan itu memberi tahuku kalau di rumah itu selain dirinya, hanya ada satu pekerja wanita yang tinggal di lantai atas. Aku memilih menyewa kamar di sini karena menyukai harganya yang murah. Selain itu, aku senang karena di rumah ini tidak ada perempuan ataupun anak kecil lain, sehingga aku langsung memutuskan tinggal di sini. Sambil menunggu dia menaiki tangga, aku berdiri lalu mengangguk padanya dan berkata:

“Maaf, aku baru pindah ke sini pagi ini, niatnya mau menyapamu nanti.”

Mendengar perkataanku, dia tidak membalas sama sekali. Dia malah menatapku dalam-dalam dengan mata besarnya yang hitam pekat, lalu langsung berjalan menuju pintu kamarnya, membuka kunci pintunya, dan masuk ke dalam. Aku hanya bertemu sekali dengannya seperti ini. Entah kenapa, aku berpikir dia adalah seorang perempuan yang malang. Hidungnya yang mancung, wajahnya yang lonjong keabu-abuan, dan tubuh rampingnya yang tidak tinggi, semuanya seperti menunjukkan karakteristiknya yang malang. Tetapi saat itu, karena sedang mengkhawatirkan masalah hidup, aku tidak punya waktu untuk mengasihani pekerja wanita yang tidak pernah kehilangan pekerjaan itu. Setelah beberapa menit, aku kembali duduk tak bergerak di tumpukan buku kecil sambil mengamati cahaya lilin.

Setelah beberapa minggu berada di perumahan kumuh ini, aku mengetahui kalau perempuan itu setiap harinya pergi bekerja pada pukul tujuh pagi dan pulang sekitar pukul enam sore. Dia selalu melihatku duduk di tumpukan buku, termenung menatapi lilin atau lampu minyak. Mungkin rasa penasarannya timbul karena sikap kelinglunganku. Suatu hari saat dia pulang kerja dan naik ke atas, aku berdiri dan membiarkannya lewat seperti hari pertama. Dia datang menghampiriku dan berhenti tiba-tiba, menatapku sebentar, lalu bertanya terbata-bata seperti takut akan sesuatu:

“Buku apa yang kamu baca di sini setiap hari?”

(Dia berbicara dengan dialek Suzhou[7] yang lembut. Setelah mendengar suara yang seperti ini, bagaimanapun mencoba aku tidak bisa menuliskannya. Jadi, aku hanya bisa menerjemahkan kata-katanya ke dalam bahasa sehari-hari.)

Mendengar perkataannya, wajahku segera memerah. Karena meskipun aku duduk termenung sepanjang hari, dan walaupun di hadapanku ada beberapa buku asing yang berserakan, pikiranku sebenarnya sangat kalut sehingga aku tidak bisa membaca satu baris pun isi dari buku-buku itu. Terkadang aku hanya menggunakan imajinasiku di ruang kosong antara baris buku sebelumnya dan berikutnya, membayangkan beberapa pikiran aneh. Di lain waktu aku hanya membuka ilustrasi buku dan melihatnya sebentar, lalu membuat beberapa fantasi mengenai hubungan dengan seseorang.

Tubuhku pada saat itu sebenarnya dalam keadaan sakit karena insomnia dan kurang gizi. Selain itu, karena jubah katunku satu-satunya benda milikku sudah sangat usang, aku tidak bisa berjalan-jalan di siang hari. Ini diperburuk oleh kenyataan bahwa di dalam kamar tidak terdapat penerangan sama sekali, sehingga siang dan malam aku harus menyalakan lampu minyak atau lilin. Tidak hanya kesehatanku yang secara keseluruhan lebih buruk daripada orang pada umumnya, kedua mata dan otot kakiku juga sebagian mengalami atrofi yang parah. Dalam keadaanku yang seperti ini, bagaimana mungkin aku tidak tersipu saat mendengar pertanyaannya? Jadi aku hanya menjawab dengan samar:

“Aku tidak membaca buku, tapi hanya duduk melamun di sini tidak melakukan apa-apa. Pastinya tidak terlihat bagus, jadi aku membuat beberapa buku ini berserakan.”

Mendengar perkataanku, dia menatapku dalam-dalam lagi, membuat ekspresi yang tidak bisa dimengerti, lalu pergi ke kamarnya seperti sebelumnya.

Waktu itu, mengatakan kalau aku tidak pergi mencari apa pun dan tidak melakukan apa pun, sebenarnya bohong belaka. Terkadang, saat pikiranku terasa sedikit membaik, aku berhasil menerjemahkan beberapa puisi Inggris dan Prancis, juga beberapa cerita pendek Jerman yang tidak mencapai empat ribu kata. Pada malam hari ketika semua orang tertitur lelap, diam-diam aku pergi ke kantor pos, mengirimkan naskah-naskah itu ke penerbit yang baru berdiri. Karena pada saat itu, harapanku untuk mendapatkan pekerjaan di semua bidang lain sudah terputus seluruhnya, dan hanya dalam bidang ini aku masih bisa mengandalkan pikiranku yang tumpul untuk bekerja. Jika aku mengikuti keinginan para tuan editor, tidak sulit untuk mendapatkan beberapa kuai[8] dari naskah-naskah yang aku terjemahkan. Jadi, semenjak aku pindah ke Jalan Dent, ketika dia pertama kali berbicara denganku, naskah-naskah terjemahan seperti itu sudah kukirim tiga atau empat kali.

2

Tinggal di Konsesi Shanghai yang kacau membuat perubahan empat musim dan hari yang berlalu tidak mudah untuk dirasakan. Semenjak aku pindah ke perumahaan kumuh di Jalan Dent, rasanya jubah katun usang yang aku kenakan hari demi hari semakin terasa berat dan panas, sehingga aku berpikir:

“Mungkin pancaran musim semi akan segera berakhir, ya?”

Tetapi karena keadaan keuanganku membuatku merasa sangat malu, aku tidak dapat pergi berjalan-jalan ke satu tempat pun, sepanjang hari hanya duduk termenung di dalam ruangan yang gelap. Suatu ketika sekitar sore hari, saat aku sedang duduk seperti itu, tetangga yang tinggal di sebelah mendadak datang ke atas dengan dua bungkus barang yang dibalut dengan kertas. Saat aku berdiri untuk mempersilakannya berjalan masuk, dia meletakkan sebuah barang yang dibungkus kertas itu di atas mejaku dan berkata:

“Benda yang dibungkus ini adalah roti sari anggur, silakan kamu simpan. Besok akan enak dimakan. Selain itu aku juga masih punya sebungkus pisang yang kubeli. Silakan datang ke kamarku untuk memakannya bersama.”

Aku mengambil bungkusan yang dia berikan untukku. Dia membuka pintu kamarnya, mengundangku untuk masuk. Setelah tinggal bersama selama lebih dari sepuluh hari, dia sepertinya mulai percaya kalau aku adalah seseorang yang jujur dan baik. Aku melihat ekspresi keraguan di wajahnya saat dia melihatku untuk yang pertama kalinya telah benar-benar hilang.

Ketika aku memasuki kamarnya, aku baru menyadari hari masih belum gelap karena kamarnya memiliki sebuah jendela yang menghadap ke selatan. Sinar matahari yang masuk melalui jendela ini memperlihatkan sebuah kamar yang sangat kecil, dengan sebuah tempat tidur yang terbuat dari dua papan, meja kecil berwarna hitam, peti kayu, dan bangku bundar.

Meskipun di atas tempat tidur tidak ada kelambu, ada dua selimut kain berwarna biru muda bersih yang menumpuk. Di atas meja kecil tergeletak sebuah kotak timah, mungkin tempat dia menyimpan penyisir rambutnya. Di atas kotak timah itu terdapat banyak noda minyak. Sementara dia meletakkan beberapa jaket tenun berlapis kapas di bangku bundar dan celana dari kain tenun kasar di atas ranjang, dia menyuruhku untuk duduk. Melihatnya memperlakukanku dengan penuh perhatian, aku jadi merasa agak malu, jadi aku berkata padanya:

“Kita sedari awal sudah tinggal bersama, tidak perlu repot-repot seperti ini.”

“Aku tidak merasa repot. Setiap hari saat aku pulang, kau selalu berdiri mempersilakan aku masuk. Aku jadi merasa tidak enak.”

Setelah berkata demikian, dia membuka bungkusan yang berisi pisang dan mempersilakanku makan. Dia juga mengambil sebuah, duduk di atas ranjang, lalu bertanya kepadaku sambil memakannya:

“Mengapa kau selalu tinggal di rumah dan tidak pergi untuk melakukan sesuatu?”

“Awalnya aku berpikir begitu, tapi saat pergi aku tidak pernah menemukan hal apa pun untuk dilakukan.”

“Apakah engkau memiliki teman?”

“Teman tentu ada. Tapi di saat seperti ini, mereka tidak berinteraksi denganku lagi.”

“Apakah engkau pernah bersekolah?”

“Aku pernah belajar selama beberapa tahun di sekolah asing.”

“Di mana rumahmu? Mengapa tidak pulang?”

Dia bertanya seperti ini, tiba-tiba membuatku memikirkan keadaanku saat ini. Sebab sejak tahun lalu, setiap harinya aku selalu merasa depresi. Hampir setiap saat aku bertanya pada diriku sendiri, “siapakah aku?”, “keadaan seperti apakah yang sedang aku hadapi?”, “apakah hatiku sedih atau bahagia?”. Pertanyaan-pertanyaan ini semuanya sudah kulupakan. Karena pertanyaan yang dia ucapkan, aku jadi kembali memikirkan berbagai penderitaan yang kulalui selama enam bulan terakhir. Jadi setelah mendengar pertanyaannya, aku hanya menatap kosong padanya, untuk waktu yang lama tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Melihatku jadi seperti itu, dia mengira aku juga seorang pengembara yang tidak memiliki rumah. Wajahnya segera menampakkan ekspresi kesepian, menghela napas sedikit dan berkata:

“Aduh! Apakah kau sama sepertiku?”

Setelah sedikit menghela napas, dia berhenti berbicara. Aku melihat matanya memerah, jadi aku segera memikirkan pertanyaan lain dan bertanya kepadanya:

“Kerja apa di pabrik?”

“Membungkus rokok.”

“Setiap harinya berapa jam?”

“Mulai pukul tujuh pagi sampai pukul enam sore, pada waktu tengah hari ada istirahat selama satu jam. Total sepuluh jam setiap hari kerja. Kalau bekerjanya kurang satu jam, gaji akan dipotong.”

“Berapa potongannya?”

“Setiap bulan dibayar sepuluh kuai, berarti tiga kuai setiap sepuluh hari. Jadi setiap jamnya setara dengan tiga keping fen[9].”

“Uang makan biasanya berapa?”

“Empat kuai sebulan.”

“Kalau begitu, jika setiap bulannya tidak istirahat selama satu jam, terlepas dari uang makan, bisa menghemat lima kuai. Apakah cukup untuk membayar uang sewa dan membeli pakaian?”

“Mana cukup! Terlebih lagi manajer di sana juga… ah! Aku… Aku sangat membenci pabrik. Apakah kau merokok?”

“Aku merokok.”

“Aku menyarankanmu untuk berhenti merokok. Kalau tetap mau merokok, jangan membeli rokok dari pabrik kami. Aku benar-benar benci setengah mati pada pabrik itu.”

Melihat dirinya yang dipenuhi oleh perasaan marah, aku jadi enggan berbicara lagi.

Memakan habis pisangku yang tinggal setengah di tangan, aku lalu melihat ke sekeliling dan merasa kamarnya juga berwarna hitam keabu-abuan. Aku berdiri dan mengucapkan terima kasih, lalu segera kembali ke kamarku sendiri. Dia sepertinya lelah setelah bekerja. Setiap harinya setelah pulang mungkin dia langsung terlelap. Tapi malam ini, tampaknya dia tidak bisa tidur hingga tengah malam. Semenjak hari itu, setiap hari setelah dia pulang, dia selalu mengobrol sebentar denganku.

Berdasarkan penuturannya, aku jadi tahu kalau marganya adalah Chen dan namanya Ermei. Dia adalah orang Dongxiang yang berasal dari Suzhou dan tumbuh besar di pedesaan Shanghai. Ayahnya juga seorang pekerja pabrik rokok, tetapi sudah meninggal musim gugur tahun lalu. Dia dulu tinggal di kamar itu dengan ayahnya, setiap hari mereka berangkat bekerja bersama. Namun, kini hanya dialah satu-satunya yang tersisa.

Beberapa bulan setelah ayahnya meninggal, dia menangis sepanjang perjalanan ke pabrik di pagi hari, begitu pula malam harinya ketika pulang. Tahun ini dia berusia tujuh belas, tidak memiliki adik maupun kakak, ataupun kerabat dekat. Untuk mengurus pemakaman dan permasalahan lainnya, ayahnya sebelum meninggal telah memberikan 15 kuai kepada lelaki tua di lantai bawah dan meminta lelaki tua itu untuk mengurus segala keperluan. Tetanggaku berkata:

“Lelaki tua di bawah adalah orang baik, ia tidak memiliki perasaan buruk apa pun terhadapku sehingga aku bisa tetap bekerja seperti saat masih ada ayah. Tapi seorang manajer bermarga Li di pabrik berperilaku sangat buruk. Mengetahui kalau ayahku sudah meninggal, dia langsung menggodaku setiap hari.”

Aku tahu nyaris segalanya tentang ayahnya dan dirinya. Namun, seperti apa ibunya? Apakah sudah mati atau masih hidup? Jika masih hidup, tinggal di mana, dan berbagai hal lainnya, aku sama sekali tidak tahu. Dia tidak pernah mengatakannya.

3

Cuaca sepertinya berubah. Selama beberapa hari terakhir, aku berada di duniaku yang eksklusif di dalam ruangan gelap yang dipenuhi udara kotor. Bagaikan uap yang berada di dalam kukusan bambu, udara ini membuat kepalaku terasa sangat pusing. Setiap tahun pada pergantian musim semi ke musim panas aku akan mengalami neurastenia akut. Ketika situasi semacam ini terjadi, aku akan berubah jadi seperti setengah gila. Untuk mengatasi keadaan ini, beberapa hari terakhir saat malam tiba aku menunggu jalanan sepi lalu pergi berjalan-jalan. Sendirian di jalan menatapi gugusan bintang di langit biru gelap yang sempit, sambil berjalan maju perlahan dan memikirkan berbagai fantasi, semuanya ini sangat bermanfaat bagi tubuhku.

Pada malam musim semi yang memabukkan dan membuatku tidak berdaya ini, aku selalu ingin berkeliaran tanpa tentu arah, berjalan-jalan sampai hari mulai cerah baru kemudian kembali ke tempat tinggalku. Saat aku lelah berjalan-jalan seperti ini, aku akan pulang untuk tidur. Begitu aku tertidur, aku bisa tidur sampai keesokan harinya. Beberapa kali aku bahkan tertidur sampai Ermei pulang dari tempat kerjanya dan barulah aku terbangun. Dengan banyak tidur, kesehatanku perlahan-lahan mulai pulih.

Perutku yang biasanya hanya dapat mencerna setengah pon roti, semenjak aku mulai berlatih dengan berjalan-jalan saat malam, mulai berkembang dengan baik sehingga mampu mencerna satu pon roti. Meskipun hal ini akan menjadi pukulan telak terhadap keadaan ekonomiku, tetapi pikiranku yang terpelihara lebih baik dengan cara ini tampaknya menjadi lebih padu dari sebelumnya.

Setelah aku kembali usai berjalan-jalan, tepatnya sebelum tidur, aku mencoba membuat beberapa cerita pendek bergaya Allan Poe.[10]. Ketika aku membacanya, rasanya tidak terlalu buruk. Aku mengedit dan menyalinnya beberapa kali lalu mengirimkannya satu per satu melalui pos. Walaupun aku berusaha mempertahankan sedikit harapan, aku memikirkan tentang tidak adanya kabar dari naskah terjemahanku sebelumnya. Setelah beberapa hari, akhirnya aku juga melupakan nasib naskah-naskah itu.

Beberapa hari terakhir ini aku selalu tertidur pulas saat tetanggaku Ermei pergi berangkat kerja di pagi hari. Hanya di sore hari setelah dia pulang bekerja aku sempat beberapa kali bertemu dengannya. Tapi entah karena apa, aku merasa sikapnya kepadaku mulai berubah kembali menjadi dipenuhi keraguan seperti saat kami pertama kali bertemu. Terkadang dia menatapku dalam-dalam. Matanya yang hitam dan cerah seperti mengecam dan hendak menasihati diriku.

Sudah sekitar dua puluh hari lebih semenjak aku pindah ke perumahan kumuh ini. Suatu sore saat aku sedang menyalakan lilin dan membaca novel yang aku beli dari toko buku bekas, Ermei datang terburu-buru ke atas dan berkata kepadaku:

“Di bawah ada tukang pos yang mengantarkan surat untukmu.”

Saat dia mengatakan hal ini padaku, sikapnya yang mencurigai diriku semakin terlihat jelas. Dia seperti berkata di sana: “haha, aku sudah mengetahui masalahmu!” Melihat sikapnya yang seperti ini, hatiku merasa begitu benci. Karena itu aku merasa sedikit sesak, dan menjawab:

“Aku dapat surat apa? Itu bukan milikku!”

Mendengar jawabanku yang dipenuhi amarah, dia seperti merasa telah menang. Tiba-tiba di wajahnya seperti muncul senyum yang mengejek, lalu dia berkata:

“Pergi dan lihatlah sendiri. Itu persoalanmu, hanya engkau seorang yang tahu!”

Pada saat yang bersamaan aku mendengar di bawah dekat gerbang seseorang yang seperti tukang pos dengan cepat berkata:

“Surat tercatat!”

Aku akan mengambil surat itu! Jantungku berdebar begitu liar. Ternyata terjemahan cerpen Jerman yang pernah kukirim sudah diterbitkan di sebuah majalah, dan surat yang diantarkan kepadaku barusan adalah sebuah wesel sebesar lima yuan. Ketika uang yang kumiliki hampir habis, dengan lima yuan ini, tidak hanya aku tidak perlu khawatir tentang biaya sewa untuk bulan depan yang harus dibayar di muka pada akhir bulan, aku juga bisa menyimpan bahan makanan untuk beberapa hari. Pada saat itu, kegunaan lima yuan ini bagiku sangat besar, dan tidak seorang pun yang bisa membayangkan datangnya rezeki ini.

Sore hari berikutnya, aku pergi ke kantor pos untuk mengambil uang. Setelah berjalan beberapa saat di jalan yang bermandikan cahaya matahari, mendadak aku merasakan banyak keringat mulai bercucuran di tubuhku. Aku melihat pejalan kaki di sekitarku, lalu juga tubuhku, dan tanpa sadar aku menundukkan kepala. Butir-butir keringat di leherku bercucuran semakin banyak, bertetesan satu demi satu. Karena di saat aku berjalan-jalan di tengah malam, tidak ada matahari di langit dan angin musim semi yang dingin bertiup.

Saat malam akan segera berakhir di timur, jalanan dan gang akan selalu sunyi. Jadi, jubah katun usang yang kukenakan tidak akan terlalu menonjol. Sekarang, di tengah hari pada saat musim semi yang cerah ini, aku tidak habis pikir kenapa aku masih mengenakan pakaian lusuh yang kugunakan saat berjalan-jalan di waktu malam. Saat aku melangkah di jalan, dibandingkan dengan orang-orang lainnya yang berjalan di sekitar, bagaimana mungkin aku tidak merasa rendah diri?

Sejenak, tanpa disadari, lupalah aku pada biaya sewa yang harus dibayar beberapa hari lagi, lupalah aku pada kondisi keuanganku yang semula membengkak perlahan, lalu perlahan aku berjalan menuju toko baju bekas di Jalan Xinzha. Sudah lama aku tidak berjalan di bawah sinar matahari. Aku melihat sebuah becak yang melaju di jalan mengangkut pria dan wanita muda menawan, serta berbagai kain satin, emas, dan perak yang dipamerkan di jendela toko di kedua sisi jalan. Mendengarkan suara manusia, langkah kaki, dan bel sepeda yang bising seperti sekawanan lebah di sekitar, untuk beberapa saat aku merasa tubuhku seperti mencapai Daluo Tian[11].

Aku melupakan keberadaan diriku sendiri. Ingin rasanya bernyanyi dan menari bersama dengan saudara sebangsa dan setanah air. Lalu, tanpa sadar mulutku mulai menyanyikan beberapa lagu Beijing yang sudah lama terlupakan. Ilusi akan nirwana ini, tiba-tiba dibuyarkan oleh bunyi nyaring sebuah bel saat aku hendak menyeberang menuju Jalan Xinzha. Aku mendongak dan melihat sebuah bus troli melaju di depanku. Pengemudi gemuk yang berada di dalam bus itu kemudian menjulurkan setengah badannya dan memakiku dengan mata melotot:

“Dasar goblok! Mata lu buta? Lu pantes mampus! Lagian hidup lu gak lebih berharga dari anjing kuning!”[12]

Aku berdiri dengan linglung sambil memperhatikan bagian belakang bus troli yang mengepulkan asap berdebu. Setelah pergi ke utara, entah karena apa, aku mendadak tertawa terbahak-bahak beberapa kali. Saat orang-orang di sekitar mulai memperhatikanku, aku jadi tersipu dan perlahan berjalan menuju Jalan Xinzha.

Aku menghampiri beberapa toko baju bekas, menanyakan harga beberapa pakaian katun, dan membayar mereka dengan jumlah yang bisa kuberikan. Beberapa pelayan di toko baju bekas, tampaknya seperti sudah diajarkan oleh seorang ahli, semuanya menundukkan kepala dan berkata mengejek:

“Lu pasti bercande! Kalau gak punya duit, mending jangan ke sini!”

Aku terus bertanya sampai ke sebuah toko kecil di pinggir Jalan Kuda Lima[13], tetapi tetap tidak ada pakaian katun yang berhasil kubeli. Akhirnya, aku membeli sebuah kaus berbahan katun ringan dan langsung mengenakannya. Sambil memegang jubah katun yang sebelumnya kukenakan, aku berjalan pulang tanpa suara dan berpikir:

“Baju ini tidak cukup hanya digunakan begitu saja. Aku akan mengenakannya dengan sepenuh hati.”

Pada saat yang sama, aku mengingat roti, pisang, dan lain-lainnya yang dulu pernah diberikan oleh Ermei. Tanpa perlu berpikir dua kali, aku langsung mencari toko yang menjual manisan dan mengeluarkan satu kuai untuk membeli cokelat, permen pisang, bolu, dan berbagai kudapan lainnya. Saat aku berdiri di toko itu menunggu pelayan membungkus pesananku, tiba-tiba aku teringat kalau aku belum mandi selama satu bulan lebih. Jadi, lebih baik hari ini aku juga pergi mandi.

Setelah mandi, aku mengambil bungkusan yang berisikan jubah katun dan manisan lalu berjalan pulang. Ketika aku sampai di Jalan Dent, toko-toko di kedua sisi jalan sudah menyalakan lampu dan hanya ada sangat sedikit pejalan kaki di jalan. Angin malam yang berhembus dari Sungai Huangpu membuatku kedinginan dan menggigil.

Ketika aku sampai di kamar, aku segera menyalakan lilin. Aku melihat pintu kamar Ermei dan menyadari kalau dia belum kembali. Saat itu, meskipun aku merasa sangat lapar, aku tidak mau membuka bungkusan manisan yang baru saja kubeli karena aku ingin menunggu Ermei pulang dan memakan manisan itu bersama. Aku membaca buku untuk menunggu kedatangannya sambil menelan air liur. Walaupun sudah menunggu lama, Ermei tak kunjung kembali. Entah kapan rasa lelah menaklukkan diriku, tanpa sadar aku menyenderkan tubuh ke tumpukan buku dan tertidur.

4

Saat suara kedatangan Ermei membangunkanku, aku melihat sebuah lilin model Barat seberat dua belas ons di depanku sudah dinyalakan kira-kira dua inci. Aku langsung bertanya pada Ermei jam berapa sekarang, dan dia berkata:

“Peluit uap jam sepuluh baru saja dibunyikan.”

“Kenapa hari ini kau pulang sangat terlambat?”

“Penjualan pabrik meningkat, sehingga kami disuruh bekerja sampai malam. Upah memang meningkat, tapi kami semua kelelahan.”

“Kalau begitu sebaiknya kau tidak melakukannya.”

“Tapi jumlah pekerja hanya sedikit, jadi tidak mungkin untuk tidak bekerja sampai larut malam.”

Mendengar penjelasannya, mendadak air mata mengalir dari kedua mataku. Aku pikir dia kelelahan akibat pekerjaannya, dan ini jadi membuatku sedih. Meskipun aku merasa kasihan padanya, di satu sisi melihat sifatnya yang masih kekanak-kanakan, membuatku jadi merasa sedikit senang. Setelah membuka bungkusan manisan dan mengajaknya makan bersama, aku mencoba menghiburnya:

“Memang di saat pertama kita bekerja malam pasti tidak akan terbiasa, jadi pasti mengantuk. Tapi kalau nanti sudah terbiasa, tidak akan ada masalah.”

Dia duduk diam di meja dari tumpukan bukuku yang agak tinggi, memakan beberapa cokelat, dan menatapku beberapa kali, seperti ada sesuatu yang hendak dikatakannya. Aku mendesaknya untuk mengungkapkan perasaanya:

“Apa ada yang ingin kaukatakan?”

Dia terdiam untuk beberapa saat, lalu bertanya padaku terbata-bata:

“Aku… Aku… sudah sejak lama ingin bertanya padamu. Beberapa hari ini saat malam, kau selalu pergi keluar. Apakah kamu berteman dengan orang jahat?”

Aku terkejut mendengar perkataannya. Dia sepertinya mencurigaiku yang keluar setiap malam, berpikir aku bergaul dengan berandalan dan pencuri kecil. Melihatku bungkam dan tidak menjawab, dia berpikir kalau perilaku burukku telah berhasil dibuka olehnya, jadi dia terus berkata dengan lembut:

“Apakah makanan-makanan yang enak ini dan pakaian-pakaian bagus yang kamu kenakan, sepadan dengan masalah yang akan kau peroleh? Engkau pastinya tahu usaha semacam ini tidak bisa diandalkan. Kalau kau sampai tertangkap oleh orang lain, kau tidak mungkin menunjukkan wajahmu lagi kepada orang-orang. Masalah yang sudah lewat tidak perlu dibicarakan, tetapi ke depannya aku berharap engkau berubah…”

Aku menatap kosong padanya dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar, sebab pemikirannya begitu aneh sampai-sampai membuatku tidak bisa melakukan pembelaan. Dia terdiam selama beberapa detik, lalu melanjutkan:

“Untuk setiap rokok yang kau hisap, jika setiap hari kau berhenti merokok sepenuhnya, bukankah kau dapat menghemat beberapa yuan? Aku sudah lama menyarankanmu berhenti merokok, terutama untuk tidak menghisap rokok dari Pabrik N yang sangat aku benci. Dari awal kau tidak mendengarkan.”

Setelah dia selesai berbicara, mendadak jatuh beberapa tetes air mata. Aku tahu itu adalah air mata yang jatuh karena rasa bencinya pada Pabrik N. Namun, di dalam hatiku, bagaimanapun aku tidak bisa berpikir seperti itu. Aku selalu menganggap air mata itu sebagai usahanya untuk membujukku. Aku berusaha berpikir dengan tenang untuk sementara waktu sambil menunggu keadaan dirinya menjadi lebih tenteram. Setelah itu, aku langsung mengambil surat tercatat kemarin dan menjelaskan isi surat itu padanya. Aku juga bercerita mengenai penarikan uang hari ini yang kugunakan untuk membeli barang. Terakhir, aku menceritakan padanya tentang neurastenia yang kuderita dan mengapa setiap malam aku harus pergi keluar berjalan-jalan. Setelah mendengar penjelasanku, dia langsung mempercayaiku. Sambil menungguku selesai berbicara, di pipinya tiba-tiba muncul dua rona merah. Dia menundukkan kepalanya dan melihat ke bawah meja, kemudian berkata seperti malu:

“Oh! Aku telah salah paham, malah menyalahkanmu. Tolong jangan khawatir, aku benar-benar tidak bermaksud buruk. Karena tabiatmu terlihat aneh, aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Jika kau bekerja keras, bukankah itu sangat bagus? Hal yang baru saja kaukatakan, apa tadi namanya? Kalau bisa dijual seharga lima kuai, jika setiap hari bisa membuat satu, bukankah sangat baik?”

Melihat sikapnya yang polos seperti ini, mendadak aku merasakan perasaan yang tidak terduga di hati. Aku seperti ingin mengulurkan kedua tanganku untuk memeluknya, tetapi rasionalitasku mencegah diriku dan berkata:

“Kau jangan melakukan perbuatan tercela! Apa kau tahu situasi seperti apa yang sedang kau hadapi! Apa kau ingin meracuni perawan yang suci ini? Dasar iblis! Saat ini kau belum memenuhi syarat untuk menjadi kekasih!”

Ketika aku merasakan emosi itu, aku memejamkan mata selama beberapa detik. Setelah mendengarkan perintah dari rasionalitasku, aku kembali membuka mataku. Aku merasa lingkungan di sekitarku mendadak menjadi lebih cerah dari beberapa detik sebelumnya. Aku sedikit tersenyum padanya, lalu berkata:

“Malam semakin larut, segeralah tidur! Besok kau masih harus pergi berangkat kerja, ‘kan! Mulai hari ini, aku berjanji padamu untuk berhenti merokok!”

Mendengar apa yang kukatakan, dia langsung berdiri dan dengan senang hati kembali ke kamarnya untuk tidur.

Setelah dia pergi, aku mengganti lilin yang sudah habis dan memikirkan banyak hal dengan tenang.

“Dari hasil kerja kerasku, lima kuai yang kudapatkan untuk pertama kalinya sudah kugunakan sebanyak tiga kuai. Jika digabungkan dengan satu kuai lebih yang kumiliki, setelah membayar uang sewa, masih bisa menghemat dua sampai tiga jiao. Betapa bagusnya ini!

“Sebaiknya aku menggadaikan jubah katun usang ini! Tapi takutnya pegadaian tidak mau mengambilnya.

“Gadis itu benar-benar malang. Tapi dalam keadaanku sekarang ini, aku masih belum dapat membantunya. Dia tidak ingin bekerja namun pekerjaan memaksanya untuk melakukannya. Aku ingin mencari pekerjaan, tapi pada akhirnya tidak menemukan satu pun.

“Mungkin aku bisa melakukan pekerjaan yang memerlukan otot! Ah, tapi pergelangan tanganku yang lemah, takutnya tidak kuat menarik becak.

“Bunuh diri! Aku punya keberanian untuk melakukannya sejak lama. Jika saat ini aku masih bisa memikirkan kedua kata ini, ini membuktikan kalau ambisiku belum sepenuhnya binasa!

“Hahahaha! Pengemudi bus troli yang kutemui hari ini, kenapa dia memakiku?

“Anjing kuning … anjing kuning adalah istilah yang bagus …

“……….”

Aku memikirkan berbagai pikiran kacau yang berantakan secara berselang. Namun, pada akhirnya, aku tidak menemukan cara yang baik untuk menyelamatkanku dari kemelaratan yang saat ini kuhadapi. Suara peluit pabrik yang berbunyi sepertinya menandakan sudah sekitar jam dua belas. Aku lekas berdiri, mengenakan jubah katun usang yang aku lepas pada waktu siang hari, mematikan lilin yang masih menyala, lalu pergi berjalan-jalan.

Orang-orang yang tinggal di perumahan kumuh sudah tertidur lelap. Di deretan bangunan bergaya Barat yang menghadap ke Jalan Dent di seberang Rixinli, masih ada beberapa rumah yang menyalakan lampu berwarna merah dan hijau. Di sana mereka memetik balalaika[14]. Satu atau dua lagu yang jernih, dengan nada sedih, menghampiri telingaku melalui udara dingin malam yang sunyi. Ini mungkin lagu tentang seorang gadis pengembara di Rusia, di sana dia bernyanyi untuk mendapatkan uang.

Langit tertutup awan tipis kelabu, yang menutupinya bagaikan tumpukan mayat membusuk. Di antara celah-celah awan tersebut satu dua bintang dapat terlihat. Namun, di dekat bintang-bintang, langit yang gelap seperti menyembunyikan kesedihan yang tak terbatas.

15 Juli 1923

Catatan:

[1] Kini bernama Jalan Nanjing Barat.

[2] Grub Street merupakan sebuah jalan kumuh di London yang terkenal karena menjadi tempat tinggal dari banyak “penulis retas”, istilah ejekan untuk seorang penulis yang dibayar untuk menulis artikel-artikel atau buku-buku berkualitas rendah dalam waktu cepat. Sang tokoh menyebut jalan tersebut sebagai Yellow Grub Street karena di jalan itu tinggal banyak penulis berkulit kuning (maksudnya orang Tiongkok) tidak terkenal yang malang.

[3] Dinamakan sebagai “Jalan Dent” untuk menghormati Alfred Dent (1844-1927), seorang pedagang opium ternama Inggris yang menjadi ketua Asosiasi Inggris Tiongkok pertama, sebuah asosiasi pedagang Inggris yang didirikan untuk mewakili kepentingan perusahaan Inggris yang berdagang di Tiongkok, Hong Kong, dan Jepang. Selama tahun 1863-1941, Shanghai berada di bawah kekuasaan bersama Inggris dan Amerika (dikenal sebagai Permukiman Internasional Shanghai) sebagai imbalan dari Kekaisaran Qing yang kalah dalam Perang Candu Pertama (1839-1842). Oleh karena itu, di Shanghai terdapat jalan yang menggunakan nama-nama asing.

[4] Zhang (丈) merupakan satuan jarak tradisional Tiongkok. Ukuran tetapnya berubah dari waktu ke waktu, tetapi saat ini ukuran standarnya adalah 3,3 meter. Di Tiongkok satuan ini sudah tidak digunakan secara umum.

[5] Chi (尺) merupakan satuan jarak tradisional Tiongkok. Ukuran tetapnya berubah dari waktu ke waktu, tetapi saat ini ukuran standarnya adalah 33 cm.

[6] Sepuluh jiao setara dengan satu yuan, mata uang yang dipakai di Tiongkok.

[7] Dialek Suzhou atau Suzhounese, adalah ragam bahasa Tionghoa yang digunakan secara tradisional di kota Suzhou, Provinsi Jiangsu. Suzhounese merupakan bahasa tersendiri yang terpisah dari bahasa Mandarin yang dikenal secara luas saat ini.

[8] Nama lain dari yuan, mata uang Tiongkok. Biasanya disebut sebagai kuai dalam percakapan sehari-hari.

[9] Sepuluh fen setara dengan satu jiao.

[10] Edgar Allan Poe (1809–1849) merupakan penulis Amerika yang terkenal karena cerita pendeknya yang bertemakan misteri.

[11] Dalam kepercayaan taoisme, terdapat tiga puluh enam tingkatan langit (surga). Daluo Tian merupakan tingkat yang paling tinggi dan tidak memiliki batas.

[12] Supir ini berbicara dengan dialek Wu, jadi saya membedakannya dengan dialog lain dalam cerita ini.

[13] Pada tahun 1845, didirikan sebuah pacuan kuda di Shanghai (di sekitar Jalan Nanjing saat ini). Orang-orang Shanghai menyebut jalan di dekat pacuan kuda itu sebagai Jalan Kuda Utama. Pemerintah konsesi asing di Shanghai kemudian memperluas jalan ini menjadi enam bagian, yang umumnya disebut sebagai Jalan Kuda Satu, Jalan Kuda Dua, Jalan Kuda Tiga, Jalan Kuda Empat, Jalan Kuda Lima, dan Jalan Kuda Enam. Jalan Kuda Lima juga dikenal sebagai Jalan Kanton (kini disebut Jalan Guangdong).

[14] Alat musik tradisional Rusia berupa gitar yang berbentuk segitiga.


Tentang Yu Dafu

Yu Dafu lahir pada 7 Desember 1896 di Fuyang, Zhejiang, Cina, dan tewas di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada 17 September 1945. Yu Dafu adalah seorang cerpenis dan penyair modern Cina. Karya-karyanya antara lain Chenlun (沈淪), Chunfeng chenzui de wanshang (春風沈醉的晚上), Guoqu (過去), dan Chuben (出奔). Gaya menulis dan tema-tema utamanya secara kuat memengaruhi sekelompok penulis muda Cina dan membentuk sebuah tren romatik dalam kesusasteraan Cina pada 1920-an sampai 1930-an.

Cerpen di atas dikerjakan oleh Miguel Angelo Jonathan dari bahasa Mandarin, dari cerpen Yu Dafu berjudul “春风沉醉的晚上” dalam《学生阅读经典:郁达夫》(2001).


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Jam Dapur – Cerpen Wolfgang Borchert
Nampan dari Surga – Cerpen Yusuf Idris


1 thought on “Malam Musim Semi yang Memabukkan – Cerpen Yu Dafu”

  1. Ayra Amirah berkata:

    Turut belajar, dari keterampilan penulis menggambarkan tokoh ‘aku’ yang kesepian, miskin, sekaligus menderita sakit. Namun yang menyenangkan, ada harapan kebahagiaan untuk si tokoh, yaitu cinta.

Komentar Anda?