Menu
Menu

Aku mencium aroma laut yang tertinggal. Kami mengepak “jejak kerang” ke dalam kardus-kardus setinggi dada.


Oleh: Iin Farliani | Jejak Kerang dan Jejak Daun

Penulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019). Lahir di Mataram, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sejak tahun  2013 hingga sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah komunitas sastra dan penerbitan buku. Di tahun 2020, ia terpilih sebagai salah satu Emerging Writers MIWF 2020.


Berseberangan dengan restoran yang kukelola adalah gedung kesenian yang sedang riuh oleh acara-acara. Akhir-akhir ini pemerintah senang menyelenggarakan acara kesenian untuk menghabiskan anggaran akhir tahun mereka yang masih banyak tersisa. “Buat saja acara apapun yang penting ada seninya!” seru mereka. Maka tiap malam selalu ramai orang-orang berkumpul; melihat pameran lukisan meski tak memahami lukisannya, menonton pertunjukan tari yang diawali pidato pejabat soal pentingnya memajukan pariwisata daerah, atau mendengar pembacaan puisi dan cerita pendek bersama anak-anak muda yang banyak tingkah.

Restoran baru saja kututup. Aku memilih duduk-duduk sebentar, merokok satu dua batang dan meminum es kopi. Jalanan masih ramai. Di tengah kerumunan, muncul satu dua wajah yang agak familiar. Aku senang menutup restoran lebih awal demi memandangi orang-orang yang berlalu lalang; raut-raut menggelitik, cemberut, atau penuh rahasia di antara mereka yang keluar dari gedung lalu berjalan-jalan di trotoar menghampiri deretan gerobak pedagang kaki lima. Kadang-kadang aku merasa iri juga, laki-laki sepertiku, yang bahkan telah memiliki kekasih, jarang mendapat waktu berdua untuk menghabiskan waktu di sana.

Aku menengok ke arah Fani yang tampaknya masih sibuk dengan pikirannya. Ia memilih duduk menyendiri di salah satu kursi restoran. Aku belum melihatnya menyeruput teh dalam cangkir di hadapannya. Aku sudah mengatakan kepadanya soal kemungkinan kami bisa berjalan-jalan sebentar di trotoar depan gedung kesenian. Tetapi ia mengatakan bahwa ia masih merasa letih. Ia kini sedang bertopang dagu dan memandang lama ke dinding restoran.

Tiga hari lalu, ia pulang dari luar kota. Sampai sekarang ia masih merasakan lelah karena perjalanan itu. Melihat perubahan dekorasi restoran, ia sempat berkomentar soal barang-barang berhias cangkang kerang yang kini memenuhi setiap sudut dan dinding restoranku. Pemandangan ini betul-betul mengejutkannya.

“Tidakkah kau merasa ini terlalu berlebihan? Restoran ini di tengah kota. Bukan di pinggir pantai.”

Aku tertawa. “Tepat. Karena ia di tengah kota, maka aku mencoba menghadirkan nuansa laut. Orang-orang yang tidak memiliki waktu luang untuk pergi ke pantai, bisa menikmati suasana pantai di sini.”

“Aku cuma pergi beberapa minggu dan pulangnya memperoleh pemandangan yang tak terduga.”

“Kau tidak suka? Apa kau bosan melihat segala hal yang berhubungan dengan laut?”

“Aku tidak bosan. Tidak.” Fani menggeleng sambil mengaduk-aduk tehnya.

“Ayolah. Lalu apa masalahnya?”

“Aku hanya mengatakan semua ini terlalu berlebihan. Terlalu mencolok. Hiasan yang mencolok itu tidak sesuai dengan kepribadianku.”

“Barang-barang ini menyimpan nilai seni. Tidakkah kau lihat? Bagaimana semuanya bisa indah dipandang dan mengantarkan kita yang melihatnya ke berbagai macam arti. Penuh daya hidup. Aku bisa membayangkan tangan-tangan terampil yang membuatnya hingga menjadi barang-barang bernilai tinggi seperti ini.”

“Aku tidak suka seni. Bagaimana mungkin kau mengatakan semua ini bernilai tinggi? Bahkan orang yang sedang iseng pun pasti bisa membuatnya, sesuatu yang bisa dikerjakan dengan mudah bila kita memiliki waktu luang yang berlimpah.”

Aku tak menjawab dan terus saja meminum es kopi. Barangkali kemarin Fani mengalami masalah di daerah yang dikunjunginya. Kunjungan itu dalam rangka kerja dinasnya. Ia belum menceritakan semuanya kepadaku. Seperti yang dikatakannya, hiasan yang mencolok tidak tepat untuk menggambarkan kepribadiannya. Selama beberapa waktu ia menutup rapat-rapat sesuatu yang mengganggu pikirannya itu, lalu menunggu keadaan yang tepat untuk mengungkapkan semuanya, atau mungkin seterusnya menyimpannya sendiri.

Fani masih memandangi hiasan-hiasan kerang yang bertaburan di dinding dengan lagak seperti sedang merenungkan sesuatu. Sejurus kemudian dari gerbang gedung kesenian aku melihat Marno dan istrinya. Mereka berjalan bergandengan tangan. Istri Marno berderai tawanya sambil sesekali menutup mulutnya yang terbuka lebar. Marno mengangkat wajahnya, ia melambai ke arahku. Istrinya ikut melihat ke arahku. Marno menyoraki beberapa kata yang tak bisa kudengar dengan baik, tertelan oleh bunyi klakson kendaraan. Mereka melambai lagi. Senyum hangat mengembang di wajah keduanya.

Mereka pasangan bahagia. Tentu aku merasa yakin sebab sesekali aku melihat kehangatan yang ditunjukkan melalui isyarat tubuh mereka. Tetapi kesan yang tampak padaku sekarang tidak membuatku lupa pada kejadian beberapa minggu lalu yang melibatkan Marno dan kenangannya atas dua orang perempuan. Ia menyebut mereka “perempuan laut” dan “perempuan darat”. Kenangan-kenangan yang ditinggalkan keduanya disebutnya sebagai “jejak kerang” dan “jejak daun”.

“Bantu aku menghapus jejak-jejak mereka,” ucapnya suatu hari. “Mereka meninggalkan jejak-jejak ini, tentu, sudah pasti, agar aku sulit melupakan mereka. Kau kawanku, berbaik hatilah. Aku ingin kau membantuku membereskan semua ini. Kau tahu aku akan menikah dan rumah ini akan aku tempati bersama istriku. Aku tidak ingin ia melihat barang-barang peninggalan dari perempuan-perempuan masa laluku.”

Marno sepantaran denganku, berada di usia tiga puluh lima tahun. Ia seringkali menampakkan ekspresi muka tidak karuan. Sulit mengetahui apakah ia sedang tenang atau menyimpan amarah. Ia bisa tiba-tiba terdiam begitu lama atau berbicara panjang lebar mengenai kelakuan pegawai yang mengurusi pagelaran di gedung kesenian. Kami sebenarnya tidak begitu dekat. Ia juga orang yang sedikit tertutup. Maka, permintaan untuk membantu membereskan jejak kerang dan jejak daun mulanya mengejutkanku dan membuatku heran sendiri.

Namun pada akhirnya aku menyetujui ajakannya. Pemandangan pertama yang terlihat begitu aku masuk ke rumahnya ialah satu meja panjang yang pinggirannya dihiasi cangkang kerang dari jenis yang mudah ditemukan di pantai atau terkubur di dalam pasir. Aku bisa dengan mudah membedakan jenis kerang yang menghiasi meja itu karena aku masih mengingat jelas pelajaran yang pernah kudapatkan ketika masih menjadi mahasiswa kelautan. Di meja itu ada asbak yang terbuat dari lapisan cangkang kerang mutiara, terlihat berkilat-kilat tertimpa cahaya lampu ruang tamu. Ada juga beragam jenis kerang, seperti kerang dara, kerang hijau, kerang simping, dan kerang triton. Seluruh perabotan yang ada di ruang tamu berlapiskan cangkang kerang-kerang itu; vas bunga, bantalan kursi, pigura foto, cermin, kotak tisu, hingga tirai di depan kamar Marno. Tirai itu terbuat dari tali-tali yang juga mengikat cangkang-cangkang kerang berwarna-warni dari bermacam jenis dijali dengan amat rapi. Tiap kali tirai itu disibakkan akan terdengar suara gemerincing.

Pemandangan di ruang tamu itu sekilas membuatku takjub seolah aku sedang berdarmawisata melihat kerajinan-kerajinan tangan. Segera aku pun tersadar. “Bagaimana membereskan semua ini? Apakah semuanya akan dibuang begitu saja? Tidak bisakah kau tetap menjadikan semua ini sebagai perabotan milikmu dan calon istrimu ketika berumah tangga nanti?”

“Tidak bisa! Itu jelas tidak mungkin. Kenangan tak tersaput dari ingatan. Menyimpan barang-barang ini membuatku seakan tak beranjak dari masa lalu.”

Marno lalu membimbingku ke arah gudang yang berada di halaman belakang. Ia membuka pintu dan menunjuk salah satu bagian rak tempat toples-toples diletakkan. Aku belum bisa memastikan apa isi toples-toples itu sampai aku berjalan mendekat. Ketika sampai di depan rak, aku tercengang. Toples-toples itu masing-masing berisi biota laut yang masih utuh. Ada ikan kerapu bebek, ikan terbang, ikan sembilang, udang vaname, cacing palolo, lobster, dan ikan ekor kuning. Seluruhnya dalam keadaan utuh sempurna terendam dalam cairan bening kekuningan yang kental.

Aku memperhatikan masing-masing toples itu. Aku ingat ketika berkunjung ke rumah Fani, ada satu toples berisi ikan buntal. Waktu itu aku bergurau dengan mengatakan kalau toples berisi ikan buntal itu dipajang di restoranku, boleh jadi pengunjung restoran akan memperoleh pemandangan yang berbeda.

“Lihat! Semua ini diawetkan dengan formalin. Aku sudah pernah mengingatkannya untuk membawa biota-bota mengerikan ini kembali ke tempatnya. Tetapi ia selalu beralasan lebih baik disimpan di gudangku karena sewaktu-waktu ia bisa membawa salah satu dari toples-toples ini sebagai bahan ajar bagi mahasiwa-mahasiwa bodohnya itu. Rumahku ini tak jauh dari kampus tempatnya bekerja. Dan lagi, laboratorium kampusnya sedang dalam tahap perbaikan kala itu sehingga tak ada pilihan lain selain memanfaatkan gudangku untuk menyimpan awetan-awetan mengerikan ini! Tapi celakanya setelah hubungan kami berakhir, ia tak pernah datang untuk mengambil barang-barangnya.”

Kami lalu mengepak “jejak kerang” yang berserakan di mana-mana. Aku mencium aroma laut yang tertinggal. Kami mengepak “jejak kerang” ke dalam kardus-kardus setinggi dada. Banyak barang yang masih layak dijadikan hiasan. Marno mengizinkanku untuk mengambil beberapa di antaranya. Ada yang paling kusukai: sebuah miniatur berbentuk air terjun dengan dinding batu yang sangat cantik bila diletakkan di dalam akuarium. Aku merasa senang. Aku membayangkan Fani juga pasti senang dengan hiasan itu. Ada banyak hiasan manis yang bisa dipajang di dinding restoranku.

“Ia memang suka sekali membawa barang-barang beraroma laut dan menyimpannya di rumahku seolah rumah ini miliknya sendiri. Waktu itu kami sama-sama mengagumi barang-barang yang dibawanya. Tetapi kini menyaksikannya lagi hanya membuat hati ini terasa berat.”

“Lalu bagaimana dengan toples-toples berisi awetan biota ini?” tanyaku sambil memperhatikan salah satu toples berisi kerapu bebek. Mata ikan itu terlihat menghujamkan kesengsaraan ke arahku. Posisinya di dalam toples terhimpit oleh lipatan tubuhnya sendiri yang terpilin ke arah mulut toples, melingkar dalam kesesakan.

Marno memberi usul agar kami membawa semua awetan itu ke laboratorium tempat perempuan laut itu pernah bekerja. Tetapi esoknya, di perjalanan, pikap kami yang membawa seluruh toples itu membentur badan truk. Sebagian toples pecah dan isinya berhamburan di aspal. Aku melihat wajah Marno yang berkilat oleh keringat. “Apa boleh buat,” katanya. Ia turun dari kursi sopir lalu keluar dan memandang awetan biota yang berserakan: udang vaname, ikan ekor kuning, lobster, kerapu, terkapar begitu saja seperti jasad-jasad korban pembunuhan. Marno terlihat lega. Seulas senyum mengembang di wajahnya ketika memandang semua yang terserak.

Membereskan apa yang disebut Marno sebagai “jejak kerang” kala itu kira-kira menghabiskan waktu satu minggu lebih. Aku membantu Marno di sela-sela waktuku menjaga restoran seorang diri. Aku sudah mulai menghias dinding restoran dengan berbagai hiasan dari cangkang kerang itu.

Marno menyemangatiku dan mengingatkanku sekali lagi. “Ingat. Masih ada satu jejak lagi yang harus dibereskan. Jejak daun!”

Ternyata jejak daun yang dimaksud Marno adalah sebuah pohon beringin kerdil dalam satu pot berbahan karet timba. Seakan telah penuh oleh kuakan akarnya, terbentuklah garis melintang yang menghasilkan satu sobekan panjang. Dari situ batu-batu kecil yang diisi untuk menyangga batang beringin pelan-pelan tergulir jatuh tiap kali Marno mengangkat sedikit pot itu dan memindahkan posisinya.

Marno berkata sebenarnya ada banyak tanaman yang ditinggalkan oleh perempuan satunya lagi. Tanaman cabai, anggrek putih, hanjuang merah, bunga-bunga krisan yang pernah ditanam di petak kecil depan beranda. Tetapi semua tanaman itu mati. Ia mengaku tak pernah becus mengurus tanaman sehingga yang tersisa kini hanya pohon beringin kerdil.

Aku bertanya siapa nama pemilik “jejak daun” itu. Tetapi Marno tak menjawab. Aku juga pernah bertanya siapa nama si pemilik “jejak kerang”, Marno juga tak menjawab. Ia seperti pura-pura tak mendengar pertanyaanku. Barangkali menyebut nama mereka membuat hatinya terasa berat. Tetapi seiring hari-hari yang kulalui selama membantunya, aku jadi menduga, bahwa dua perempuan yang dimaksud Marno sebenarnya adalah perempuan yang sama.

“Hanya ini satu-satunya jejak daun yang tersisa darinya. Aku tak akan membiarkan jejak kerang dan jejak daun masih tertinggal di rumahku. Silakan kau bawa beringin ini.”

Jadilah beringin kerdil itu kini berada di depan restoranku, dalam posisi miring, hampir seperti akan jatuh dari pot yang keadaannya telah semakin koyak. Beringin itu menimbulkan kesan terbungkuk untuk menyambut para pelanggan yang datang. Orang-orang kini juga tak hanya datang memesan makanan tapi juga menyempatkan diri berswafoto dengan latar dinding restoran yang telah berhias kerajinan dari cangkang kerang itu.

Marno berterima kasih kepadaku. Ketika itu ia mengabarkan dari luar daerah, bahwa ia telah melangsungkan pernikahannya.

“Bagaimana kalau beringin pendek itu disingkirkan saja?”

Aku menoleh ke belakang. Fani telah bangkit dari duduknya dan kini berjalan menghampiriku.

“Beringin kerdil ini? Apa masalahnya?” tanyaku.

“Aku merasa beringin itu tidak cocok ditempatkan di sini.”

“Beringin kerdil ini cukup unik. Beberapa pelanggan bahkan menyukainya.”

“Yah,” Fani menghela napas, “mungkin kita bisa meletakkannya di belakang,” ujarnya sambil melihat ke gedung kesenian.

“Ini pemberian kawanku. Marno. Kalau ia mampir ke restoran dan bertanya di mana aku meletakkan beringin kerdi itu, aku akan merasa tak enak hati bila ia tahu aku meletakkannya di belakang, di tengah tumpukan barang-barang tak berguna. Biarlah nanti ia menyaksikan sendiri.”

Raut wajah Fani tiba-tiba berubah pucat. Ia terdiam sambil menggigit bibirnya. Ia beberapa kali menoleh ke gedung kesenian, kedua tangannya ditautkan, ia merenggangkan jari-jarinya dengan gerakan cepat.

“Aku tak mengerti mengapa kau tak bisa melihat bahwa semua barang berhias cangkang kerang itu, dan juga beringin pendek ini, hanya membuat pemandangan di restoran menjadi semakin sesak. Aku pikir keadaan semula, sebelum barang-barang ini datang, jauh lebih baik karena terasa lebih lapang.”

Dahiku seketika mengernyit. “Ada pelanggan yang seperti merasakan kedekatan dengan barang-barang dari cangkang kerang itu. Melihat vas bunga itu, pigura foto di dinding, ornamen akuarium, juga miniatur air terjun yang ada di sana. Dan beringin kerdil ini, ada pelanggan yang teringat pada masa kecil bersama ayahnya. Ayahnya suka berkebun. Satu-satunya tanaman yang mengherankan ayahnya adalah beringin kerdil yang tak juga tumbuh tinggi sehingga terpaksa dipindahkan ke dalam pot. Beringin kerdil itu menjadi ciri khas halaman rumahnya. Tamu-tamu yang datang pasti mengaguminya.”

Percakapan begitu saja berakhir sebab Fani telah kembali ke kursinya. Fani tak menanggapi apa pun. Ia menyeruput habis tehnya. Aku tiba-tiba merasa bersalah telah bercerita seperti itu. Semestinya aku bisa mengerti bahwa keluhan-keluhan yang disampaikan Fani hanyalah akibat dari rasa letihnya.

Aku kembali melihat ke gedung kesenian. Marno dan istrinya kini sedang bersiap-siap menyeberang jalan. Aku melambaikan tangan. Tetapi Marno tak membalas lambaianku. Aku menyoraki beberapa kata. Ia juga tak membalas. Kini kulihat istrinya menunjukkan ekspresi wajah yang lebih sumringah dibandingkan Marno. Dengan kontras di wajah masing-masing, mereka kini berjalan lurus menuju restoranku. (*)


Ilustrasi: The Shell (1934) – Eileen Agar

Baca juga:
Bincang Buku Dekat dan Nyaring
Puisi-Puisi Ricky Ulu – Delapan Cara Mencintai Secara Ponu


Komentar Anda?