Menu
Menu

Album Perempuan Sabana ini merupakan sebuah karya bersama.


Oleh: Tim Publikasi Perempuan Sabana |


Proses ini telah menguatkan narasi sejarah gerakan perempuan di Sumba. Entah berapa panjang tahun-tahun ke depan nantinya, namun suatu saat ketika orang ingin mengetahui tentang apa yang terjadi dengan perempuan Sumba pada tahun-tahun penulisan puisi dan musikalisasi puisi ini, isu- isu apa yang kuat di era itu, maka album musik dan puisi Perempuan Sabana menjadi pintu masuk menyusuri segala perjuangan perempuan Sumba. Terima kasih juga telah berbagi cara “healing” yang positif bagi banyak perempuan di luar sana. Bahwa “healing” bukan sekadar menyembuhkan luka tetapi sekaligus mengambil komitmen dan melakukan aksi agar tidak ada lagi manusia bahkan alam yang “terluka” – Wenda Radjah (Aktivis perempuan asal Sumba).

Itulah sepenggal kesan dari salah satu pembicara, Wenda Radjah tentang acara peluncuran album musik dan puisi Perempuan Sabana karya Diana Timoria dan Edacitra pada hari Selasa, 30 November 2021 lalu. Acara yang diadakan secara daring melalui Zoom Meeting ini diramaikan dengan penayangan videoklip 4 (empat) lagu dan dilanjutkan dengan diskusi karya bersama para pakar di bidangnya, seperti; M. Aan Mansyur (penulis), Gilang Ramadhan (musisi), Luviana (jurnalis dan aktivis), dan Wenda Radjah (aktivis perempuan Sumba). Sesi diskusi dimoderatori oleh Marina Nasution dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta dan keseluruhan acara dipandu dengan ceria dan hangat oleh MC asal Sumba, Roswita Lodang.

Acara yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini, ditayangkan secara langsung melalui kanal Youtube Perempuan Sabana dan mendapat animo yang luar biasa. Kurang lebih 117 peserta yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang mendaftarkan diri dan hadir pada peluncuran ini; dari Sumba, Medan, Jakarta, Yogyakarta, Papua, dan tempat-tempat lainnya. Sebagai pembuka, Bupati Sumba Timur, Drs. Khristofel Praing, M.Si. memberikan sambutan melalui rekaman video yang sebelumnya dikirim ke panitia.

Perempuan Sabana, Sebuah Karya Bersama

M. Aan Mansyur, penulis puisi yang baru-baru ini mendapat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-21 berpendapat, puisi-puisi Diana banyak mengungkapkan tentang perempuan dan alam serta kedekatan hubungan di antara keduanya. Sementara itu, Luviana sebagai jurnalis dan aktivis buruh perempuan menjelaskan persoalan pekerja kreatif terutama golongan prekariat, yakni pekerja kontrak dan juga pekerja dengan kontrak tidak jelas di kalangan pekerja kreatif.

Gilang Ramadhan selaku musisi senior tanah air, mengungkap bagaimana persoalan proses pembuatan lagu serta produksi musik bukanlah pekerjaan yang mudah—sebagaimana pengalamannya selama ini. Sementara Wenda Radjah melalui pemaparannya, mengungkapkan bahwa album ini bisa menjadi media advokasi yang elegan terkait isu gender dan kemanusiaan melalui kolaborasi, dokumentasi, diseminasi, dan gerakan yang dekat dengan jiwa anak muda.

Elson Umbu Riada, pemusik tradisional asal Sumba yang juga turut hadir pada acara ini berpendapat bahwa kolaborasinya dengan Diana Timoria dan Edacitra di dalam album ini, yakni di lagu Pengembaraan menjadi jalan promosi musik Sumba agar lebih dikenal oleh dunia di luar Sumba, sebagaimana yang selama ini terus diperjuangkan oleh para musisi Sumba.

Diana Timoria menutup diskusi malam itu dengan mengungkapkan bahwa album ini merupakan sebuah karya bersama. Ia telah menyerahkan karya ini kepada publik sehingga karya ini tidak didedikasikan untuk perempuan Sumba saja, tetapi juga untuk semua perempuan di mana pun berada. Edacitra berharap, puisi-puisi Perempuan Sabana segera dibukukan dan disebarluaskan ke orang banyak.

Menulis Puisi sebagai Ungkapan Kegelisahan

Sejak tiga tahun belakangan, Diana Timoria, perempuan penulis asal Sumba, Nusa Tenggara Timur, mulai menulis puisi tentang kegelisahannya atas kisah hidup perempuan Sumba yang ia temui di setiap perjalanannya. Ada banyak soal: menahan mimpi untuk sekolah tinggi, terpaksa pergi jauh dan bekerja di luar negeri, mengidap gangguan jiwa dan dihakimi, dipaksa kawin dan diam di rumah, serta banyak polemik lainnya. Diana yang juga merupakan pegiat sosial dan kemanusiaan di Sumba menuangkan kegelisahannya itu ke dalam puisi yang ia namai Perempuan Sabana.

Puisi-puisi itu kemudian dibaca oleh banyak orang, termasuk sahabatnya Edacitra, perempuan asal Medan, Sumatera Utara yang juga pernah tinggal di Sumba setahun lamanya. Sepulangnya ke Medan, Edacitra bersama Tengku Ariy, produser Ringo Records Medan, berinisiatif untuk mengadaptasi empat puisi Perempuan Sabana tersebut menjadi sebuah album musik, yang pada akhirnya dinamai: Perjalanan, Pengembaraan, Lintasan, dan Kepulangan. Empat videoklip Perempuan Sabana ini sudah bisa ditonton di kanal youtube Perempuan Sabana dan didengarkan di berbagai media digital lainnya, seperti; Spotify, dan iTunes. (*)

Perempuan Sabana: Perjalanan


Baca juga:
Puisi-Puisi Joko Pinurbo – Khong Guan
Puisi-Puisi Louise Glück – Bunga Iris Liar

Kirim tulisan tentang geliat literasi di sekitar kalian ke [email protected] dan mari berbagi cerita kepada semua orang yang berkehendak baik. Salam.


 

Komentar Anda?