Menu
Menu

Apakah kita akan tiba di masa yang informasi salah dan benar menjadi kabur? Jangan-jangan kita sudah tetapi lupa karena kita memang cenderung lupa dengan cepat.


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Tinggal di Ruteng.


Bukan tentang jumlah hari, minggu, atau bulan tetapi tentang: Eh, ini sudah akhir tahun? 2021 adalah tahun yang singkat. Cepat. Rasanya begitu. Bandingkan dengan 2020 yang seperti berabad-abad lamanya. Agak aneh, tentu, sebab masalah di dua tahun itu sama. Covid-19.

Di 2020, virus itu menghentikan banyak sekali aktivitas. Rencana-rencana baik yang jadi resolusi akhir tahun 2019 hanya selesai di titik ancang-ancang. Februari masih baik. Kado Hari Kasih Sayang masih disampaikan secara langsung, lengkap dengan makan malam yang layak dikenang atau tatapan malu-malu senang. Maret datang. Virus yang semula dipercakapkan di ruang-ruang kerja tanpa pekerjaan sebagai sesuatu yang terjadi di negeri yang jauh kini di depan mata. Senin, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara positif virus corona (Covid-19). Kasus pertama menimpa dua warga Depok, Jawa Barat. Tertular di lantai dansa.

Tak ada lagi pesta setelahnya di Indonesia. Larangan demi larangan, perubahan protokol kesehatan yang terjadi berulang-ulang, kepanikan yang menjadi susah dikendalikan, pemakaman yang disaksikan oleh orang-orang dekat dari tempat yang jauh, dan apa lagi?

Kita di rumah saja. Mengubur segala macam rencana, mengembalikan ancang-ancang ke tempat semula sembari menumpuk doa di atasnya: semoga situasi segera membaik. Tetapi situasi tidak membaik, bukan? Waktu berjalan lambat sekali. Sebuah tahun yang panjang, tahun 2020.

Lalu datang 2021. Tahun yang di bulan-bulan awal datang dengan bpm yang sama di metronomnya. Maksudnya, sama pelannya dengan waktu terbesar di 2020. Kemudian mendadak berubah. Waktu yang berjalan segera beralih menjadi waktu yang berlari. Cepat. Supercepat di caturwulan kedua. Lebih-lebih lagi di akhir tahun, tetapi bukan rencana kita yang dulu, Sayang. Rencana orang-orang, barangkali. Yang mau tidak mau harus seolah-olah menjadi rencana kita.

Ada yang menghitung jumlah kejadian di luar rencana yang telah dia ikuti tahun ini? Siapa yang kemudian mencatat kejadian-kejadian itu dalam portofolionya masing-masing sekarang? Sebutkan nama orang-orang yang lupa pada rencana besarnya di akhir tahun 2019 silam. Kita. Ya. Atau sebagian besar dari kita. Yang lupa mencatat jumlah pertemuan virtual yang telah diikuti, jumlah diskusi yang entah bagaimana membuat kita merasa lebih berarti padahal belum tentu; yang terkagum-kagum menyaksikan munculnya akun youtube seumpama cendawan di musim hujan, yang berniat membuat akun youtube sendiri sembari berdoa agar target Adsense segera terpenuhi; yang memproduksi konten secepat cahaya agar tidak kehilangan kebaruan, menulis sepotong berita dan menayangkannya cepat-cepat agar bisa meliput ke titik lain sebab itu adalah tugas wartawan sekarang ini; yang pergi terburu dan pulang terlambat sebab tahun ini segera berakhir sedangkan kita masih berutang banyak pekerjaan, yang kehilangan waktu dengan anak-anak dan orang-orang tercinta..

29 November 2021 ketika saya menulis Jangka kali ini adalah peringatan keempat tahun meninggalnya Bondan Winarno. Bondan Winarno, sebelum kemudian lebih terkenal dengan “maknyus”, adalah seorang wartawan yang dengan sangat baik melakukan apa yang kita kenal sebagai Jurnalisme Investigasi. Salah satu yang paling sering dibicarakan (dan pernah ditulis Tirto.id) Investigasi Bondan Winarno terhadap Perusahaan Tambang Kanadasebuah investigasi yang panjang dan jauh dan mengakibatkan bangkrutnya perusahaan emas Bre-X.

Bulan November tahun 1995, program 60 Minutes di TV CBS menayangkan kisah Jeffrey Wigand, seorang pengungkap aib dalam industri tembakau. Tetapi tayangan itu tidak lengkap sebab terdapat masalah: industri tembakau yang tahu bahwa ‘kerja gelap’ mereka akan bocor ke publik dan berisiko menghancurkan mereka, dikhawatirkan akan melakukan ‘kerja gelap’ lainnya. Kisah ini kemudian diangkat ke layar lebar. Pernah nonton The Insider? Kisah ini ada di film yang diproduksi tahun 1999 itu, diadaptasi dari artikel Marie Brenner di Vanity Fair edisi 1996 berjudul “The Man Who Knew Too Much”, tentang pengungkap aib industri tembakau Jeffrey Wigand. 

Dalam The Insider, tokoh pentingnya adalah Lowell Bergman, diperankan Al Pacino, seorang produser dan wartawan CBS yang berhasil membujuk Jeff Wygand untuk membocorkan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh pabrik rokok untuk membuat produknya tetap disukai banyak orang. Apa itu? Mereka menambah kadar nikotin dari yang seharusnya dan berakibat pada rasa ketagihan: konsumen selalu membeli. Wawancara ini sempat tak lolos siar karena petinggi CBS takut jika perusahaan rokok tempat Wygand pernah bekerja akan menuntut mereka dengan nilai yang sangat besar. Pada bulan November 1995, yang ditayangkan adalah versi sunting ketat. Lowell Bergman tidak puas dengan keputusan petinggi CBS itu dan memutuskan berusaha lebih keras lagi: berjuang-panjang-keras-berisiko. Hasilnya baik. Wawancara utuh kemudian ditayangkan pada bulan Februari 1996.

29 November 2021, Benedictus Benny Hadi Utomo meninggal dunia setelah berjuang melawan Covid-19 beberapa hari terakhir. Bens Leo nama populernya. Seorang pengamat musik andal di Indonesia. Yang pengetahuannya, tulisannya, rekomendasinya, kritiknya, berpengaruh besar atas nasib orang di industri musik. Bens melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan tekun sebab begitulah seharusnya seseorang bekerja; terburu-buru akan membuat kita adalah makhluk-makhluk permukaan. Semoga Pak Bens beristirahat dalam damai.

Bondan Winarno, Lowell Bergman, Bens Leo adalah tiga dari banyak nama yang dulu bekerja ‘tir penting cepat yang penting tepat’ di industri media massa. Ya. Dulu. Sekarang, rasanya, semua bekerja terlalu cepat. Saking cepatnya kadang keliru, lalu dengan segera minta maaf tetapi juga tidak menghapus kekeliruan itu atau berusaha mencari informasi yang lebih tepat. Yang penting tayang. Salah urusan kemudian. Setelah itu kita cari informasi yang baru sebab para pembaca akan dengan segera melupakan yang lama. Sah-sah saja sebenarnya sampai kita sadar bahwa apa yang telah tertulis akan tetap tertulis; yang salah akan tetap dapat diakses beberapa tahun kemudian tanpa informasi pendukung lain bahwa itu adalah cerita yang salah.

Apakah kita akan tiba di masa di mana informasi salah dan benar menjadi kabur? Jangan-jangan kita sudah tetapi lupa karena kita memang cenderung lupa dengan cepat.

Lupa telah menjadi seperti nama tengah. Apa yang kau ingat tentang cita-cita besarmu di akhir 2019 sebelum membaca tulisan ini? Saya tidak ingat apa-apa sampai hari menulis ini dan menyalahkan tahun ini yang terlampau cepat. Mengingat Bondan, Bens, Bergman menyadarkan saya akan pentingnya tidak tergesa-gesa. Beberapa mimpimu tidak boleh lenyap karena suatu saat dia akan menepuk pundakmu.

Ah, iya. Sebuah tayangan tentang Brasil di National Geographic saya saksikan beberapa tahun lalu. Seorang walikota di Brasil pernah memimpin selama tiga periode dan pada masa itu kota yang dipimpinnya berkembang pesat dan sangat manusiawi. Menurutnya, apa yang dia buat untuk kotanya adalah wujud mimpi-mimpinya ketika masih muda dan kuliah arsitektur. Kepada pewawancara dari Nat Geo dia bilang: “Suatu saat, pundakmu akan ditepuk dari belakang. Saat kau menoleh, di sana ada mimpi-mimpimu.”

Saya menulis tentang mimpi-mimpi yang menepuk pundak ini di blog saya beberapa tahun silam. Mimpi-mimpi yang belum sempat terwujud itu akan datang dan bilang, “Halo, ini kami. Masih ingat?” Kau akan jawab apa pada mimpi-mimpimu itu?

Waktunya lebih tenang (lagi) sekarang. Atau tahun depan. Atau lebih cepat, mengambil lagi ancang-ancang yang sudah telanjur disimpan di lemari 2020. Atau kita hanya akan menjalankan rencana orang lain di tahun yang baru. (*)


Ilustrasi dari pexels.com.

Baca juga:
Cerpen: Pengincar Perempuan Tuantu
Cerpen: Sejarah Donat


Komentar Anda?