Menu
Menu

Bagaimana Arafat Nur mengelola emosinya ketika menulis Kawi Matin di Negeri Anjing?


Oleh: Gregorius Reynaldo |

Pustakawan di Klub Buku Petra. Penyiar di Radio Manggarai. Podcaster di Tap to Talk.


Membaca Kawi Matin di Negeri Anjing menghadirkan banyak pengalaman ke dalam bincang buku kami malam itu. Maria pada perjalananya ke Aceh beberapa tahun silam, Hermin pada pengalamannya berinteraksi dengan teman-teman ODGJ, dan Dokter Ronald pada lagu Iwan Fals, Cemburu.

Bincang buku ke-32 berlangsung di perpustakaan Klub Buku Petra 9 Oktober 2021 kemarin. Diikuti oleh 10 peserta, bincang buku edisi kali ini membahas novel karya Arafat Nur, Kawi Matin di Negeri Anjing.

Beato yang baru pertama kali mengikuti bincang buku bersama Klub Buku Petra adalah pemantik malam itu. Menurut Beato, pengalaman tumbuh besar di tengah gejala politik, perang, dan konflik berkepanjangan di Aceh membuat Arafat mampu menuangkan semua kegelisahannya ke dalam novel ini dengan baik. Ini juga yang membuat novel ini terasa dekat bagi Beato. Tokoh bernama Kawi juga secara kebetulan dalam sastra Jawa Kuno berarti seorang penyair.

“Selama proses membaca, saya merasa ada proses dialog dengan pembaca, sehingga teks menjadi lebih kaya. Dia tidak hanya terbatas pada teks, tetapi bisa dikaitkan dengan pengalaman pembaca. Membaca buku ini membuat saya tergugah. Begitu banyak penderitaan yang dialami Kawi membuat saya terlibat secara emosional, walaupun sangat melelahkan.”

Penderitaan dalam novel Kawi Matin oleh Beato coba dijelaskan dengan buku Paul Budi Kleden berjudul Membongkar Derit: bahwa bentuk-bentuk penderitaan dalam karya seni lebih mengendap dalam ingatan masyarakat. “Jadi sejarah tentang konflik tidak hanya disampaikan dengan statistik korban sebagaimana dalam cerita sejarah, tapi hal-hal seperti ini (hal-hal personal) lebih menyentuh perasaan,” lanjut Beato.

Menurut Beato, Arafat melalui novel ini pandai mengelola emosi pembaca. Setelah penderitaan dan kesedihan yang tidak habis-habis, Beato ingin melihat Kawi melakukan perlawanan atau balas dendam terhadap penderitaan-penderitaan yang dialaminya menjadi semakin kuat. “Ada bagian di otak yaitu dorsal striatum yang kalau zona itu penuh dengan darah, emosi menjadi memuncak dan perlu dilampiaskan. Ketika membaca ini, saya seperti merasakan itu, termasuk keinginan agar Kawi, setidaknya, melakukan sesuatu sebagai bentuk balas dendam.”

Kedekatan terhadap kesedihan dan penderitaan serta bagaimana Arafat mengelola emosinya ketika membaca Kawi Matin di Negeri Anjing membuat Beato memberi bintang lima terhadap novel ini.

Setelah Beato, giliran Lolik Apung membagikan hasil pembacaanya. Lolik terkesan dengan teknik yang dipilih Arafat Nur dalam menulis Kawi Matin di Negeri Anjing. Jika biasanya penulis menggunakan kisah-kisah percintaan atau perselingkuhan untuk menarik pembaca, Kawi Matin menggunakan penderitaan untuk mengejar itu. Namun penderitaan, menurut Lolik, pada akhirnya membuat semua orang sama. Di hadapan penderitaan, semua orang sama dan penderitaan menjadi titik tolak bagi orang-orang untuk berjuang bersama.

Dari sisi cerita, Kawi Matin di Negeri Anjing menurut Lolik cukup sarkas. Arafat menulis dengan marah sekali, dan kemarahan ini menurut Lolik juga muncul dalam buku-buku Arafat Nur sebelumnya, Lampuki misalnya.

Sejumlah kisah yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini menurut Lolik menjadi refleksi tersendiri untuknya. Kawi yang pincang, saudaranya mati diseruduk lembu, ayah Kawi yang gila, ibu yang sakit-sakitan, dan kekasihnya diperkosa. Juga teman-teman seperjuangannya yang meninggalkan dia serta para veteran yang berbalik. Dua hal terakhir ini menjadi catatan tersendiri pada hasil pembacaan Lolik. “Saya pikir ini menggambarkan apa yang terjadi Indonesia. Dulu ketika 1965 dan 1998 misalnya, orang-orang turun ke jalan, berdemonstrasi, sampai dikejar-kejar aparat. Lalu ketika orang-orang yang dulunya turun ke jalan ini menjadi bagian dari sistem, mereka akhirnya menjadi tidak ada bedanya dengan sistem dulu yang mereka kritisi. Pantas saya pikir, Arafat menulis dengan marah.”

Tentang penderitaan yang intens, pembaca mungkin menginginkan adanya perlawanan di tengah cerita, atau setidaknya penderitaan tersebut segera selesai. Tetapi rangkaian penderitaan ini bisa jadi adalah fakta yang memang harus seperti itu. Arafat punya energi untuk menulis kesedihan ini hingga selesai dan detil.

Rini mengambil kesempatan setelah Lolik. Melihat judulnya saja, Rini sudah membayangkan cerita yang sadis dalam buku ini. Keterangan “di Negeri Anjing” pada judul menjadi semacam petunjuk kemarahan pengarang dalam cerita yang dia tulis.

Kisah dalam novel ini cukup dekat. Rini mencoba membanding-bandingkannya dengan situasi di sekitar. Masyarakat miskin, sumber daya yang kurang, memaksa masyarakat lebih memilih dukun ketimbang harus jauh ke pusat kesehatan, dan bagaimana cara mereka menerima ketakberdayaan dan berdamai dengan hal-hal seperti itu. Membaca dan memahami situasi seperti ini membuat Rini menjadi lebih bersyukur setelah membaca Kawi Matin di Negeri Anjing.

Setelah Rini, ada Hermin yang membagikan hasil pembacaanya. Hermin mengaku tidak kaget dengan isi buku ini, mengingat dalam beberapa kesempatan bincang buku, ada cukup banyak buku yang mengangkat cerita yang hampir sama: kesedihan. Pengalaman selama hampir empat tahun merawat teman-teman Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Panti Rehabilitasi Renceng Mose, juga membuat Hermin dengan mudah membayangkan tokoh Kawi dalam novel. Menurut Hermin, kondisi sosial seseorang berpengaruh terhadap perlakuan yang dia terima di lingkungannya. Itulah yang Hermin lihat; bagaimana tokoh-tokoh utama dalam buku ini dibangun.

“Ada beberapa hal dalam buku ini yang saya rasa dekat sekali dengan kehidupan kita di Manggarai. Seperti pilihan untuk ke dukun, lalu kondisi SDM masyarakat yang masih rendah misalnya,” yang lalu dijelaskan oleh Hermin pada sejumlah kisah, seperti pada kisah ayah Kawi yang khawatir apakah lembu bunting setelah minum air kencing anaknya.

Menutup hasil pembacaannya, Hermin mengutip sebuah kalimat di halaman 135 tentang situasi di negeri anjing. Pada akhirnya ketika kita tidak bisa menjadi orang baik, sekalian saja jadi orang jahat.

Setelah Hermin, Afin yang juga baru pertama kali mengikuti bincang buku bersama Klub Buku Petra membagikan hasil pembacaannya. Menurut Afin, gaya penulisan Arafat Nur dalam Kawi Matin mirip dengan apa yang dia temukan ketika membaca novel-novel Eka Kurniawan. “Saya pikir Arafat menyalurkan apa yang dia ingin disampaikan tanpa perlu memandang siapa pembaca tulisannya.”

Membaca sejumlah kisah dalam novel ini bagi Afin membuatnya teringat dengan beberapa buku lain yang pernah dia baca sebelumnya. Perilaku sogok menyogok yang diceritakan di bagian akhir membuatnya teringat dengan buku Negeri Para Bedebah karya Tere Liye. Tragedi pemerkosaan terhadap Neung Peung juga mengingatkannya dengan novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer.

Nadya yang mendapat kesempatan setelah Afin mengaku tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca buku ini. Itu terjadi karena alur cerita dalam novel Arafat Nur ini, maju dengan cepat. Meski demikian, Nadya menemukan beberapa pengulangan kisah atau penggambaran tentang tokoh tertentu yang membuat ingatannya terhadap kisah tersebut menjadi semakin kuat.

Menurut Nadya, gambaran tentang aparat dalam buku ini hampir sama dengan apa yang digambarkan Faisal Oddang lewat novel Tiba Sebelum Berangkat. Aparat dalam buku-buku sejarah jauh berbeda dibanding dalam dua buku yang dia baca ini. Membaca Kawi Matin membuat Nadya melihat gambaran lain di balik pemberontakan-pemberontakan yang lama terjadi di Indonesia.

Setelah Nadya, ada Retha. Retha mulai dengan sampul buku yang menurutnya adalah sekumpulan peluru dengan satu peluru yang berbeda dari yang lain, sebagai penggambaran Kawi Matin yang berbeda dengan anak-anak lain seusianya.

Ketika selesai membaca Kawi Matin di Negeri Anjing, Retha melihat kembali beberapa buku yang dipilih untuk dibincangkan Klub Buku Petra sebelumnya. Aib dan Nasib, Tiba Sebelum Berangkat, dan beberapa buku lain yang juga bercerita tentang kesedihan dan penderitaan. “Saya khawatir, setelah banyak membaca cerita-cerita seperti ini, saya menjadi mati rasa” kata Retha. Dan kami semua tertawa.

Membaca Kawi Matin juga membuatnya lebih mengenal Indonesia ketimbang buku-buku sejarah yang dia baca semasa SD sampai SMA. Pertanyaan-pertanyaan tentang nasionalisme mengganggu kepalanya, membuatnya bertanya-tanya lagi bagaimana jiwa nasionalis kita seharusnya tampak.

Maria Pankratia yang mendapat giliran setelah Retha mulai dengan pengalamannya berkunjung ke Aceh 2004 silam, beberapa bulan sebelum tsunami menghantam daerah itu. Pengalaman pergi ke Aceh pada saat itu membantu Maria menggambarkan Aceh yang diceritakan Arafat Nur dalam buku ini.

Tentang isi Kawi Matin, Maria merasa Arafat Nur benar-benar mencurahkan penderitaan-penderitaan yang dia alami ke dalam buku ini. “Kita lebih bisa menulis atau menghasilkan sesuatu dalam situasi sulit. Kita betul-betul tenggelam dalam situasi tersebut dan merayakan penderitaan-penderitaan itu. Penderitaan itulah yang akhirnya menjelma tulisan atau karya-karya seni yang lain. Saya pikir itu yang banyak dialami oleh para penulis maupun seniman sehingga tidak heran jika kita sering menemukan karya-karya yang terasa begitu kuat serta tanpa kita sadari memberi begitu banyak pengaruh.”

Juga Jakarta dalam buku ini digambarkan buruk sekali, terutama bagaimana Jakarta melihat daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur misalnya, sangat perlu untuk dibela. Meski sebenarnya, masyarakat di wilayah itu tidak merasa perlu untuk dibela dan baik-baik saja.

Saya mengambil kesempatan setelah Maria. Di halaman tiga, ketika sang ayah memberinya nama Kawi Matin yang berarti kuat dan kukuh, saya sudah merasa bahwa anak ini akan mengalami hidup yang tidak mudah. Mereka hidup di tahun-tahun konflik.

Saya pikir beberapa Bincang Buku Petra setahun terakhir banyak membahas novel-novel yang penuh dengan konflik: masyarakat dengan negara, masyarakat adat dengan agama, dan konflik antar masyarakat. Beato dan Lolik sudah memperkuat dengan hasil pembacaan mereka tentang konflik membuat cerita lebih mudah diingat. Membaca Kawi Matin juga tidak benar-benar asing karena Arafat Nur pada beberapa novelnya juga bercerita tentang Aceh. Seperti pada Lampuki. Saya membacanya beberapa tahun silam. Arafat sepertinya tidak kehabisan bahan untuk menulis soal Aceh.

Kesempatan terakhir menyampaikan hasil pembacaan malam itu menjadi milik Dokter Ronald Susilo. Dokter Ronald mengaku sudah membaca ulang buku ini sampai tiga kali. Menurut Dokter Ronald, gaya Arafat Nur bercerita dalam buku ini mirip dengan Putu Wijaya. “Bahasanya mirip. Tanpa tedeng aling-aling.”

Setelah membaca beberapa buku Arafat Nur, Dokter Ronald paling menyukai Kawi Matin di Negeri Anjing. Arafat Nur dalam buku ini mampu menulis dan mengekspresikan emosi-emosinya dengan baik. Teknik dalam buku ini juga mengingatkannya dengan buku Save The Cat! The Last Book on Screenwriting You’ll Ever Need. “Buku ini terkenal soal cara penulisan novel. Ada satu tips dalam buku ini, kalau mau menghadirkan tokoh, ciptakan sebanyak mungkin kesengsaraan dalam diri tokoh.”

Sebelum mengakhiri hasil pembacaan dan bincang buku kami malam itu, Dokter Ronald memutarkan lagu Iwan Fals, Cemburu. Lagu yang tanpa sengaja muncul di kepalanya setelah membaca buku ini berulang-ulang. Kami habiskan sisa waktu malam itu dengan mengulang-ulang lagu tersebut, sebelum akhirnya kembali ke kamar masing-masing dan merenungi hidup yang kadang seperti Kawi Matin di Negeri Anjing!

Ada kamu yang mengatur ini semua//tapi rasanya percuma//ada yang janjikan surga//tapi neraka terasa.


Baca juga:
Bagaimana Pandemi Mengubahmu Menjadi Gregor Samsa
Membaca Burung Kayu, Sebuah Novel Etnografi yang Sukses


Komentar Anda?