Menu
Menu

Aku, Kalaya, dan Phichai lebih banyak menghabiskan waktu dengan Paman dibandingkan Ayah dan Ibu yang sibuk dengan bunga-bunga teratai mereka.


Oleh: Dewi Kharisma Michellia |

Seorang penulis, penerjemah, dan editor. Kini bermukim di Jakarta.


Di siang yang terik itu, Paman Hansa pulang bersama Kalaya dan Phichai dengan membawa bahan dan racikan bumbu untuk membuat som tam. Saat mereka datang, Ibu masih mengurai serat-serat teratai di teras rumah. Baru pagi tadi lagi-lagi aku mendengar Ayah mengeluhkan kepada Ibu soal panen teratai yang hampir gagal karena hama siput. Awalnya siput-siput itu dibudidayakan untuk diekspor ke Eropa dan menjadi makanan, tapi lambat laun justru berkembang menjadi hama.

Pada tahun-tahun di masa silam, kain-kain sutra terbaik memang lebih banyak diimpor oleh orang-orang di negeri ini dari Suzhou. Kualitas kepompong dan teknik pengolahan kain sutra mereka jadi alasan pemerintah mengimpor. Pada kenyataannya, kami tahu itu hanya gara-gara harganya murah saja. Karena itu, kami tak gentar bersaing. Produksi sutra dari teratai kami pikir bisa diteruskan, karena kami bersaing dengan memproduksi sutra organik dan dengan pewarna alami. Begitulah kemudian orang-orang di desaku terus berusaha untuk memperbaiki kualitas. Teratai dibudidayakan dan dirawat dengan lebih telaten. Untuk pewarnaan kain, Ayah memasok nila, kayu nangka, akar jinten, lumut, buah beri, dan kulit pohon kunyit yang memberikan warna kuning khas dan menjadikan kain produksi kami tak dipandang remeh. Kini, Ayah hanya tinggal berurusan dengan bagaimana caranya mengatasi hama-hama itu.

Satu demi satu lagu Carabao terlantun di udara saat Paman Hansa melepas helai demi helai pakaian yang dikenakannya. Dapat kulihat beberapa bekas luka di punggungnya yang telah lama mengering. Entah apakah Kalaya sempat melihat beberapa luka yang telah lama mengering itu, tapi dengan tangkasnya adik perempuanku itu segera membawa tumpukan baju kotor dengan baskom untuk dicuci di belakang rumah.

Sementara melihat mereka membersihkan diri, aku masih terpekur di ayunan rumah kami, menikmati kesendirianku dengan buku bacaanku, karya Jit Phumisak pemberian Paman Hansa beberapa pekan lalu. Phichai, adik lelakiku, tak lama kemudian ikut duduk di ayunan di hadapanku. Dia menyerahkan sepiring som tam ke arahku. Kutaruh buku di pangkuan dan lantas menyuapi sesendok untuknya.

“Enak? Bagaimana perjalanan kalian sepekan ini?” tanyaku.

Paman Hansa adalah seorang petualang. Usianya sudah 60 tahun sekarang, dan sejak kami kecil masing-masing dari kami sudah menemani Paman untuk melakoni berbagai pekerjaan serabutan mengelilingi negeri.

Dari menumpang van dan pikap atau bus yang lewat untuk menjual rajutan sutra ibu di Pasar Phahurat, berdagang bunga di Sang Khom yang hanya bakal laku keras pada hari-hari Festival Loi Krathong, hingga menjadi pemandu wisata bagi farang di pasar malam Patpong. Atau, sekadar iseng pasang judi togel tiap minggu kedua dan keempat di Rayong atau Nakhon Ratchasima.

Dari cerita Phichai, aku jadi tahu Paman Hansa sempat menghajar sampai babak belur seorang penipu di Patpong. “Oh, ya?” tanyaku terbahak.

“Ya, dan kita tahu Paman punya lebih banyak teman preman setempat. Tentu dia yang menang.”

“Seru sekali, bertemu banyak chao-poh,” komentarku. “Seandainya aku ikut.”

“Kakak sudah siap untuk ujian?” tanya Phichai.

Aku mengangguk, dan Phichai memberikan senyumnya yang begitu lebar.
Pekan depan, aku yang akan pergi ke Bangkok dengan Paman Hansa, tapi tidak seperti biasanya, kali ini untuk mengikuti ujian masuk Universitas Thammasat. Sementara aku ikut ujian, Paman sudah merencanakan dia akan menjual jimat (phra khrueang) atau membacakan rasi bintang (jyotisha) para pengunjung di pasar dekat kampus Tha Phra Chan. Dia selalu tahu apa yang bisa dijual dan bagaimana cara membawa uang pulang ke rumah, atau sekadar mengganti ongkos perjalanan kami pulang-pergi Bangkok.

Sebetulnya aku tidak merasa cukup pintar untuk perlu melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, Paman Hansa memaksaku karena kebetulan beberapa bulan lalu dia menang judi togel. Ia menukar simbol yang ia lihat dalam mimpinya dengan satu tiket lotere pemerintah seharga 40 baht, dan aku masih ingat wajahnya yang sumringah saat memenangkan hadiah lotere 100.000 baht itu. Saat itu, ia langsung yakin ia harus menggunakan hadiah itu untuk membiayai kuliahku.

Maka, begitulah, kini aku diwarisinya buku-buku Jit Phumisak yang selama ini disimpannya rapat-rapat di dalam lemari. Paman ingin aku mengenal tiga generasi gerakan radikal di negeri ini. “Dan kita harus bangga orang kita pernah turun ke jalan menjadi Kaus Merah,” ujarnya saat memberikan buku itu kepadaku, Wajah Sejati Feodalisme Thailand.

Sebagian besar generasi pertama radikal ini adalah komunis Tiongkok-Thailand yang punya hubungan dekat dengan Partai Komunis di Tiongkok dan Vietnam sebelum dan selama Perang Dunia II. Beberapa dari mereka ikut mendirikan Partai Komunis Siam pada 1930, yang kemudian menjadi Partai Komunis Thailand pada 1952. Jit, idola Paman Hansa, lahir tahun 1930. Generasi kedua adalah kalangan intelektual urban yang menyebarkan sosialisme ke seantero negeri. Dan generasi ketiga terdiri dari para aktivis mahasiswa yang menentang rezim militer Thanom Kittikachorn dan terlibat baku hantam dengan pasukan paramiliter dalam kerusuhan Oktober 1976, lantas masuk ke hutan dan menjalankan gerakan klandestin.

Paman Hansa adalah salah seorang aktivis dari generasi ketiga, ikut dalam gelombang kerusuhan itu, dan masih menyimpan banyak bacaan radikalnya semasa di kampus Thammasat dulu. Kekasihnya sejak masa sekolah menjadi korban yang tewas dalam kerusuhan dan Paman Hansa karena demikian mencintainya lantas memutuskan hidup selibat.

Kisah hidup Paman Hansa berbeda dengan banyak temannya yang dituduh komunis dan kini menjadi biksu Buddhis. Salah seorang temannya yang biksu, selain membantu pembangunan desa, malah dengan berani berurusan dengan chao poh setempat di Dataran Tinggi Korat. Sementara Paman Hansa memilih hidup biasa-biasa saja mengurus para keponakannya.

Aku, Kalaya, dan Phichai lebih banyak menghabiskan waktu dengan Paman dibandingkan Ayah dan Ibu yang sibuk dengan bunga-bunga teratai mereka. Kami tumbuh besar dengan kisah-kisah pergerakan Paman dan lagu-lagu perjuangan yang didendangkannya. Tentang mengapa orang-orang Isan tersisihkan, sementara Kawasan Thailand dan Bangkok tengah dan makin bersinar di kejauhan. Tentang kebijakan pemerintah yang menjadikan wilayah kami kering. Atau tentang beberapa penduduk asli Isan yang berhasil memperoleh jabatan politik lebih tinggi, tapi lantas didiskriminasi oleh negara.

Pada 2009, saat usia Paman barulah 50 tahun, ia ikut turun ke jalan bersama gelombang Kaus Merah yang berasal dari Isan dan tidak menerima Thaksin Shinawatra digulingkan dari pemerintahan. Thaksin melakukan banyak perubahan bagi wilayah kami. Sangat aneh bila kami tidak membalas balik jasa baiknya. Puluhan ribu orang menduduki Bangkok dan menyerbu parlemen. Beberapa pemimpin kelompok ditangkap, beberapa demonstran lainnya tewas, dan Paman Hansa lagi-lagi dapat menyelinap kabur dari kerusuhan itu tanpa perlu menghadapi masa-masa penangkapan.

Sebagai orang Sakonnakhorn, Paman selalu bangga mendapuk diri anti-monarki dan sekaligus anti-junta militer. Di desa kamilah, Desa Nongkung, Jit dibunuh dan patungnya lantas didirikan untuk memperingati hari wafatnya. Aku masih ingat bagaimana Paman Hansa mengajak kami bertiga untuk mampir, sekadar untuk mengenal patung itu. Sementara, Paman hanya tersenyum saja saat melihat warga setempat meminta petunjuk lotere dengan memberi sesajen kepada patung itu berupa rokok dan bir yang dipercayai sebagai kesukaan Jit.

Terlalu banyak cerita, latar belakang, dan alasan hingga kenapa kemudian Paman merasa aku perlu menjadi terdidik dan melek politik. Meski sebelum ia memenangkan lotere, kami tidak tahu bagaimana hal itu mungkin. Keluarga kami terlalu miskin untuk mengirimku lanjut sekolah.

*

Akhirnya, aku ikut tes masuk universitas, dinyatakan lulus, dan tinggal siap berangkat ke Bangkok.

“Aku tertipu teman,” tapi begitulah petang itu Paman Hansa menyampaikan kepada kami saat makan malam bersama.

Aku berusaha menelan habis hor mok yang masih kukunyah sembari menatap Paman Hansa lekat-lekat.

“Uang judi lotere yang semestinya untuk biaya kuliah Somchai tadinya mau kuputar dengan judi kripto yang dijanjikan temanku, aku percaya dan memberikan semuanya, tapi semuanya ludes,” lanjutnya.

Paman Hansa mengira 100.000 baht dapat ia putar menjadi 1.000.000 baht lantaran iming-iming itu. Paman memang sangat gemar berjudi, dari sabung ayam, adu kerbau, taruhan saat lomba perahu, hingga judi kuda pernah disambanginya. Aku sungguh tak heran jika ia kemudian tertarik mencoba berjudi kripto. Wajahnya begitu pucat saat menyampaikan pengalamannya tertipu itu kepada kami. Seakan-akan ia menjelma orang paling jahat dalam hidup kami lantaran tak menepati janji.

Aku tidak masalah untuk tidak usah pergi ke Bangkok dan melanjutkan studi. Hidup menganggur dan sewaktu-waktu berkeliling Thailand untuk mencari peruntungan sudah menjadi jalan hidup yang kubayangkan akan kulakukan selama puluhan tahun ke depan.

Hanya saja, aku tidak menyangka malam itu adalah kali terakhir aku melihat Paman Hansa bernyawa. Pagi itu, sepucuk surat tergeletak di meja sebelah ranjangnya. Ada sebuah wasiat dan surat asuransi jiwa menyertai surat itu.

Saat Kalaya dan Phichai menangis di ranjang Paman Hansa, jasad sang paman tengah diotopsi di ruang jenazah. Ia dinyatakan tewas tertabrak truk.

Aku tidak pernah membayangkan seorang sosok dengan pemikiran revolusioner sepertinya akan pernah repot-repot mengurus kepemilikan surat asuransi jiwa. Tapi, sekarang aku paham apa yang membuatnya begitu gigih setiap bulan selalu berkeliling Thailand untuk mengais rejeki, dan melakukan pekerjaan apa pun, bahkan memasang judi lotere. Dia menyisihkan sebagian besarnya untuk surat asuransi ini.

Dalam suratnya yang khusus dia tujukan untukku, ada permintaan maafnya, “Masih banyak hal yang belum kulakukan dalam hidup yang singkat ini. Dapatkah kau melanjutkannya untuk Paman? Lagipula aku sudah terlalu tua untuk tetap hidup,” ujarnya dalam surat, dan amanatnya agar aku menggunakan uang yang kami peroleh dari asuransi jiwanya untuk melanjutkan studi. Air mataku menitik di atas kalimat perpisahannya, “Hiduplah dengan berani.”

Aku tidak pernah memenuhi amanatnya untuk melanjutkan kuliahku dan menyobek surat itu. Seluruh uang asuransi diambil oleh Ayah dan Ibu untuk melanjutkan produksi industri sutra teratai keluarga kami. Selain untuk ritual pemakaman Paman Hansa, Ayah mempergunakan sisa uang selanjutnya untuk berurusan dengan hama siput yang mengganggu bunga-bunga teratainya.

Aku masih tidak tahu apa yang akan kulakukan di masa depan. Meski tidak terdidik di kampus dan melek politik dengan berorganisasi seperti Paman Hansa, kurasa aku masih dapat melanjutkan kebiasaan yang dulu pernah diwariskannya, sembari benar-benar memikirkan apa yang betul-betul penting dalam hidup ini.

Paen Din, lagu Carabao favorit Paman Hansa, masih kuputar setiap pagi ketika mengajak Kalaya dan Phichai berkelana ke sepenjuru Thailand. Hanya saja, kali ini, sepeninggal Paman, kami menamai diri Teratai Merah Isan dan membawa potret wajah Paman Hansa bersama kami dalam setiap kegiatan mengais rejeki yang kami lakukan. [*]


Ilustrasi dari wikiart.org: Crimson lotuses on gold screen.

Baca juga:
Cerpen Dadang Ari Murtono – Pembuat Topeng
Cerpen Goh Sin Tub – Rumah untuk Nenek


Komentar Anda?