Menu
Menu

Pertanyaan yang juga muncul di tengah gelombang aksi demonstrasi adalah apakah semua orang sungguh paham isu yang sedang diusung?


Oleh: Armin Bell |

Buku cerpennya berjudul “Perjalanan Mencari Ayam”. Kini tinggal di Ruteng, bergiat di Komunitas Saeh Go Lino dan Klub Buku Petra.


Dulu, di kampus kami ada komite aksi. Isinya adalah para aktivis kampus yang giat berdiskusi. Mereka mencermati berbagai isu, mengolahnya dengan serius, merancang rencana aksi jika memang sangat diperlukan.

Nama komite itu adalah KAMUM. Komite Aksi Mahasiswa Unmer Malang. Karena zaman itu, 1999 dan beberapa tahun setelahnya, masih era-era awal reformasi maka sebagian besar inisiator komite aksi itu adalah para mahasiswa yang pernah menjadi bagian penting dari Angkatan ’98. Sudah tahu soal angkatan ini, bukan?

Saya ikut terlibat di komite aksi itu. Jadi anggota pendengar saja sebab itu adalah tahun-tahun awal saya kuliah dan bersekolah adalah yang utama, seperti kejujuran dan keikhlasan dalam lagu Cinta dan Permata, meski sudah barang tentu belajar merancang aksi bukanlah kiasan hidup semata.

Sebagian besar kerja komite ini adalah berdiskusi. Kadang sampai lewat tengah malam. Pada isu yang dirasa perlu diteruskan ke aksi demonstrasi, rencana turun jalan akan dibahas dengan baik. Siapa yang membaca puisi dan menari teatrikal, berapa orang yang menyampaikan orasi, pita warna apa yang harus disematkan di lengan kiri, dan lain sebagainya.

Selanjutnya beberapa anggota komite ditugaskan ke kelas-kelas. Di sana, dengan baik-baik mereka mengetuk pintu kelas, memberi tahu dosen yang sedang mengajar tentang maksud kedatangannya, dan setelah mendapat kesempatan menjeda perkuliahan, akan langsung mengumumkan kepada mahasiswa di kelas itu.

“Selamat siang. Kami ingin memberitahukan bahwa hari H tanggal T jam J akan ada aksi menentang/mengusulkan/mengkritisi titik-titik-titik. Teman-teman diundang untuk ikut bergabung dalam aksi ini.”

Setelahnya, usai menyampaikan pengumuman itu, mereka pamit baik-baik. Tentu saja terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberi mereka waktu.

Saya pernah ada di dua posisi. Menjadi penyampai undangan demonstrasi dan sebagai orang yang mendengar pengumuman itu ketika sedang serius mengikuti perkuliahan. Pada posisi yang kedua tadi, ini yang sering saya lihat. Dosen akan mengulang informasi dimaksud dan meneruskan ajakan tadi. “Sudah dengar informasinya? Jika kalian rasa itu penting, silakan ikut. Jangan lupa jaga diri dan situasi agar semua berlangsung aman,” begitu kata Pak Dodot, Dosen Komunikasi Bisnis yang berkumis dan ramah itu. Dosen-dosen lain juga begitu.

Pengumuman seperti itu bisa saja tidak datang satu atau dua hari sebelumnya tetapi hanya beberapa jam saja ke waktu turun jalan. Kadang (atau lebih sering?), pembawa pengumuman datang dan memberitahukan bahwa aksi akan berlangsung dalam 15 menit ke depan.

Dosen-dosen umumnya memberi izin (kecuali jika sedang ujian): “Yang mau berpartisipasi, silakan meninggalkan kelas. Yang masih mau ikut kuliah hari ini, bisa tetap di kelas.” Jika yang memutuskan pergi antara lima sampai sepuluh orang saja, kuliah tetap dilanjutkan. Tetapi jika sebagian besar memutuskan ikut serta dalam aksi demonstrasi itu, kuliah akan dengan segera bubar. Pak Dodot, atau siapa saja yang sedang mengajar saat itu akan kembali ke Ruang Dosen, dan tak ada masalah besar. Besok, setelah aksi demonstrasi itu selesai, perkuliahan berjalan sebagaimana biasa. “Gimana demonya kemarin?” Kadang pertanyaan itu ada sebelum kelas berjalan sebagaimana biasa.

Apakah yang ‘turun demo’ itu sungguh-sungguh paham isunya? Hmmm… Yang sungguh-sungguh paham tentu saja mereka yang jadi anggota komite. Yang lain, yang keluar dari ruang kelas tadi, terpecah-pecah. Ada yang sudah paham setelah mendengar pengumuman, ada yang setengah paham, ada juga yang tidak paham sama sekali tetapi hendak turut serta karena merasa ingin paham, ada juga yang tidak paham juga tidak ingin paham tetapi sekadar hendak melepas lelah dari kepenatan kuliah dan serangan kantuk atau ingatan pada sup kacang merah di warung langganan.

Apakah itu masalah? Akhir-akhir ini, ketika aksi demonstrasi menolak sejumlah RUU merebak, beberapa orang mengungkit-ungkit soal itu; menyindir, menganggapnya sebagai masalah besar dalam wajah demokrasi kita.

Mereka, para pengungkit itu, merasa bahwa seseorang harus benar-benar paham apa yang jadi isu utama demonstrasi sebab atas dasar itulah kehadiran mereka di jalan-jalan akan banyak berarti. Juga barangkali agar mereka tidak menggeleng atau menjawab dengan keliru ketika seorang wartawan menanyai mereka. Tentu saja wartawan yang seperti kurang kerjaan sehingga mengeluarkan pertanyaan buruk seperti: apakah anda tahu masalah utama yang sedang disuarakan?

Mamma Mia e. Bukankah kau sudah tahu masalahnya setelah mendengar orasi mereka? Atau kau sedang ingin menguji pengetahuan para pendemo? Supaya apa? Supaya kau menurunkan berita yang berjudul “Unik! Demonstran Tidak Tahu Soal Tapi Ikut Turun Jalan”? Begitu? Sampah! Yang seperti itu harusnya tidak diurus oleh wartawan tetapi oleh orang-orang yang mau melemahkan para demonstran. Kecuali tentu saja kalau kau adalah wartawan dari kubu orang-orang itu.

Sesungguhnya itu adalah satu dari beberapa contoh pertanyaan aneh yang dapat keluar dari seorang yang mengaku dirinya seorang wartawan. Contoh lain adalah menanyakan perasaan seseorang yang baru saja mengalami musibah; bagaimana perasaan bapak setelah mendengar kabar bahwa anak bapak meninggal dunia karena bencana alam itu? Hellawwww… Si bapak pasti sedih, Om Wartawan! Kau mau dengar jawaban apa?

Kembali ke soal ada demonstran tak terlampau paham isu itu, keikutsertaan mereka tetap punya dampak. Minimal dua. Pertama, jumlah massa bertambah banyak—jumlah selalu berhubungan dengan tingkat kepercayaan sasaran serta luas percakapan; kedua, mereka yang tidak paham, mau tidak mau, oleh sebab orasi dari orang-orang yang paham—pasti ada yang sangat menguasai soal karena tidaklah mungkin ada demonstrasi tanpa ada seorang pun yang paham, akhirnya jadi paham juga. Bahwa ada yang memang sejak awal hingga akhir hanya turut ramai semata, toh tujuan pertama telah tercapai: massa. Lama-lama mereka pasti paham juga.

Oleh karena itulah saya terheran-heran ketika melihat reaksi-reaksi aneh atas demonstrasi mahasiswa beberapa hari terakhir. Saya heran bahwa sebagian orang sibuk memainkan narasi-narasi lucu semacam ‘kuliah saja biar cepat lulus’ atau ‘kalau tidak paham isu mending tidur di ruang kelas saja’ atau ‘kalau mau jadi demonstran ingat uang orang tua yang sudah susah payah membiayai kamu kuliah’, dan lain sebagainya.

Kelemahan reaksi seperti ini, selain melemahkan semangat aksi, adalah memelihara kepercayaan bahwa kuliah hanya berlangsung di ruang kelas saja dan itu buruk.

Begini. Pertama, kuliah bisa di mana saja. Kedua, bagaimana seseorang bisa paham isu kalau dia dilarang terlibat membicarakannya—proses mendengar orasi dan berteriak ‘setuju’ saat demo adalah proses belajar juga—? Ketiga, uang yang dikeluarkan oleh orang tua untuk membiayai seseorang di perguruan tinggi itu juga bertujuan agar yang dibiayai itu menjadi lebih cakap dalam melihat soal dan bukan hanya menelan kunyahan dosennya saja.

Saya tidak menganggap bahwa reaksi-reaksi semacam itu datang dari orang-orang yang cemas bahwa aksi demonstrasi itu mungkin akan membahayakan posisi mereka. Saya lebih memilih beranggapan bahwa mereka yang bereaksi demikian memang tidak terlampau banyak paham dan begitu besar cintanya pada para mahasiswa sehingga berharap agar mereka lekas sarjana.

Aduh! Tidak ikut kuliah tiga hari itu tidak berpengaruh pada daftar presensimu, Om. Hitung-hitungannya begini: Tiga hari demonstrasi itu berarti kau akan ketinggalan satu pertemuan untuk enam mata kuliah misalkan sehari kau punya jadwal dua mata kuliah. Minggu depan bisa kuliah lagi, bukan? Frekuensi kehadiranmu masih di atas 90 persen kalau begitu. Tak ada masalah.

Pilihannya bisa sesederhana itu, bukan? Maksud saya, bandingkan dengan situasi bahwa dengan kau tidak turun ke jalan selama tiga hari dan oleh karena jumlah massa yang sangat kecil maka tuntutan besar para mahasiswa diabaikan pengambil kebijakan—sebuah keputusan ditetapkan dan berdampak pada tiga generasi bangsa ini selanjutnya, kau pilih yang mana?

Artinya, perkara paham–tidak paham–sangat paham–kurang paham isu oleh beberapa peserta demonstrasi itu seharusnya adalah soal kemudian pada saat seluruh percakapan telah sangat jelas menghadirkan cerita bahwa demonstrasi itu memang menyuarakan sesuatu yang sangat penting dan jumlah massa yang sangat banyak akan berdampak lebih besar.

Ayolah… Jika saja kalian cukup banyak membaca, kalian akan tahu bahwa kekuatan massa berhubungan dengan perubahan. Ingat ’66 dan ’98, bukan?

Sekarang begini. Untuk yang begitu repotnya bicara soal apakah semua demonstram paham RUU dan UU yang sedang ditolak itu, saya mau bagi bahan saja. Misalkan seorang wartawan memilih secara acak anggota DPR untuk diwawancarai soal hal-hal krusial dalam UU dan RUU yang sedang ramai diprotes, dan pilihan acak itu membuat mereka berhadapan dengan seseorang yang hobinya adalah tidur di ruang sidang, apakah kamu yakin dia mampu menjelaskannya dengan baik?

Ini hanya pertanyaan saja. Jangan dibaca sebagai tuduhan bahwa banyak anggota DPR tidak paham RUU-nya sendiri. Saya tanya. Tanya kamu. Ya, kamu. (*)


Ilustrasi: Photo by Pawel L. from Pexels

Komentar Anda?