Menu
Menu

… dan apa yang kukubur/ tetap merupakan rahasia bersama/ dari sejarah dunia yang bisu … rahasia yang kami bagi


Oleh: A. Nabil Wibisana |

Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang. Editor dan penerjemah, dengan minat khusus pada penerjemahan prosa dan puisi Amerika kontemporer.


1.
Apa Vladimir Lenin yang berkata,
Kau mesti memecahkan beberapa
telur untuk membuat omelet?

Thomas Jefferson mengingatkan, pohon kebebasan
mesti disirami darah dari masa ke masa.

Demi menaja Perang Salib I
di abad kesebelas, bersabda Paus Urbanus II,
Terjadilah kehendak Tuhan!

Dan untuk mencetus perang suci Albigensia
di abad ketiga belas, Legatus kepausan Arnaud Amalric,
dalam jubah putih berkilau, menghardik prajurit yang ragu,
Bunuh mereka semua!
Biar Tuhan pilah yang Ia mau!

Perang hanya bisa dilenyapkan dengan perang,
dan untuk menghapus senapan, kau harus
mengangkat senapan, ujar Ketua Mao.

Dan Friedrich Nietzche menulis,
sebab kita lemah dan culas, belas kasih bertentangan
dengan emosi pembangun yang memperkuat daya hidup.
Kita kehilangan hidup saat kita berbelas kasih.

Betapa lucu, apa-apa yang mendadak kauingat
saat kau terbaring di pekat malam.

2.
Bengawan Solo adalah sungai di Indonesia.
Adikku menyeberanginya, menumpang sampan kecil
yang dikayuh oleh seorang tukang perahu bertopi jerami.
Di belakang pria itu, adikku berdiri
Diam dan kaku memegangi sepedanya.
Bayangan mereka bergerak di air, seiring laju sampan
Dan aku sabar menunggu.

Adikku menyimpan satu bagian
dari sebuah kata,
yang bagian lainnya kuperam.
Dan bila ia tak kunjung tiba,
Bila ia tak pernah mencapai tepi sungai
tempat aku berdiri rileks selama beberapa menit,
si tukang perahu tak akan mengangkat sepeda
dari sampan dan menaruhnya di tanah,
adikku tak akan meletakkan koin di telapak tangannya,
lalu melompat ke sepeda dan memboncengiku,
dan kami tak akan bersepeda bersama ke rumah
hanya untuk menemukan: revolusi baru saja dimulai,
kebebasan dipertaruhkan,
dan pembunuhan telah terjadi
dan akan terus berlangsung sampai malam
dan esok hari—malam dan siang, siang dan malam.
Betapa lucu, sepanjang bagian kata yang ia simpan
dan bagian kata yang kuperam
tetap terpisah,
siang tak akan beralih menjadi malam,
dan adikku akan selamanya seimbang
diam di atas bayangan gadis-basah itu
bagai terpaku pada cermin terbalik,
dan tiada seorang pun yang akan mati.

3.
Masa kecilku adalah halaman dua muka
di Buku Masa Kanak-Kanak.

Bukalah, halaman kiri dimulai dengan kalimat:
Mereka membenci kita tanpa alasan.

Dan halaman kanan diakhiri dengan kalimat:
Api tak menyakiti tubuh kita,
rambut di kepala kita pun tak akan terbakar.

Betapa lucu, masing-masing terlahir dan menerima
dua halaman buku agung itu,
dan kedua halaman ditulis bukan oleh anak-anak.

4.
Setelah sembilan belas bulan dibui, delapan bulan di antaranya
di sebuah koloni lepra—tapi ia beruntung tak terpapar lepra—
Ayah tampak begitu asing di mataku. Jadi, ketika aku memergoki
Ibu menyelundupkan sebatang sabun saat suatu kali kami datang
berkunjung—waktu itu kami diizinkan berkumpul dan jalan-jalan
di halaman penjara—aku berpikir pria aneh itu telah mencuri sabun
dari ibuku. Ketika para sipir kembali membawanya ke sel tahanan,
aku lari mengejar mereka dan merenggut sabun itu dari saku Ayah,
sehingga tersingkaplah siasat kedua orang tuaku. Para sipir terbahak
saat menyadari apa yang terjadi. Lucunya, ayahku kemudian hari
berkisah, para sipir tidak menghukumnya waktu itu, meski mereka
pernah menyiksanya atas pelanggaran yang lebih sepele. Alasannya,
saat itu ia sedang diam-diam mengajari mereka—atas permintaan
mereka sendiri—untuk membaca dan menulis dalam bahasa Inggris,
dengan memakai panduan Alkitab Versi Raja James.

5.
Dan abangku bilang, kala aku mendengar gerombolan pelajar
berlarian menaiki tangga apartemen pagi itu, aku melompat dari kasur,
memakai sepatu, dan merangkak keluar dari jendela kamar tidur.
Merunduk di langkan, tersembunyi, aku memandang ke jendela dapur
tetangga kami, searah diagonal di satu sudut di lantai bawah, si nenek
terduduk di kursi, terkepung oleh para pelajar yang menggenggam
tongkat kayu, pipa besi, dan pisau dapur. Masih berseragam
SMP dan SMU, mereka membentak-bentak si nenek saat salah satu
dari mereka mengayunkan tongkat kayu ke kepala nenek itu,
tidak terlalu keras sampai membuat si nenek terjatuh tapi cukup keras
hingga membuat hidungnya berdarah. Dan ia memekik, “Aku tak bisa
melihat! Aku tak bisa melihat!” Kalimat yang langsung membuat
bocah-bocah itu terbahak-bahak. Terkejut, aku terpeleset jatuh
menimpa pohon yang tumbuh besar di bukit di belakang bangunan.
Lucunya, jatuh di pucuk pohon menyelamatkan nyawaku, tapi meluncur
dari cabang ke cabang membuat celana piyamaku nyaris terlepas,
dan saat nyonya tua itu benar-benar menjerit—kurasa saat itu mereka
mulai menikamnya, maksudku, di kemudian hari aku tahu bahwa
saat anaknya menemukan si nenek, jasadnya penuh lubang, tubuhnya
lengket oleh darah dan luka menganga—aku bisa mendengar ia meratap
dan memohon ampun, bahkan saat aku terguling jungkir balik di bukit,
dengan satu sepatu di kaki dan satu sepatu terbang melayang,
celana melorot sampai lutut, dan pelirku tergantung ke sana kemari.
Rasanya, aku berguling sejauh seratus meter sebelum akhirnya
tersungkur di dasar bukit. Sambil berdiri, kutarik cepat celanaku
dan kupandangi kawanan revolusioner muda yang berdiri
di seberang bukit, mereka semua bersenjata, mereka semua menunjuk
ke arahku dan melontarkan kata-kata penghinaan. Bukit terlalu lebar
dan curam untuk mereka daki, dan aku segera menjauh, melesat
dengan satu sepatu. Aku terus berlari selama tiga hari.

Setelah ia berhenti tertawa, abangku bertanya, hei, apa aku pernah
cerita kepadamu aku pernah pingsan saat bersembunyi di kakus luar
dan bangun basah kuyup air kencing? Aku semaput karena bau busuk
dan kemudian berhari-hari kelaparan di jalan.

6.
Betapa lucu. Tambahkanlah, dan malam-malam insomnia
dari setiap kehidupan yang singkat
sama dengan sekejap mata.
Namun, sementara tiap jam bisa sangat mulur
merengkuh hitungan, ukuran, atau hubungan
kita menemukan diri kita berada di luar
kompas atau eko-

lokasi, terlalu kasip untuk masa kanak-kanak
terlalu dini untuk Tuhan,
dan manusia hanyalah sebuah kemungkinan.

7.
Betapa lucu, setiap malam aku tertidur di tengah bunyi hujan,
kupikir di pagi hari aku akan terbangun di sebuah padang rumput,

menjadi bagian dari reruntuhan dinding purba,
berjubah semanggi,
raja dedalu di pesta dansa memedi sawah.

8.
Abangku menelepon dari Cina saat fajar merekah di sana
Para pekebun memetik dedaun teh
di bukit hijau berjenjang
di selatan kota tempat ia
dan ibu kami dilahirkan.

Di tempatku, apel matang mengapung
di bawah sinar bulan. Mahkota-mahkota bunga gugur, membuat sungai
sekilas tampak berkilau dari balik pepohonan. Mereka adalah gadis
yang pergi silih berganti. Mereka memberi isyarat
pematangan berikut, penyempurnaan, dan permulaan
____ yang lebih akbar.

Abangku berujar, “Aku minum tiga cangkir
sendirian pagi ini,
satu untukmu, satu untuknya, dan satu untukku.”

Ia memberi tahu jika aku menghampiri jendela dan melongok
aku akan menyaksikan wajah cembung bulan
dan di baliknya, sisi wajah yang lebih gelap
yang nyaris tak kuketahui.
“Lihat bulan,” ia berkata, “Catat waktunya.”

Betapa lucu. Di antara abangku dan aku,
ia yang bermimpi masih hidup
dan ia yang mati baru saja memulai hari.

Di antara dua saudara, keduanya di luar waktu,
si mati cemas yang hidup akan terlambat,
dan yang hidup terus saja mengigau dalam tidur.

Kupikir aku akan melangkah ke jendela
dan memohon pada bulan: tiga apel dari harta karunnya.
Satu untuk yang hidup, satu untuk si mati, dan satu untukmu.

9.
Ibuku melingkarkan satu lengannya yang mungil
di belakang leherku dan menempelkan
keningnya ke keningku.
Aku menggenggam lengannya yang lain.
Lantas kami duduk, berbagi napas,
dan tak seorang pun bicara.

Betapa lucu. Ada air mata yang mesti dihapus sendiri oleh seorang ibu.
Ada air mata yang mesti dihapus oleh seorang putra.
Ada air mata yang mesti dihapus sendiri oleh seorang perempuan.
Ada air mata yang mesti dihapus diam-diam oleh seorang laki-laki.

Ibuku memeram
satu bagian dari sesuatu yang tak terkatakan,
satu bagian lain
hadiahnya untukku, kusimpan. Dan sepanjang
apa yang ia pendam
dan apa yang kukubur
tetap merupakan rahasia bersama
dari sejarah dunia yang bisu,
yang tak terkatakan berpadu dengan yang tak terkatakan
bermuka-muka dalam senyap di antara kami berdua,
dan hati kami berdua akan berpaut
dan tetap utuh.

Kami berdua mesti menunggu
sampai kami sendirian, untuk tersedu.

***

—Diterjemahkan oleh A. Nabil Wibisana dari puisi berjudul “Our Secret Share” yang terhimpun dalam kumpulan puisi The Undressing (W.W. Norton, 2018).

Tentang Li-Young Lee | Rahasia yang Kami Bagi

Li-Young Lee lahir di Jakarta, 19 Agustus 1957. Lee berasal dari keluarga yang berpengaruh di Cina, kakek buyutnya adalah presiden pertama Republik Cina, ayahnya pernah menjadi dokter pribadi Mao Zedong.  Di Indonesia, ayah Lee membantu pendirian Universitas Gamaliel. Saat sentimen anti-Cina merebak pada tahun 1959, ayah Lee sempat ditangkap dan ditahan selama setahun. Keluarga Lee akhirnya berhasil keluar dari Indonesia dan selama lima tahun menjadi pelarian politik di Hong Kong, Macau, dan Jepang, sebelum akhirnya menetap di Amerika Serikat. Meskipun sejumlah kritikus menganggap Lee sebagai penyair liris yang unggul, puisi-puisinya kerap menggunakan narasi, pengalaman personal, dan memori masa kanak-kanak sebagai bahan perenungan untuk menginvestigasi kenyataan universal. Sejauh ini, Lee telah menerbitkan lima buku puisi, yaitu: Rose (1986) yang memenangkan Delmore Schwart Memorial Poetry Award, The City in Which I Love You (1990) yang terpilih dalam Lamont Poetry Selection, Book of My Night (2002) yang meraih William Carlos Williams Award, Behind My Eyes (2008), dan The Undressing (2018). Ia menerima berbagai hadiah dan penghargaan dari sejumlah lembaga ternama, antara lain Pushcart Prize, Academy of American Poets, National Endowment for the Art, dan Guggenheim Foundation. Kini ia tinggal di Chicago, Illinois, bersama seorang istri dan dua anak.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Puisi Sedulius – A solis ortus cardine
Esai Alberto Manguel – Suara Kassandra
Cerpen Jean Giono – Salib


Komentar Anda?