Menu
Menu

Di antara tiang patah,/ Aku berdiri tanpa baju—tanpa tubuh/ Selalu tak menemukan cara mengusap air matamu/ Sementara kau semakin dekat untuk berlabuh. Afryantho Keyn


Oleh: Afryantho Keyn |

Lahir di Kinabalu, 28 Oktober 1991. Menulis cerita pendek dan puisi. Karya-karyanya telah tersiar di berbagai media dan tergabung di sejumlah antologi bersama. Emerging Writer Makassar International Writer Festival 2020. Kini bermukim di Nuhalolon, Flores, Nusa Tenggara Timur.


Sesaat Sebelum Kau Berlabuh

Aku tak ke mana-mana
Meski ke laut sia-sia
Selalu kau bawa perahu.

Kau berhenti mengayuh.
Matahari tenggelam di depan
Pucat pasi pasir pantai di belakang.

Perjalanan tersisa yang tak sanggup
kau bayangkan jauhnya dilanjutkan
sebuah perahu lain yang jauh lebih kecil.

Sebatang lilin bernyala sebagai nakhoda.
Menumpang bunga-bunga tak kunjung layu.

Setelah malapetaka dijadikannya puing-puing,
Puting beliung tak sudi datang lagi.
Ia mencari kepongahan-kepongahan lain.

Jembatan tetap runtuh seakan tak akan lagi
Diperbaiki. Para tukang kehilangan nyali
Menghubungkan bahasa-bahasa kita.

Di antara tiang patah,
Aku berdiri tanpa baju—tanpa tubuh
Selalu tak menemukan cara mengusap air matamu
Sementara kau semakin dekat untuk berlabuh.

(2020-2021) | Afryantho Keyn

.

Ulang Tahun

layar gawai menerima
ucapan-ucapan singkat
yang berharap usia
merentang panjang

—aku sedang menonton film
yang selalu saja menghabiskan sepotong
kehidupan hanya dalam beberapa menit—

memutuskan tak akan membalas
ketakutan-ketakutan itu
satu demi satu.

(2020) | Afryantho Keyn

.

Belajar Berburu

Sekumpulan gagak jelma
Daun-daun bagi pohon gugur.

Oksigen yang tercemar
Debu kemarau ditawarkan
Sebuah padang.

Tanah mendidih.
Kesabaran perlahan menguap
Dari dada seseorang.

Suara tembakan.

Sesuatu ikut mengepak
Meninggalkan dirinya yang lain
Tergeletak.

(2020) | Afryantho Keyn

.

Bus Kota dan Ibu

I
Di seberang jalan berdiri sebuah halte

Tak membiarkan kami menunggu
terlalu lama tiba bus-bus kota.

Kesibukan jalan raya
menepikan sebuah bus.

Satu demi satu bocah
menemukan ibunya
turun dari sana

—pulang kerja dengan
oleh-oleh di tangan.

Ini sudah pukul berapa?

Tertinggal aku seorang diri.

II
Kejahatan menunggu di bawah
tiang lampu mati. Tiga laki-laki
mengarahkan belati.

Jalan raya telah lama ditinggalkan
bus-bus kota.

Ibu berjalan kaki sendiri
dengan air mata jatuh
sepanjang trotoar.

Majikan pulang kerja lebih awal
telah menunda pulang kerja ibu.

Selepas makan malamnya disiapkan,
ia menyadari, ini hari terakhir
harus membayar keringat ibu.

Tetapi gaji sebulan telah menebus
nyawa ibu sehari.

(2021) | Afryantho Keyn


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Puisi-Puisi Derry Saba – Berjalan di Tepi Doa
Puisi-Puisi Giovanni A. L Arum – Di Ruang Pengakuan
Puisi-Puisi Lailatul Kiptiyah – Hujan Malam


Komentar Anda?