Menu
Menu

“Di ruang pengakuan yang sepi dan menggigil, Ia menarik perahu yang sedang terombang-ambing dalam dadaku.”


Oleh: Giovanni A. L Arum |

Pegiat sastra di Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui-Kupang. Pernah diundang dalam Festival Temu Penyair Asia Tenggara 2018 di Kota Padang Panjang. Beberapa puisinya pernah dimuat di Koran Tempo, Pos Kupang, Victory News, Bali Post.


Di Ruang Pengakuan

Kristus yang lemah lembut tahu bahwa hatiku Simon-Petrus; karang terluka. Maka, tak segan ia menjebakku sebagai nelayan tak tahu malu yang bersikeras menebarkan jala kerapuhanku di bagian Danau Genasaret yang dangkal. Aku paham, cinta adalah hukum nir-masuk akal. Maka, sudah kusiapkan berjejal argumentum di serat-serat jalaku. Jika kali ini Ia gagal, maka akan kujala cukup dua ikan paling cerdas baginya. Sebab ikan yang cerdas tahu perihal mujizat tak masuk akal yang dituliskan Kitab Suci.

Di ruang pengakuan yang sepi dan menggigil, Ia menarik perahu yang sedang terombang-ambing dalam dadaku. Duc in altum! Ia terkesan sengaja menghantarku ke bagian danau yang dalam. Ia tahu, Simon-Petrus—wadas paling keras—yang ia tempatkan tepat pada axis simetri tubuhku akan lebih mudah tenggelam di tempat yang dalam.

Sungguh. Jala belum sempat ditebarkan. Iman belum sempat dipukatkan. Ikan-ikan adalah malaikat yang tahu siasat Kristus. Ketika angin berhembus, Ia menggoyahkan perahuku. Aku tenggelam ke dalam pusaran deras yang tercipta dari air dan darah yang mengalir dari kenisah lambungNya.

“Ego te absolvo a peccatis tuis in nomine Patris et Filii et Spiritus Sancti.”

Berlaksa ikan berenang ke arahku.

Kristus menatapku dengan rindu.

Amen!

Penfui, 2018

Ketika Adam Terjebak dalam Teori Himpunan

Seluruhku bilangan ganjil
Ingin tergenapi doa kecilmu.
Tuhan telah menjelma himpunan semesta
Paling keras kepala. DibatasiNya
Diriku dalam irisan yang tercipta
Dari dua himpunan hati dan empedu
Yang turut terlepas bersama rusukku
Ketika engkau dihadirkan
Sebagai bilangan bulat padat.

Naikoten, 2018

Kenangan yang Berperang Melawan Luka

Di ruang yang lapang, Tuhan enggan memunculkan tubuhNya yang mulia. Aku sibuk memuisikan segala rindu yang tak pernah tuntas ditunggu. Lalu-lintas manusia seakan memencarkan waktu yang sedang memaku gelagah tubuhku pada palang salib yang dingin dan rapuh. “Untuk apa kautunggu waktu, kekasihku yang sepi?” tanya Tuhan dari dalam arlojiku. “Tenanglah Tuhanku! Aku sedang menerjemahkan diriku ke dalam rumusan doa yang mendiami mulut Si Janda Miskin!”

Setelah kenangan ini menggenang, kupecahkan diriku yang renyah dan rapuh ke dalam sunyi puisi penyair yang getir berperang melawan luka di Golgota.

Jakarta, 2018

Kisah Kenaikan

Dari atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki
Di atas permukaan laut. Cahaya melarutkan
Tubuhku yang sepi dan gigil
Menuju sebuah kisah purba.

Beberapa lelaki—Kausebut rasul—sedang menatapMu
Dengan iman yang porak poranda. Tomas yang tak sempat
Menyusupkan jarinya yang retak ke dalam liang lukaMu
yang suci dan rahasia
Mendadak pergi mendekati kakiMu.

Engkau akan segara naik ke Surga
Meninggalkan segala luka
Yang menjebakMu dalam cinta
Paling perih dan sengsara

Aku yang telah pecah dalam udara dan cahaya
Merasakan dengan sungguh, TubuhMu yang mulia
Bergerak melawan keangkuhan gravitasi.

CintaMu perkasa.
Engkau mengangkasa.

Dari ketinggian tak terukur, kepada manusia
Kauciptakan jarak bagi rindu tak tertahankan.
Dari sanalah, cinta mengumpulkan tenaganya
Untuk berdoa.

Kupang, 2018

Di Minggu Pagi

Di suatu Minggu pagi, hujan turun seperti kesedihan yang panjang. Kusaksikan dua orang malaikat dengan sayap perak mengintip dari tingkap langit yang terbuka. Pada mata mereka ada api yang bersikeras menguapkan kesedihan yang basah. Sepi dan puisi menyalibkanku pada palang pintu kamar. Mazmur-mazmur yang telah lama dikunci dalam brevier menguap keluar memenuhi kepalaku. Di hadapanku, hanya ada perempuan—seperti Maria—yang bersiteguh menegakkan laut bagi bahtera yang kuciptakan dari berpasang-pasang kata yang kesepian. Beberapa langkah dari kamarku, Tuhan belum usai memecahkan diriNya dalam bilangan-bilangan pembagi yang urut. Aku, yang masih teguh di palang hina pintu kamarku ini, ingin sekali menyederhanakan imanku dalam bilangan nol yang gemuk dan utuh. Sebab agama terlalu sibuk mengangkakan dirinya dalam berbagai bilangan positif yang kian membesar sehingga menyiksa Tuhan untuk terus-menerus membagi-bagikan TubuhNya. Kubiarkan imanku bersalinangka dalam nol. Ingin kujebak Tuhan dalam pembagian yang tak terdefinisikan. Aku cinta padaMu, jauh lebih sederhana dari cara agama-agama mendefinisikan DiriMu.

Makassar, 2018


Foto: Kaka Ited

Komentar Anda?