Menu
Menu

lemari di dapur ibu terisi banyak bumbu


Oleh: Ama Achmad |

Emerging Writers MIWF tahun 2014. Ia bergiat di Babasal Mombasa sejak 2016. Menginisiasi Festival Sastra Banggai sejak tahun 2017. Ia menulis puisi, cerpen, esai, serta sesekali menjadi editor lepas. Sekarang sedang menulis novel dan menyiapkan rencana-rencana untuk komunitasnya.


Mengunjungi Dapur Ibu

Seperti sebuah buku yang terbuka di bawah lampu,
lemari di dapur ibu terisi banyak bumbu:
kapulaga, daun salam, cengkih, pala, dan masa lalu.

Lemari pendingin di sudut itu, hidup dalam dingin yang tidak disukai. Bunga-bunga es menempel di dinding-dindingnya, membuat sirup rasa lemon mengeras menjadi rasa benci yang terpelihara.

Empat mata kompor yang jarang membuka itu bagai kemalasan langit membawa matahari di akhir tahun. Tidak ada gula dan penyedap rasa, ibu puasa dari rasa gurih dan manis.

Di meja, gelas dan piring tertata rapi seperti hidup ibu yang teratur.
Di tempat cuci, kran air tidak pernah sepenuhnya menutup seperti kesedihannya yang tidak benar-benar pergi.

.

Palindrom

Ia kenal melankoli itu,
sunyi di atas mercu,
suara jauh dari malam.

Barangkali ada yang berpura-pura,
menjadi angin, memercayai omong kosong,
dan lima enam kata yang menolak
menjadi tak berguna.

Ia tak ingin langit menjadi laut,
pun sebaliknya laut menjadi langit,
yang menelan tubuhnya lekas-lekas.

“Jangan mencoba mengeja,”
sebuah suara tiba pelan-pelan,
ditelan bunyi telepon genggam.

Sebuah nama, pernah berpapasan dengan
takdirnya. Ia melafalnya terbalik.

.

Avontur

Kota-kota tak bernama,
rumah-rumah tak beralamat
kartu bergambar dari negeri jauh
semuanya lebih sunyi dari taman-taman
yang didekap malam.

Kau menumbuhkan jejak-jejak di trotoar,
di gerbang-gerbang rahasia,
juga di setapak-setapak yang lengang.
Serupa berlari dari hujan yang senantiasa mengejar.

Lalu, kuingat kau pernah bicara tentang
beberapa hal yang mengurung diri di lemarimu;
sepasang sepatu tua, isi kepala yang bahagia
dan potongan matahari yang tak bisa lagi melangit.

.

Seba

Kata-kata riuh,
tumpang tindih,
mendidih.

Tomundo tiba:
payung kuning,
ikat kepala putih.

Tetapi kata-kata
telah jadi pisau.

Menancap di dada,
memerahkan tangga-tangga keraton.

.

Gambar Perempuan di Jendela

: Shinta Febriany

Kau becermin dan tak menemukan wajahmu,
tetapi nubuat peruntungan yang beriak seperti arus.

Setiap penyair memiliki masa depan, di
perpustakaan seseorang, katamu.
Hidup dalam kepala, atau mati suri,
atau hanya menatap kesedihan pemiliknya.

Setiap puisi mengulang kenangan, katamu.
Kata-kata berkelindan menembus waktu,
sesekali syahdu, selebihnya lirih.

Sementara lakon-lakon di panggung,
adalah narasi pembunuh yang bebal,
seperti mata pisau untuk semua ketidakberdayaan.

Kau becermin dan menemukan wajahmu,
yang tidak menyerah dan mulai terbiasa membuka jendela.


Ilustrasi: Photo by Fernando Cabral from Pexels

Baca juga:
Jam Dapur – Cerpen Wolfgang Borchert
Puisi-Puisi Jahan Malik Khatun – Semalam, Cintaku
Puisi-Puisi Catullus (XI, LVIII, LXX, LXXII, LXXV)


Komentar Anda?