Menu
Menu

Ia rindu asrama tentara tempat tinggal mereka sebelumnya. Ia kesal pada ibunya yang tidak menabung supaya kontrakan dapat dibayar tepat waktu.


Oleh: Ilda Karwayu |

Menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain Eulogi (PBP, 2018) dan Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram, dan sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI).


“Padahal, hidup sebagai tentara ndak segagah kelihatannya! Apalagi dimulai dari jabatan rendah tamatan sekolah menengah. Kujamin, hari-harinya akan…”

Gerutuan ibunya perlahan sayup seiring gerak Joana yang menjauh dari sumber suara. Sebelumnya, sepasang alisnya naik ke atas—sekejap saja—seperti berkata: “Aku baru tahu kalau sore hari ibu merawat tanaman-tanaman di depan rumah.”

Dibukanya pintu kamar. Decit engsel pintu terdengar. Biasanya ia akan menggerutu perihal decit engsel, tapi kali ini ia mungkin terlalu lelah; bahkan untuk sekadar menoleh pada engsel.

Joana rebah di atas kasur tanpa dipan. Sejenak matanya lurus menatap langit-langit. Masih terngiang jelas suara omelan salah satu pelanggan yang siang itu tiba-tiba masuk ke kantor pada jam istirahat. Kesalahpahaman antara pelanggan dan customer service memang sudah biasa terjadi di kantor operator seluler tempatnya bekerja, dan ia harus siap pasang badan sebab memang itulah tugas seorang Team Leader.

“Jo, tumben pulang sore. Makan dulu, ya. Itu ada oseng jamur.” Tidak ada sahutan. “Jo?!”

Menyadari yang diajak bicara tidak menyahut, perempuan itu bangkit dari bangku kaki yang sedari tadi menemani memupuki bibit-bibit tomat dan paprika. Meski sikap Joana yang demikian bukanlah hal baru, ia tetap memacu langkah menuju kamar anak pertamanya itu; memastikan sedang apa Joana kali ini sampai bersikap tak acuh. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat ia dengan mudah tahu bahwa Joana sedang tidur—dengan mulut sedikit terbuka.

*** Menjadi Tentara

Kedua matanya terbuka perlahan. Suara ibunya yang sedang mengaji dari kamar sebelah membangunkannya dari tidur yang entah berapa lama. Joana bergegas bangkit untuk pergi mandi karena merasa tubuhnya gerah.

Suara ibunya mengaji telah berhenti. Kini, dari dalam kamar mandi, telinganya mendengar suara piring berpindah, suara kompor gas dinyalakan, juga dentingan sendok yang mungkin tersentuh besi atau porselen. Joana ingat dirinya belum makan malam, tapi lupa mengapa nafsu makannya hilang. Ruang kamar mandi yang sempit tapi bersih dan wangi itu tampaknya tak cukup berhasil membuat tubuhnya relaks untuk mengingat.

Mendengar jebar-jebur suara dari kamar mandi membuat ibunya tergupuh memindahkan segala yang ada di penggorengan ke mangkuk-mangkuk. Dibukanya pintu kulkas, ada sepaket yogurt berisi sepuluh botol kecil; utuh belum terminum satu botol pun. Ia terpaku sejenak, kemudian pandangannya menyapu seluruh isi kulkas.

Ada keinginan dalam dirinya untuk menggoreng telur dadar, tapi urung begitu ingat malam ini hanya mereka berdua yang akan makan di rumah. Sarah, anak keduanya, beberapa hari lalu baru saja diterima bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta kota, dan kini sedang menjalani pelatihan selama satu minggu penuh. Sedangkan Rio, si bungsu yang satu-satunya laki-laki di rumah itu, sedang keluar entah ke mana dan hanya menjawab, “Pulang malam banget, makan di luar,” ketika sore tadi ia menelpon untuk tahu jam berapa Rio akan pulang.

Tepat ketika pintu kulkas ditutup, Joana muncul dari arah kamar mandi dengan handuk membalut tubuhnya. Ibunya tersenyum sambil menuju meja makan. “Ayo makan!”

Menatap sekilas senyum ibunya, Joana merasa aneh; rasanya jadi ingin segera masuk kamar tanpa keluar lagi. Atau lenyap seketika di hadapan ibunya yang entah mengapa saat ini membuat kepalanya pening dan dadanya seperti tertusuk-tusuk benda tumpul.

Ia tidak begitu memerhatikan apa saja sajian di atas meja sampai tubuhnya benar-benar ada di sana setelah mengganti pakaian. Tersaji oseng jamur, goreng tempe dengan sambal—yang kini ia sadari merupakan penyebab bersin-bersin seluruh penghuni rumah tadi pagi, juga bening kelor, tak lupa dua piring nasi dengan porsi tak sama. Dipejamkannya kedua mata dengan penuh tekanan; sungguh kombinasi yang aneh!

Sambil duduk, ia bayangkan semua itu masuk ke mulutnya. Betapa pedas sambal berminyak yang membalut tempe itu akan buyar seketika saat bertemu kuah bening kelor, dan baginya itu akan menimbulkan kesan tak mengenakkan di dalam mulut. Ditambah dengan oseng jamur yang—bila diperhatikan—ternyata ditumis dengan minyak goreng, alih-alih mentega. Padahal, ia sempat membayangkan lembut mentega yang menyatu dengan kenyalnya jamur shitake kesukaannya itu.

“Ini!” ibunya menyodorkan tiga mangkuk berisi apa-apa yang sedang ia gerutukan.

Oseng jamur akhirnya memenuhi seperempat volume piringnya. Ia makan seperti calon anggota baru yang sedang dipelonco anggota-anggota senior sebuah organisasi mahasiswa. Dentingan sendok, garpu, dan piring porselennya ramai. Sebentar kemudian isi piringnya telah tandas. Bunyi dentingan tak lagi terdengar.
Setelah sejak tadi sesekali melirik ke arah Joana yang makan dengan beringas, akhirnya tiba kesempatan bagi ibunya untuk membuka pembicaraan. Tangan kirinya meraih ketel, lalu sambil menuangkan air ke dalam gelas kaca di samping kanannya ia berkata, “Jo, Rio ingin daftar masuk tentara tahun ini.”

Joana, yang sedang menahan perih ulu hatinya, tahu-tahu merasa tertodong oleh sodoran gelas kaca berisi tiga perempat air. Tentu ia tahu adiknya berencana demikian, sebab ia pernah mendengar Rio mengobrol tentang itu bersama teman-temannya ketika berkumpul di rumah. Genjrengan gitar ala kadarnya dari jari-jari entah siapa—kala itu—tidak menghalangi telinga Joana mengenali suara adiknya.

Meski begitu, toh, ia merasa tak punya komentar apa pun perihal rencana Rio. Bukankah di rumah ini, setiap anak terlihat bebas saja menentukan jalan hidupnya? Atau sebenarnya seperti layang-layang yang tampak terbang bebas, tapi nyatanya penentu arah dan waktu terbang adalah si pemegang gulungan benang—yang tiada lain, dalam keluarga ini, adalah ibu mereka sendiri.

Semakin Joana menyadari hal itu, semakin kepalanya pening dan ulu hatinya kian perih; bahkan kini ia merasa mual. Tiba-tiba ia ingat pada rencananya melanjutkan sekolah tinggi jurusan antropologi yang harus kandas sebab ibunya tidak merestui keberangkatannya. Padahal, ketika sedang menentukan sekolah tinggi yang akan dituju, ibunyalah yang mendorongnya untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah. Setelah dinyatakan lolos seleksi jalur prestasi dan siap berangkat, tinggal membayar uang pangkal dan SPP semester awal, sekonyong-konyong ibunya berkata, “Apa ndak sebaiknya kamu sekolah di sini saja, ya? Banyak juga jurusan yang bagus, kan? Di universitas kota sudah dibuka jurusan teknik informatika. Seleksi jalur umumnya masih dibuka.”

Sejak kejadian itu, ia mulai awas terhadap sikap ibunya, terlebih bila sedang berhadapan dengan dirinya.

Joana meneguk habis air di gelasnya. “Ya,” katanya.

Ibunya diam. Keningnya berkerut. Ada rasa malu menyelinap dalam diri perempuan itu ketika menyadari bahwa Joana tak memberi perhatian penuh pada kalimat pembuka obrolan yang diajukannya tadi. Tarikan napas yang dalam membawanya tenggelam dalam lamunan. Sejak suaminya meninggal belasan tahun silam, ia telah membesarkan tiga anak secara mandiri, dan kini ketiganya telah berusia lebih dari 17 tahun. Lamunannya makin dalam, ke masa remaja. Pernah ia bercita-cita menjadi pengusaha kuliner dan memiliki keluarga yang hangat. Keluarga yang berbeda dari keluarganya kala itu. Namun, sayangnya, menikahi seorang tentara ternyata bukan keputusan yang tepat untuk mewujudkan itu semua.

Joana kini sibuk memandangi gelas kacanya, sambil sesekali mengerjapkan mata.

“Kalau mendaftar tentara pakai ijazah sekolah menengah itu, di awal akan dapat jabatan Tamtama. Paling rendah. Mau naik jabatan nanti susah. Berbeda kalau pakai ijazah sarjana, langsung Perwira. Apa ndak sebaiknya Rio melanjutkan sekolah dulu, ya? Kamu pernah obrolkan itu dengannya?”

“Dia kan sudah pernah diingatkan soal risiko dan tanggung jawab,” timpal Joana. “Tapi aku belum pernah bicara soal pendaftaran atau apa pun padanya.”

Joana bangkit dari kursinya dan meraih ketel di dekat tangan ibunya sambil berpikir, apakah Rio akan bernasib sama seperti dirinya: batal menjalankan rencana hidup yang memang rencananya sendiri. Sejenak, ia sadar, di rumah ini tidak ada sosok laki-laki yang bisa dijadikan panutan oleh adik bungsunya itu, sebab ibu mereka tidak menikah lagi sejak ditinggal mati suaminya.

Ibunya banyak mendapat saran dari teman atau keluarga untuk segera menikah lagi, terlebih pada waktu itu usianya masih tergolong muda—sekitar 30-an. Namun, alih-alih mencari suami baru, ibunya lebih memilih menyibukkan diri berjualan soto di depan rumah kontrakan.

“Mengandalkan gaji terusan tok ndak akan cukup. Lihat ini, jumlah ini, untuk biaya pendidikanmu dan Sarah saja kurang!” Joana mengenang kata-kata itu ketika dulu menemani ibunya ke kantor pos untuk mengurus surat kuasa penerima gaji terusan mendiang ayahnya. Ia, yang kala itu masih berusia 12, sempat berniat ingin berhenti dari kursus aritmatika dan klub bela diri di sekolah agar ibunya bisa mengurangi anggaran untuk segala aktivitas berbayarnya. Akan tetapi, begitu rencana itu dilontarkan ke ibunya, pukulan bertubi-tubi mendarat di paha dan pantatnya. Setelah itu, ibunya terisak-isak sambil berlalu meninggalkan Joana yang meringis di dapur. Di luar, terdengar suara laki-laki tua berucap salam dan ibunya menyilakannya masuk. Pembicaraan soal biaya kontrakan yang telah tertunggak berbulan-bulan, serta permohonan maaf yang terlampau sering diucapkan ibunya, membuat tangis Joana pecah.

Ia rindu asrama tentara tempat tinggal mereka sebelumnya. Ia kesal pada ibunya yang tidak menabung supaya kontrakan dapat dibayar tepat waktu. Ditambah lagi, ibunya selalu memasak macam-macam makanan setiap hari. Padahal, menurut hemat Joana, mereka mestinya menyantap soto saja. Pada puncak kekesalan, ia menuding ibunya benar-benar tidak pandai mengelola uang karena menolak usulannya soal berhenti ikut kursus dan klub.

Joana tersentak kemudian lekas memindahkan ketel ketika ibunya tiba-tiba berdeham sambil menunjuk benda berbahan stainless steel itu. Dituangkannya air ke gelas kaca dekat tangan ibunya.

“Tentara yang pangkatnya Tamtama itu berat kalau mau naik jabatan. Lama, maksud ibu,” ucap ibunya usai meminum seteguk air. Joana tak begitu memahami maksud ibunya, tapi ia diam saja.

“Belum lagi urusan pernikahan, repot sekali. Kalau calon istrinya ndak lulus syarat, mereka ndak boleh menikah. Ada syarat-syaratnya itu! Terus, kalau sudah jadi istri tentara, harus siap sedia menemani suami bertugas di mana saja, dan harus terlibat di kegiatan-kegiatan korps di asrama. Kenapa? Karena keaktifan istri juga menentukan wajah suami di mata letting-nya, di mana pun bertugas.”
Ibunya kembali meneguk air minum di dekatnya dan tampak siap meneruskan cerita.

“Nanti, kalau sudah punya anak di daerah yang beda dengan kita di sini, juga makin repot. Rio pergi tugas sana-sini, istrinya mesti ngurus anak sendiri. Kalau dekat sini, kan bisa kita urus sama-sama. Ditinggal tugas itu benar-benar beban! Sudah gaji pas-pasan, istri ndak bisa kerja untuk cari tambahan. Kamu ingat, kan, Jo, waktu kamu sakit gigi, ibu sakit gigi, kita berdua sakit gigi. Mau pergi berobat ndak bisa karena mobil dan supir asrama lagi antar Bude Neni melahirkan. Ingat Bude Neni, kan?”

Joana mengangguk sambil menggoyang-goyangkan gelas kosongnya. Perih di ulu hati dan rasa mualnya telah mereda, meski pening di kepalanya bergeming.
“Juga, waktu Sarah masih kecil dulu, dia muntah-muntah karena kebanyakan makan telur rebus. Mengurus asuransi itu harus seharian dan adikmu sudah hampir mati. Untung ndak betulan mati. Lihat, kebutuhan mendadak selalu saja ada dan ayahmu ndak setiap saat bisa bantu. Dia ada hanya untuk negara. Untuk negara!”

Ibunya menyodorkan gelas kosong miliknya. Joana menatap perempuan itu sekilas sebelum tangannya meraih ketel—lalu menghela napas sambil bergumam, “Sudah seperti mabuk vodka saja orang tua ini.”

Terdengar bunyi deru motor yang makin lama makin dekat menuju rumah mereka. Joana tahu ini akan membuatnya mulai menggerutu di depan ibunya dan ia sedang tidak ingin itu terjadi. Maka, dirapikannya segala peralatan bekas makan, kemudian beranjak segera ke tempat cuci piring. (*)


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Cerpen M. Z. Billal: Ruang Negatif
Cerpen Aura Asamaradana: 2/11


Komentar Anda?