Menu
Menu

Sambil mengirimkan foto lukisan barunya, ia mengabarkan pada kawannya: “Aku telah menciptakan sebuah mahakarya!”


Oleh: Erwin Setia |

Lahir pada 14 September  1998. Penulis lepas. Menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Detik.com. Cerpennya terkumpul antara lain dalam antologi bersama Dosa di Hutan Terlarang (2018) dan Berita Kehilangan (2021) Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: [email protected].


Ini adalah kisah perihal seorang penyair. Siapa namanya bukanlah soal penting. Ia bisa A, B, maupun C—atau X, Y, Z, intinya ia penyair. Kita sebut saja ia penyair kita. Suatu hari penyair kita pergi ke alun-alun kota. Tepatnya pagi hari, selepas minum kopi dan membaca setengah buku kumpulan puisi pemberian seorang kawan lama. Salah satu puisi dalam buku itu memantiknya untuk menulis puisi. Ia memasak sebuah gagasan dalam kepalanya, tetapi karena gagasan itu tidak kunjung matang, alih-alih memudar seperti cat murahan pada sebuah dinding, ia melupakan keinginan menulis puisi. Ia pergi keluar dan menepi di sebuah kursi di alun-alun. Ia memandangi apa saja yang bisa digapai matanya. Ada kanak-kanak yang menangis kencang lantaran balonnya pecah, ada seekor kucing berkulit abu-abu mengejar-ngejar bola, ada seorang perempuan berwajah sedih memegangi pagar. Tepat ketika ia melihat pemandangan terakhir, sepercik inspirasi menyegarkan kepalanya. Ia kembali ke rumah dan menulis sebuah puisi.

Bagaimana isi puisinya? Itu pun bukan soal penting. Intinya penyair kita berhasil menyelesaikan sebuah puisi sepanjang tiga bait dua puluh empat baris. Meskipun sumber inspirasinya adalah seorang perempuan berwajah sedih, puisi itu sama sekali tidak berisi tentang perempuan atau kesedihan. Tentang apakah itu? Yang jelas bukan tentang perempuan atau kesedihan. Berhasil menulis puisi membuat hatinya gembira—selalu seperti itu. Ia teramat bangga terhadap hasil kerjanya. Ia membaca ulang berkali-kali puisinya dan tidak menyangka mampu menulis puisi semacam itu. Seluruh bagiannya terlihat mantap: diksi, rima, bunyi, gagasan, ritme, dan terutama metafora di dalamnya. Ia merasa telah membuat metafora-metafora canggih nan luhur. Ia yakin ialah orang pertama yang menciptakan metafora-metafora itu. Kebanggaan melumuri hatinya seperti lumpur melumuri tubuh seorang bocah. Ia menyeduh kopi secangkir lagi. Ia menghubungi kawan lamanya yang menghadiahi dirinya buku puisi. Sambil mengirimkan foto kertas berisi puisi barunya, ia mengabarkan pada kawannya: “Aku telah menciptakan sebuah mahakarya!”

Kita akan pergi meninggalkan penyair kita sejenak untuk menuju rumah seorang pelukis, yang tak lain adalah kawan lama penyair kita.

Siapakah nama pelukis kita? Lagi-lagi nama bukan urusan penting dalam cerita ini. Intinya ia pelukis. Di sepenjuru rumahnya terpajang lukisan-lukisan dari bermacam aliran. Ada lukisan mooi-indie, ada potret orang-orang biasa, ada gambar-gambar abstrak yang bisa ditafsirkan sebagai apa saja, ada pula sebuah lukisan yang hanya terdiri dari sebuah titik hitam di bagian tengah kanvas. Lukisan terakhir yang disebutkan adalah hadiah yang diterima pelukis kita dari seorang kawan lamanya. Ia sangat tertarik pada lukisan titik hitam tersebut, meskipun ia tidak bisa memastikan lukisan macam apa itu atau ada makna apa di balik lukisan itu. Yang jelas lukisan tersebut mengusik hatinya, membuatnya merasa tertantang. Ia menyeduh secangkir teh. Ia selalu menyeduh teh tiap kali mendapati sesuatu yang mengusik hatinya. Sambil menyesap teh dan secara berkala menengok pemandangan luar rumah melalui jendela, pelukis kita mengamati lukisan pemberian kawan lamanya dengan saksama. Ia memperhatikannya dengan ketekunan seorang kritikus lukisan, memandangi dengan jeli tiap sisi dan sudut lukisan itu, meskipun sebenarnya tidak ada yang dapat dilihat pada lukisan itu selain sebuah titik hitam. Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan tandasnya teh, pelukis kita merasa bahwa ia harus melukis. Ia harus membuat sebuah lukisan baru. Lukisan titik hitam tersebut telah memberinya sebuah gagasan yang menurutnya sangat brilian. Ia akan mewujudkan gagasan tersebut ke dalam kanvas. Ia yakin lukisannya kali ini akan menggemparkan dunia seni.

Ia pergi ke ruang kerjanya, menyiapkan kanvas kosong, kuas, cat minyak, dan kursi berbidang bulat yang biasa dijadikannya tempat duduk saat melukis. Ia membuka sepasang mata jendela yang berada di ruang kerjanya lebar-lebar. Sinar matahari pagi selalu membuatnya nyaman. Ia percaya sinar matahari pagi adalah pertanda baik. Ditemani pertanda baik itulah ia mulai menggoreskan kuasnya ke kanvas.

Lukisan macam apa yang ia hasilkan? Itu bukan soal penting. Di dalam cerita ini, detail mengenai suatu karya bukan bagian terpenting. Hal yang perlu kita ketahui adalah kesan atas karya tersebut bagi si pencipta karya. Lantas, bagaimana kesan pelukis kita terhadap lukisan yang berhasil dirampungkannya dalam waktu tiga jam dua puluh empat menit? Ia tersenyum lebar, pandangan matanya mantap, tubuhnya lebih tegap dari biasanya. Ia sangat bahagia. Bahkan aroma cat yang tak keruan menjadi bagai aroma parfum paling wangi baginya. Meskipun pemicu awalnya adalah sebuah lukisan titik hitam, lukisan yang barusan dibuatnya kaya akan warna. Ia telah membuat puluhan (atau ratusan, seandainya karya-karya gagal dan hasil latihan masuk hitungan) lukisan, tapi baru kali ini kebahagiaan memenuhi dirinya seakan-akan dirinya bisa meledak kapan saja. Ia memandangi lukisan di hadapannya dengan tatapan kagum. Ia merasa lukisannya kali ini sempurna di tiap bagiannya. Seluruh komposisinya terasa tidak perlu ditambahkan apa-apa lagi karena memang sudah begitu pas dan presisi. Ia yakin lukisannya kali ini akan dipuji oleh khalayak dan berharga sangat tinggi. Ia menyalakan kamera ponsel dan memotret lukisannya. Setelah meletakkan lukisan tersebut di tempat aman untuk dikeringkan, pelukis kita kembali ke ruang tamu. Ia merasa harus menyebarkan kabar gembira ini kepada seseorang. Ia teringat terhadap kawan lamanya yang menghadiahinya lukisan titik hitam. Sambil mengirimkan foto lukisan barunya, ia mengabarkan pada kawannya: “Aku telah menciptakan sebuah mahakarya!”

Kita akan kembali pergi sejenak ke tempat lain, meninggalkan pelukis kita untuk sementara waktu. Kita akan pergi ke rumah seorang pianis sekaligus pencipta lagu, yang tak lain adalah kawan lama pelukis kita.

Namanya tetap tidak penting. Sampai titik ini dan sampai cerita berakhir, aturan tersebut tidak akan berubah. Kita bisa menyebut ia pianis kita atau pencipta lagu kita. Untuk menghemat kata, kita akan menyebutnya pianis kita, meskipun kenyataannya ia lebih dikenal oleh orang-orang sebagai pencipta lagu ketimbang pianis. Berbeda dengan penyair kita dan pelukis kita yang menempati rumah biasa-biasa saja, pianis kita tinggal di sebuah rumah yang cukup mewah. Rumahnya terdiri dari dua lantai dengan pagar tinggi dan berbagai benda mahal memenuhi pelbagai ruangan. Benda paling mencolok di rumah itu adalah piano kesayangan pianis kita. Tentunya kita harus ingat peraturan lain: piano hanya ada di rumah orang kaya. Siapa saja memang bisa menjadi pianis, tetapi orang dengan uang melimpah memiliki peluang lebih besar untuk menjadi pianis.

Pianis kita sedang duduk di sofa ruang utama, ruang di mana piano kesayangannya berada. Di atas meja panjang di depan sofa ada segelas susu yang baru diminum sepertiga. Itu adalah susu yang belum lama dituang pianis kita dari sebuah botol susu besar di kulkas. Ia minum susu setiap pagi. Ia tidak pernah melewatkannya sebagaimana ia tidak pernah melewatkan mengecek pianonya ketika hari baru menjelang. Ia tidak mau ada seorang pun yang menyentuh pianonya sebelum dirinya dan ia tidak mau ada seorang pun yang memindah-mindahkan lembaran kertas berisi lagu atau komposisi rancangannya. Piano itu terletak di sudut ruangan, jauh dari meja utama tempat orang-orang yang bertamu duduk dan bercakap-cakap, dan memang hampir tidak ada orang lain yang menyentuh piano tersebut selain pianis kita. Ada peraturan tak tertulis dalam rumah itu mengenai piano tersebut yang harus dipatuhi oleh semua orang selain pianis kita: hanya boleh dilihat, tidak boleh disentuh. Banyak orang terkagum-kagum melihat piano tersebut dan banyak dari mereka yang kecewa karena tidak diperbolehkan menyentuhnya. Namun saat ini di ruangan tersebut tidak ada siapa-siapa selain pianis kita. Pianis kita sedang merenung. Pianis kita sedang merenung sambil menatap pianonya yang mengkilap seolah-olah baru ada di rumahnya hari ini. Ketika menyesap susu, pianis kita mendapat ide baru mengenai lagu yang akan dibuatnya. Ide ini membuatnya bersemangat. Ia merasa tidak pernah sesemangat ini sebelumnya. Sebelum ide itu menghilang, ia buru-buru mengambil lembaran kertas dan menulis lirik lagu beserta komposisi musik yang akan mengiringinya. Ketika konsep pertama selesai, ia tidak langsung puas. Ia mengubah beberapa bagian, menambahi yang A, mengurangi yang B, menyempurnakan yang C, dan seterusnya. Akhirnya ia pun berhasil menyelesaikan lirik dan komposisi terbarunya. Ia membaca hasil karyanya berulang kali dan yakin tidak lagi perlu perbaikan apa-apa. Ia merasa karyanya orisinil dan paripurna.

Ia ingin memperlihatkan karya terbarunya kepada seseorang. Ia pun membuka kotak penutup pianonya, mulai memainkan komposisi yang baru dibuatnya serta menyanyikan liriknya. Ia merekam permainannya. Seusai itu ia pun mengirimkan gambar kertas lagu dan rekaman suara permainan pianonya kepada seseorang, seorang kawan lamanya yang tidak pernah menghadiahinya apa-apa karena kawan lamanya ini memang tidak punya banyak hal untuk dibagikan dan pianis kita juga tidak memerlukan apa-apa darinya. Kawan lama pianis kita adalah seorang penyair, yaitu penyair kita. Sambil mengirim dua berkas itu, pianis kita menulis kepada kawan lamanya: “Aku telah menciptakan sebuah mahakarya!”

Kita akan kembali ke rumah penyair kita. Saat ini penyair kita sedang membaca lirik lagu buatan pianis kita sambil mendengarkan rekaman permainan piano pianis kita. Ia membaca dan mendengarkannya dengan khidmat.

Di tempat lain pelukis kita sedang membaca puisi buatan penyair kita. Ia juga membacanya dengan khidmat.

Di tempat lain pianis kita sedang melihat lukisan buatan pelukis kita. Ia melihatnya dengan khidmat—tentu saja.

Sementara penyair kita, pelukis kita, dan pianis kita sangat yakin masing-masing kawan lamanya akan terkagum-kagum dan takjub pada karya terbaru mereka, di rumahnya masing-masing penyair kita, pelukis kita, dan pianis kita menyampaikan komentar-komentar pendek kepada masing-masing kawannya: “Ini terlampau lazim. Aku sudah pernah membaca dan mendengarkan lirik dan nada semacam ini,” kata penyair kita kepada pianis kita; “Ini kelewat umum. Aku sudah beberapa kali membaca puisi semacam ini,” kata pelukis kita kepada penyair kita; “Ini terlalu biasa. Aku sudah sering melihat lukisan semacam ini,” kata pianis kita kepada pelukis kita. Saat membaca komentar kawan lama mereka masing-masing, penyair kita, pelukis kita, dan pianis kita mendesah penuh kekecewaan. Tidak pernah ada yang tahu apakah puisi, lukisan, dan lagu mereka sungguh-sungguh sempurna seperti anggapan mereka atau biasa-biasa saja seperti pendapat kawan lama mereka, sebab sebelum mereka menunjukkan karya-karya mereka itu kepada orang lain selain kawan lama mereka, mereka sudah memusnahkan karya itu karena telanjur kecewa kepada diri mereka sendiri. (*)


Ilustrasi dari Wikiart.org

Baca juga:
Kita adalah Tokoh dalam Cerita
Perjalanan Sebuah Botol Kosong


Komentar Anda?