Menu
Menu

Aku pikir aku perlu menutup mulut untuk saat ini dan melihat lebih dekat, mendengarkan dengan saksama lingkungan sekitarku. – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.


Oleh: Rania Alyaghina | – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Menyelesaikan studi dari program studi Belanda, Universitas Indonesia. Ia menaruh minat besar pada penulisan dan penerjemahan. Tulisannya dapat ditemukan di beberapa media, tak jarang hanya mendekam di buku tulisnya.


1

Sebuah pesawat. Saat ini, muncul sebuah pesawat di dalam tidurku. Biasanya keretalah yang berpacu di dalam mimpiku. Sejumlah kereta itu memberiku mimpi buruk berkepanjangan.

Kereta api tiba. Kereta api pergi. Ia mengangkut penumpang menuju tempatku berada. Lalu ia kembali lengang.

Sekarang, kereta api sudah tiada. Kereta terakhir telah membawa René pergi.

René adalah tetanggaku. Tetangga orang Belanda pertamaku.

Duniaku terdiri dari dua bagian. Bagian yang satu terletak di antara pegunungan di tanah airku. Bagian yang lainnya terletak di sini, di sebuah desa di sepanjang IJssel[1]. Aku tidak pernah menginginkan ini. Tetapi, aku tidak punya pilihan. Ini di luar kehendakku.

Aku tinggal di sebuah rumah sudut. Di sebelah kanannya tidak terdapat rumah. René tinggal di sebelah kiri. Aku pertama kali bertemu dengannya di halaman belakang. Hingga halaman belakang itu menjadi satu-satunya tempat aku bertemu dengannya. Semua kenangan yang kumiliki tentangnya berkaitan dengan halaman belakang kami.

Rene menghilang di kereta terakhir, tetapi halaman belakang itu masih hadir.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Kapan, ya, tepatnya?

Aku tidak ingat lagi kapan tepatnya. Setidaknya pasti sekitar tujuh tahun yang lalu, pada bulan Maret atau April, saat aku pertama kali bertemu René.

Sebagai seorang pengungsi, aku ditawari sebuah rumah. Kami dibawa ke sana oleh seseorang dari pemerintah daerah. Meskipun jalan dari sisi lain cukup panjang, kami diantar olehnya melewati jalan memutar di sepanjang IJssel, melewati tanggul. Ia ingin menunjukkan kepada kami lingkungan sekitar rumah masa depan kami. Kemudian kami melewati jalan sempit, melewati padang rumput dan pertanian. Ia berkendara melewati sebuah daerah. Secara tidak terduga, kami berhenti di depan sebuah rumah sudut.

Aku meletakkan koper di ruang tamu yang kosong dan berdiri di depan jendela. Terdapat sebuah parit di belakang rumah. Aku tidak terbiasa dengan pemandangan semacam itu. Segala sesuatu yang ditunjukkan oleh lelaki utusan pemerintah daerah itu belum pernah kulihat hingga detik ini. Padang rumput yang hijau. Traktor. Tumpukan jerami yang ditutupi plastik hitam. Sapi-sapi yang tengah merumput. Tanggul yang kini tampak menghilang dari kejauhan di balik pepohonan. Dan orang-orang yang mengajak anjing mereka jalan-jalan.

Aku biasa melihat pegunungan ketika menilik ke luar jendela. Aku ingin ke halaman belakang, tetapi aku tidak tahu yang mana kuncinya. Petugas kami kemudian membukakan pintu belakang untukku. Rerumputan di taman itu telah tumbuh tinggi. Sampai detik ini, aku belum pernah memijakkan kaki di rerumputan Belanda.

Aku mengamati taman milik René, tetanggaku. Hal pertama yang kuperhatikan adalah pohon premnya. Belum, pohon itu belum berbuah. Hanya saja, setelahnya, pada musim panas, aku melihat buah prem bergantung di dahan dengan warna ajaibnya; biru, hitam, dan ungu, bersinar di bawah semburat matahari.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu René di taman. Ia tinggi, sejengkal lebih tinggi dariku. Empat puluh tujuh tahun dan berambut pirang. Saat itu, aku sendiri berumur 33 tahun dan rambutku berwarna hitam.

“Halo!” sapanya ramah. “Jadi, kau ini tetangga baruku?”

Di pusat perlindungan, aku telah sedikit mempelajari bahasa Belanda, namun aku belum bisa mempraktikkannya.

“Ya, ya,” ucapku ragu-ragu. “Saya tetanggamu.”

Gerbangnya rendah dan rusak, namun masih membentuk sebuah sekat.

Awalnya kukira René tinggal sendiri, tapi ternyata tidak demikian. Sesekali seorang gadis muncul dari balik jendela. Seorang gadis berumur lima belas atau tujuh belas tahun.

Aku bisa mengatakan sepatah dua patah kalimat:

“Siapa gadis yang sesekali muncul dari balik jendela itu?”

Apakah ia putrimu?

“Mengapa kau tinggal sendiri dengan putrimu?”

Aku tidak mengucapkan kalimat-kalimat itu. Aku tidak punya urusan apa pun dengan kehidupan mereka.

Entah rasa penasaran ini normal atau tidak, pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara tidak disengaja.

Apa René punya istri?

Aku tidak tahu.

“Di mana istrimu?” seandainya aku bisa bertanya begitu.

Aku tidak bertanya begitu. Umumnya, pertanyaan semacam itu tidak diujarkan. Kau memperoleh informasi semacam itu dari tetangga, atau hanya mengambil kesimpulan dari lingkungan sekitar. Tetapi kosakata dan frasa yang kukuasai masih terlalu minim untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dengan cara demikian.

Kami adalah pendatang baru. Orang asing. Kami tidak diperhitungkan. Kami harus menunggu lama sebelum kami bisa mendengar rahasia tempat ini.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Kami telah tinggal di lingkungan ini, di jalan ini, selama beberapa bulan sekarang. Para tetangga berjalan melewati kami, seolah-olah kami tidak ada. Seolah-olah tidak ada orang asing di jalan mereka. Aku pun tidak melihat ke arah mereka, jadi aku pun belum tahu rumah itu milik tetangga yang mana, dan perempuan itu milik laki-laki yang mana.

Tetapi lingkungan ini selalu mengawasi kami. Para perempuan di jalan kami bersembunyi di balik tirai, dan memeriksa apa-apa saja yang kami beli untuk rumah kami.

“Tirai.”

“Meja makan. Bukan, meja kerja.”

“Cermin.”

“Jam lonceng. Coba lihat, sebuah jam lonceng besar telah mereka beli. Buat apa mereka membutuhkan benda seperti itu?”

“Mantel. Belinya di pasar loak.”

“Kursi taman yang kuno.”

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Aku meletakkan kursi di taman dan duduk untuk belajar bahasa Belanda. Saat itu, rasanya panas. Musim panas yang menyengat. Di negara asalku, aku bisa belajar di bawah sinar matahari, tetapi di musim panas Belanda pertamaku, aku belum sanggup. Sulit bagiku untuk berkonsentrasi. Musim panas ini amat baru bagiku. Burung-burung, jendela yang terlihat dari luar, pepohonan, rerumputan, semut-semut, suara-suara, perempuan setengah telanjang di taman yang menarik perhatianku, yang tidak membiarkanku mengingat kata-kata asing itu.

René berbaring di tamannya. Lewat gerbang rusaknya, aku menatap bagian punggungnya yang putih susu. Ia berkulit putih. Aku berkulit gelap.

Ia berbalik. Sebilah rumput tergantung di pusarnya. Ia berpindah posisi sedikit, menghadap ke atas. Tiba-tiba mencuat sebuah burung yang besar, tidak berwarna, dan keriput. Belum pernah kulihat burung semacam itu, dari segi ukuran dan warnanya. Sebetulnya, aku tak pernah melihat burung siapa pun, hingga detik ini. Oke, aku keliru. Aku pernah melihat burung sebelumnya. Hanya sekali. Dan tidak terlihat cukup jelas dalam kegelapan. Burung itu milik Asgar de Kale, tukang reparasi sepeda di desa asalku.

Bukannya itu sebuah ketabuan. Tetapi tidak ada burung telanjang yang bisa dilihat di daerah tempat tinggalku saat itu. Ketika aku dan ayahku pergi berkunjung ke sebuah pemandian, setidaknya ada seratus, seratus lima puluh lelaki yang hadir. Mereka duduk di lantai untuk membasuh tubuh mereka. Mereka mengikatkan kain di pinggang mereka. Tetapi meskipun aku merasa penasaran, aku tidak melihat seonggok penis yang secara tidak sengaja mencuat keluar dari bawah handuk.

Ayahku selalu menegur mengingatkan ketika kami berada di pemandian. “Duduklah dengan baik, Nak. Duduk dengan sopan. Dengar! Aku bilang, duduk yang sopan!”

Aku telah diperingatkan berkali-kali oleh ayahku, bahwa tanganku harus senantiasa menjaga barang milikku, kalau-kalau aku bakal mati mendadak.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Lambat laut kutemukan sejumlah hal ganjil lain di lingkungan ini. Dan aku harus terbiasa. Terbiasa dengan semua keanehan ini. Parit itu membuatku takut. Aku takut kalau-kalau putraku tenggelam ke sana. Lingkungan sekitar rumah orang tuaku memiliki warna seperti bebatuan. Bebatuan yang warnanya berbeda di bawah pancaran sinar matahari daripada saat guyuran hujan. Aku pun harus beradaptasi dengan warna hijau yang dominan itu. Seekor sapi yang berada dalam balutan kabut adalah hal baru bagiku. Pancuran mandi khas Belanda juga tidak kupahami. Aku tidak ingin basah, tetap di dalam kamar mandi hingga pancuran berhenti, tetapi benda itu tidak kunjung berhenti. Aku harus terbiasa dengan kaki, perut, payudara, dan pantat telanjang, serta bahasanya. Dan René, tetanggaku, haruskah aku terima tanpa pakaian dalam?

***

Aku bisa berbicara dalam bahasa Inggris, namun bahasa yang harus kupelajari adalah bahasa Belanda. Aku ingin memberi kejutan pada seorang gadis yang sesekali datang ke taman di pagi hari, dengan beberapa kalimat berbahasa Belanda yang tepat, ketika ia hendak memetik buah prem berwarna biru tua.

“Selamat pagi. Namaku Bolfazl. Siapa namamu?”

Aku membeli beberapa kamus. Belanda-Inggris. Inggris-Belanda. Belanda-Belanda. Belanda-Arab. Arab-Belanda.

Kamus Belanda-Persia dan Persia-Belanda tidak tersedia.

Sepanjang hari, sepanjang malam, aku terlampau sibuk dengan bahasa ini. Aku mampu dalam soal membaca, tetapi aku tidak mampu berbicara dengan benar. Aku merasa tidak yakin, berbicara dengan penuh keragu-raguan.

Setelah enam bulan, aku masih belum memliki kontak nyata dengan René. Aku hanya menemuinya di taman.

“Hei,” panggilnya.

“Halo,” jawabku.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Sesekali para perempuan Belanda mengetuk pintu rumahku. Karena kami pengungsi, mereka menawari kami barang bekas.

“Apakah kalian menginginkan ini?”

“Tidak, terima kasih.”

“Musim panas sudah berlalu, aku tidak lagi membutuhkan benda ini. Apakah kau menginginkan ini? Masih bersih, lho. Sudah kucuci dengan bersih.”

“Tidak, terima kasih.”

“Mau mencoba baju ini? Ini baru, lho.”

“Tidak, terima kasih.”

Aku tidak paham, apakah pemberian mereka atas dasar pendekatan semata atau hanya memberikan kami sesuatu sebagai bentuk amal. Tapi kami memaknainya dalam arti lain. Kami justru menganggapnya sebagai semacam penghinaan. Kami berasal dari budaya yang sama sekali tidak menerima barang bekas dari orang lain.

“Bolfazl,” panggil René.

“Ada apa?”

Ia berdiri dengan sepeda ontel tua di tamannya.

“Kau tidak punya sepeda. Mungkin kau menginginkan sepeda ini?”

Ucapannya mengejutkanku.

“Oh, ya, terima kasih,” ucapku.

Sepeda itu memang kuinginkan, karena benda itu dapat membebaskanku dari rumah. Aku menerima pemberiannya, karena sepertinya René sengaja menyimpan sebuah sepeda untukku.

Aku tidak lagi pernah bersepeda sejak kecil. René memiliki kaki yang jenjang, sementara aku tidak, setidaknya tidak sepanjang kakinya. Tapi tidak masalah. Aku telah terbiasa dengan sepeda tinggi. Dulu kami hanya memiliki satu sepeda, sebuah sepeda besar untuk semua laki-laki di rumah kami.

Sepeda itu selalu ada di lorong untuk orang yang membutuhkannya. Untuk keadaan darurat. Untuk membawa orang sakit ke kota. Untuk mengambil obat. Untuk mengingatkan bidan.

Suatu hari, aku menaiki sepeda dan mengayuh menuju toko ayahku. “Yah, segera pulang! Kakek tidak bangun lagi.”

– Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

2

Hari-hari berlalu. Begitu juga dengan malam. Zona waktu Belanda berbeda dengan zona waktu di tanah airku. Hari-hari malammu berbeda. Anakmu ada di atas, di tempat tidur, dan kau berada di bawah dengan istrimu di sofa. Terkadang kami membicarakan hal-hal yang sudah lampau. Terkadang kami tak mengatakan apa-apa. Hanya menunggu. Menunggu apa? Menunggu siapa?

Tidak menunggu apa pun. Setiap malam akan tampak sama, tetapi hari selalu punya sesuatu yang baru bagi kami.

Suatu pagi, aku bertemu dengan seorang lelaki di taman René. Ya, bertemu, aku melihatnya. Aku melihat seorang pemuda yang mengenakan sepasang anting tengah berdiri di taman. Mata dan parasnya kelabu dan ia merokok seperti cerobong asap.

“Selamat pagi, Tetangga.”

Tetangga? Aku tetangganya? Tetapi ia mengatakan yang sebenarnya. Ia juga tetanggaku. Seluruh lingkungan tahu kecuali aku. Aku tidak tahu kalau aku punya dua tetangga laki-laki. Semua tetangga perempuan telah membicarakan tetangga keduaku selama berbulan-bulan, tetapi aku tidak mendengar sepatah kata pun tentangnya.

“Halo, Pak.”

“Tidak perlu menyebutku ‘Pak’,” ucap si pemuda, kemudian menyebutkan namanya. Namun, aku langsung lupa siapa namanya. Beberapa nama tidak tersimpan di otakku. Aku bahkan tidak repot-repot mempelajari bagaimana melafalkan nama-nama mereka. Ketika aku melihatnya, aku langsung tahu bahwa aku tidak akan dapat mengingat namanya. Dalam kasus semacam itu, aku memberi nama sendiri orang-orang yang namanya kulupakan. Aku menyebut pemuda itu Moka Moka.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Setahun tidak cukup. Aku harus menunggu beberapa musim untuk mengetahui rahasia tempat ini. Tetapi sebelum semua musim itu datang dan pergi, terdengar ketukan. René berdiri di depan pintu. Ia mengenakan setelan biru yang rapi dan dasi merah. Ikat pinggang kuningnya tampak mencolok. Tak tampak adanya jejak burung besarnya.

“Aku berulang tahun. Apa kau mau datang ke rumahku malam ini?”

Aku tahu kata sulit ‘gefeliciteerd’ [2]. Tetapi saat itu aku belum mampu melafalkannya. Aku tidak mengenal kata alternatif lain. Jadi aku mengulurkan tangan dan berkata, “Terima kasih.”

“Terima kasih apa? Kau datang atau tidak?”

Aku menoleh ke arah istriku.

“Tetangga kita ulang tahun,” kataku dalam bahasa ibu kami. “Akankah kita mengunjungi rumahnya malam ini?”

“Wah, betapa menyenangkannya,” ucapnya dengan mudah, dalam bahasa Belanda, kepada René. “Ya, kami akan datang. Dengan senang hati.”

Ketika ia pergi, aku menutup pintu dengan hati-hati. Aku tak mampu menahan tawa. René, dengan benda putih-susu besar di dalam celananya, ingin meniup lilin.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Di rumah kami, tidak ada yang merayakan kelahiran. Mati. Yang mati justru lebih penting bagi kami. Kakekku telah lama meninggal dunia, namun topinya masih selalu tergantung di tempat gantungan topi. Terkadang, kukenakan topinya dan berdiri di depan cermin.

“Kebesaran, Nak,” ujar ibuku. “Masih terlalu besar untuk kepalamu.”

Kami tidak mengetahui tanggal lahir Kakek, tetapi kami tahu betul hari pemakamannya. Hari itu, ibuku menabur kuburan orang-orang dengan buah prem. Kami harus menyisakan buah prem berwarna biru donker terakhir di pohon kami. Buah-buah itu dipetik oleh ibuku dan dimasukkannya ke dalam keranjang. Aku diizinkan membopong keranjang itu menuju kuburannya.

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Dengan ragu, kami mendatangi rumah René dengan seikat bunga. Aku mengintip ke dalam rumah dari jendela. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada tamu, tidak ada balon, tidak ada bunga, dan tidak ada lampu tambahan. Aku takut ini bukan hari ulang tahunnya dan aku telah salah memaknai ucapannya. Aku memanggilnya. Seorang pemuda membuka pintu.

“Saya ragu. Haruskah kami datang malam ini atau kami keliru?”

“Ayo, masuk. Kalian dipersilakan. René!” pekik pemuda itu. “Kemari, tetanggamu sudah hadir. Istrinya juga.” Napasnya berbau nikotin, bir, dan lemak.

René datang. Awalnya ia hendak mengecup istriku, tetapi ia berhenti di tengah jalan.

“Se-la-mat-u-lang-ta-hun,” ujarku canggung.

Aku mencari gadis itu. Ia tidak ada di sini. Aku menduga ia mungkin akan datang nanti, namun ia tidak datang. Aku menunggu hingga orang lain berdatangan, namun tak ada yang datang. Kamilah satu-satunya tamu yang hadir. Tak ada lilin yang dinyalakan. Pun tidak ada sebuah kue. Mungkin René merayakan ulang tahunnya pada malam yang berbeda, dan saat ini sengaja mengundang kami secara terpisah.

“Kau benar-benar berulang tahun?”

“Tentu saja. Malam ini aku akan berumur 48 tahun.”

Tempat tidur bekas berwarna hitam besar di bawah jendela itu menarik perhatianku. Sebenarnya, aku tahu mengapa tempat tidur itu ada di sana. Dan sebetulnya tidak juga. Karena aneh bagiku, bahwa di sebuah rumah tempat tinggal seorang gadis, terdapat tempat tidur semacam itu, tempat tidur untuk para laki-laki. Aku memahami bahwa para lelaki itu berkeringat di pelukan satu sama lain, tetapi gadis itu pasti tidak bisa tidur nyenyak di tempat tidurnya di lantai atas pada saat itu.

Aku baru menyadarinya, ketika ibuku datang mengunjungiku.

Karena René tinggal bersama pemuda itu, aku penasaran dengan jejak istrinya. Aku tengah berjalan melewati ruang tamu, dan menemukan beberapa gambar aneh yang menempel di dinding. Foto laki-laki telanjang. Foto bokong lelaki. Dari yang halus. Pucat. Sampai berbulu. Aku menoleh ke arah istriku. Apa kita jatuh ke dalam perangkap? Aku membaca matanya. Tidak, aku tidak merasa begitu. Kami tiba-tiba keluar dari budaya yang mulanya segala sesuatunya terjadi di balik tirai, kini menjadi masyarakat setengah telanjang. Aku pikir aku perlu menutup mulut untuk saat ini dan melihat lebih dekat, mendengarkan dengan saksama lingkungan sekitarku.

Moka Moka menoleh ke arah istriku. Dan aku melanjutkan ke ruangan lain. Tertempel foto lain. Sebuah foto terpisah. Foto payudara seorang perempuan di kaca. Segenggam. Apa perempuan itu sudah matang? Tidak, tidak begitu matang. Foto itu menarik penuh perhatianku.

Apakah payudara di cermin itu milik putrimu?

Ungkapan apa pun tidak akan pernah terpikirkan olehku dalam bahasa Persia. Aku juga tidak pernah bisa mengucapkannya dalam bahasa Belanda. Namun, aku berhasil menuliskannya di atas kertas.(*)

*** – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Catatan Kaki:

[1] Sebuah sungai di kota Arnhem, Belanda.

[2]Bentuk ucapan berbahasa Belanda kepada seseorang yang berulang tahun.

. – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.

Tentang Kader Abdolah atau Hossein Sadjadi Ghaemmaghami Farahani

Seorang penulis yang lahir di Arak, Iran, pada tahun 1954. Ia bermigrasi ke Belanda pada tahun 1988. Sejumlah karyanya banyak berbicara perihal pengalamannya sebagai eksil di Belanda. “Perjalanan Sebuah Botol Kosong” diterjemahkan Rania Alyaghina dari versi Belanda berjudul “De reis van lege flessen”, yang merupakan karya pertamanya yang terbit tahun 1997.


Ilustrasi dari Wikiart.org

Baca juga:
Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o
Seseorang Telah Mengacak-acak Mawar-Mawar Ini – Gabriel García Márquez


Komentar Anda?