Menu
Menu

Semua peserta membawa pulang pertanyaan tentang: Apa sebenarnya yang lebih senyap dari bisikan?


Oleh: Lolik Apung |

Administrator Program di Klub Buku Petra dan Tutor di Rumah Belajar Ba Gerak.


Bincang Buku ke-38 di Perpustakaan Klub Buku Petra, Sabtu, 5 Februari 2022 menjadi salah satu bincang buku yang menggetarkan. Buku yang dibincangkan adalah Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma. Mengapa buku ini begitu menggetarkan?

*

Buku ini bercerita tentang Amara dan Baron, pasangan manusia yang saling jatuh cinta semasa kuliah, menempuh drama-drama berpacaran, tetap teguh satu sama lain, lalu memutuskan menikah, mempunyai anak, menjadi orangtua, hingga akhirnya mereka berpisah. Mereka mempunyai idealisme tertentu dalam berpacaran, yang notabene berasal dari buku-buku yang mereka pelajari di kampus. Mereka ingin menjadi pria dan wanita berkarir, tidak disibukkan dengan tetek-bengek mengurus anak. Namun ari-ari yang masih selalu terikat dengan keluarga di rumah membuat idealisme itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka terjamin secara finansial, tetapi di pertemuan-pertemuan keluarga mereka dengan cepat menjadi bintang keluarga—diperbincangan karena dianggap terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga lupa merencanakan hadirnya seorang anak ke dunia. Maka mereka menurunkan idealisme, lalu mempunyai anak dan merasa anak bisa menjadi puzzle terakhir untuk melengkapi kebahagiaan mereka.

Tampaknya, mempunyai anak menciptakan jalur komunikasi dan hubungan yang tidak lagi sama. Amara dengan segera menjadi seorang ibu yang berjuang belajar banyak hal baru: mengatasi depresi pasca-melahirkan, menyusui anak dan saat bersamaan mengurus rumah, hingga mengatasi sikap infantil dari Baron pasca-kelahiran Yuki. Baron dengan segera juga harus belajar pelajaran dengan SKS tidak terhingga, yang tidak ditemukannya di kampus: menjadi ayah, menjamin api kompor dapur menyala, menjamin kebutuhan anaknya, memberi makan egonya sebagi laki-laki, hingga menjadi tameng depresi Amara.

Semua hal tampak menjadi rumit setelah melahirkan. Neraca keuangan keluarga hancur-lebur, Baron kehilangan pekerjaan karena merasa trading lebih menarik hingga melarikan diri Amara dan Yuki, dan tangan Baron suatu kali mendarat di pipi Amara. Mereka kemudian pindah ke kompleks kumuh, karena tagihan rumah, mobil, dan hal-hal sudah tidak lagi bisa diajak berdamai. Di kompleksnya yang baru ini Amara menjadi makin depresi hingga hendak membunuh Yuki. Ia stres dan terjatuh tidur, tidur yang terasa lelap hingga akhirnya ia menemukan dirinya rebah di pangkuan ibunya, yang ditinggalkannya sejak bertemu Baron, 8 tahun lalu.

Suasana yang menggetarkan ini diungkapkan dengan baik oleh Hermin sebagai pemantik diskusi. Ia merasa kagum, bingung, sekaligus sedih dengan tokoh-tokoh yang menjalankan cerita. Rasa kagum muncul karena para tokoh mempunyai sisi survival-nya masing-masing sesuai dengan peran yang dijalankannya. Hal ini khususnya nampak pada Amara dan Baron ketika mereka sudah menjadi ibu dan ayah (hal. 44), meski akhirnya mereka berpisah.

“Dari sisi inilah saya merasa sedih. Konflik-konflik yang terjadi antara keduanya seharusnya masih bisa dibicarakan dan diselesaikan dengan baik. Konflik ini sesungguhnya berpusat pada manajemen finansial keluarga yang tidak tepat. Namun ego masing-masing membuat mereka menyerah dan lebih memilih melarikan diri dari masalah tersebut meski saudara-saudari mereka: Ibu Amara, Rita saudari Baron, dan Saliman sahabat mereka menawarkan bantuan (hal. 105).”

Kebingungan yang dialami Hermin terjadi karena narator seringkali berperan juga sebagai tokoh Amara. Artinya, tidak terlihat perbedaan yang jelas antara narator dan Amara dan novel Lebih Senyap dari Bisikan ini.

Perasaan-perasaan serupa juga dialami pembincang yang kedua, Ajin Yasinta. Ajin mengalami rasa penasaran dari halaman ke halaman bahkan sejak menerka-nerka gambar pada sampul, hingga ia dipuaskan oleh ending yang tidak diduga yaitu Amara kembali ke rumah tempat ia dilahirkan, kembali ke rahim ibunya (hal. 142). Bagi Ajin, novel ini memberi banyak perspektif yang segar tentang menjadi seorang perempuan. Selain perspektif sosiologis dan biologis yang sudah diketahuinya seperti perempuan harus mengurus rumah tangga, menikah, dan mempunyai anak, ada perspektif baru yang didapatinya dari buku ini yaitu perempuan harus bisa mandiri sejak awal, perempuan harus bijak memilih pasangan, perempuan harus yakin bahwa tubuhmu adalah hakmu dan bukan hak orang lain. Ajin juga merasa kagum dengan teknik bertutur Andina. Meski buku ini hanya untuk kalangan terbatas (21+), sebenarnya bisa dibaca juga oleh kalangan remaja sebab penggunaan banyak istilah biologis dan medis untuk menjelaskan bagian tubuh dan proses alami yang dialami, menghilangkan kesan erotik.

Setelah Ajin, Afin Gagu, anggota Klub Buku Petra yang berprofesi sebagai pemandu wisata menjadi pembincang yang ketiga. Meski ia merasa buku ini jauh dari dunia kerjanya, ia tetap merasa bahwa semua orang mengalami situasi yang dialami dua tokoh utama yaitu pasang-surut hidup berkeluarga. Baron, menurutnya sering dijumpai di dunia nyata; tipe laki-laki yang suka mempertahankan ego meski ia tahu ia harus menguburkannya karena sudah hidup dengan orang lain—Baron menolak bantuan dari saudarinya Rita, bahkan sempat juga menolak bantuan dari ibu mertuanya. Afin menyukai cara bertutur Andina, yaitu bertutur dari sisi perempuan dengan baik (karena ia adalah seorang perempuan) yang mengalami sebagian atau mungkin semua hal yang terjadi pada tokoh Amara. Ia tidak tahu apa jadinya novel ini jika dituturkan oleh seorang laki-laki. “Itu akan menarik,” katanya. Terhadap ending cerita, Afin tidak menyukainya. “Seharusnya Amara harus tetap memperjuangkan keluarganya, bukannya kembali ke ibunya,” tutupnya.

Sebagai pembincang keempat, saya mengamini hal terakhir yang disampaikan Afin. Saya tidak menyukai akhir cerita yang menampilkan Amara yang sudah berada kembali di rumah ibunya, padahal Amara sendiri sudah berikrar di malam pernikahan mereka: aku telah memilih pasangan hidupku sendiri, seseorang yang tidak disetujui mama, dan keberhasilan atau kegagalan pernikahanku kelak adalah hasil keputusanku sendiri (hal. 43). Saya kira ikrar ini dibuat tidak untuk ditinggalkan. Saya menginginkan Amara dan Baron yang tetap keras kepala saling mencintai meski kapal mereka terancam karam. Andina sendiri mempunyai cara bertutur yang baik karena saya hampir tidak menemukan kesulitan berarti ketika memulai membaca buku ini hingga menyelesaikannya.

Pernyataan saya di awal segera mendapatkan perlawanan dari beberapa orang peserta perempuan yang hadir. Febry Djenadut merasa pilihan Amara untuk kembali hidup bersama ibunya merupakan pilihan yang tepat dan aman. “Apa yang mau diharapkan dari Baron yang lebih suka menghilang ketika sedang bermasalah dengan Amara?” tegasnya. Karenanya Febry amat menyukai buku ini, meski ia mengalami perasaan campur aduk ketika membacanya: sedih, senang, lucu, dan penasaran. Ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk masuk dan merasa terhubung dengan tema yang dibahas Andina, khususnya ketika bercerita tentang proses bersalin (hal. 48). “Mungkin karena saya juga seorang ibu dan pernah melalui proses itu,” sebutnya. Baginya basa-basi ketika bertemu teman atau kenalan tidak boleh ‘terlalu basa-basi’, seperti yang dalam Lebih Senyap dari Bisikan membebani Amara. Pertanyaan-pertanyaan kapan punya pacar, kapan tunangan, kapan nikah, kapan punya anak, kapan anaknya punya adik, dan lain-lain lebih terasa sebagai sayatan dibanding perhatian. Menurutnya basa-basi semacam itu bisa diganti dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih keren dan tidak menyinggung. “Kita tidak pernah tahu apa yang dilalui orang lain lain,” tutupnya.

Basa-basi yang seharusnya lebih keren dan tidak boleh menyinggung disetujui oleh pembincang keenam, Febhy Irene. Pertanyaan-pertanyaan yang disinggung oleh pembincang sebelumnya dilihat Febhy sebagai stigma sosial pada perempuan. Menurutnya, stigma ini menjadi diskriminatif ketika perempuan dilihat sebagai penyebab permasalahan dalam rumah tangga dan ini membebani perempuan. Padahal, perempuan adalah tokoh utama dalam kelangsungan hidup berumah tangga bahkan kelangsungan alam ciptaan dan isinya. Perkembangan fase kehidupan perempuan hingga mereka menjadi seorang ibu, hampir pasti selalu menempatkan mereka sebagai tokoh utama. Karenanya, Febhy juga menyukai tokoh Ibu dari Amara dalam novel ini. “Ibunya Amara, yang dipanggil mami adalah sosok penting dalam cerita ini. Meski ia ditinggalkan oleh Amara (hal. 66) tetapi apa pun persoalannya, ia tetap ada untuk Amara, juga untuk Baron, dan Yuki, meski sebelumnya memboikot Amara dan Baron selama delapan tahun karena mereka melawan dengan cara tetap menikah beda agama,” katanya. Febhy akhirnya melihat lebih jauh kepulangan Amara kepada ibunya sebagai sebuah strategi mengumpulkan energi untuk kembali berjuang. “Kita butuh sandaran sebelum memutuskan langkah baru yang hendak dipilih,” tutupnya.

Pembincang ketujuh pada malam itu adalah Marto Lesit. Ia menyoroti Amara dan Baron dengan cukup serius. Menurutnya, Amara dan Baron mengalami disorientasi hidup sebagai suami-istri saat menempatkan anak sebagai tujuan hidup berkeluarga, padahal anak hanya merupakan buah dari kebahagiaan yang ada sebagai tujuan; padahal perbincangan tentang anak antara keduanya selalu semacam bucket list berisi hal-hal yang kau bilang akan kau lakukan tetapi tidak tahu kapan (hal. 4). Baginya, tanpa disadari, prinsip menjalani hidup dengan bahagia yang sebelumnya dianut oleh Amara dan Baron terdistraksi oleh stigma-stigma sosial yang menganggap anak adalah kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga. Marto kemudian teringat pada keluarga dan kenalan yang bercerita tentang susahnya mendapatkan anak, hingga mereka merasa begitu terbebani. Bagian lain yang disampaikan Marto adalah tentang betapa dekatnya cara bercerita Andina dengan kenyataan yang menjadi tantangan keluarga modern saat ini. Menurutnya banyak sekali buku-buku non-fiksi yang membahas tips-tips kehidupan berkeluarga justru dibalikkan dengan cara bertutur jujur dari Andina. Ia juga menyukai analogi-analogi lucu yang dipakai Andina untuk menyampaikan penderitaan yang dialami oleh para tokoh.

Nadya Tanja menjadi pembincang kedelapan malam itu. Ia menyukai buku ini sejak melihat sampul bagian depan; sketsa wajah perempuan dan wajah seorang anak kecil, juga guratan bulatan berwarna hijau dan merah. Sampul ini kemudian mewakili perasaannya ketika membolak-balikan halaman buku. Nadya dihantui banyak perasaan: gembira, sedih, takut, dan juga penasaran. Ia sendiri membayangkan betapa berat hidup yang dijalani Amara dalam novel ini, tetapi sesungguhnya ia merasa memang hal tersebut harus dijalaninya. Baron sebenarnya harus ada di sana: ada ketika Amara melalui masa-masa yang sulit dan bingung dari proses melahirkan dan merawat bayi Yuki, bukannya menghindari semua situasi tersebut. Karenanya, ia merasa kecewa sekaligus sedih dengan perkembangan karakter dari tokoh Baron, yang akhirnya mati: sepertinya pembagian kerja dalam rumah tangga kami saat ini sudah jelas: aku bagian bertahan hidup dan dia bagian kepengin mati (hal. 115). “Baron seharusnya bisa mempunyai karakter yang lebih heroik,” tutupnya.

Sampul buku yang disinggung oleh Nadya ditafsir lebih jauh oleh Retha Janu sebagai pembincang kesembilan. Warna-warna itu menurutnya adalah lampu lalu lintas. Hidup bisa diibaratkan dari sana. “Hijau adalah saat kita harus melaju dan melakukan banyak hal dalam hidup. Kuning adalah saat kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menuntut kita lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Merah melambangkan saat-saat berat dalam hidup di mana kita harus berhenti,” tafsirnya. Lebih lanjut, Retha menyukai cara bercerita Andina yang tidak lebay. Cerita-cerita yang disajikan membuatnya mengambil kesimpulan bahwa semua orang membutuhkan orang lain dalam hidupnya, minimal satu orang, sehingga fragmen menyedihkan ketika Amara hendak membunuh bayi Yuki bisa dihindari: Dia terus tertidur. Dadanya turun naik dengan cepat. Perlahan kuambil bantal di bawah kaki Yuki. Kupandangi wajah anakku yang begitu damai dalam tidurnya, anakku tersayang… Kututup wajah Yuki dengan bantal dan kutekan bantal itu kuat-kuat. Yuki menggeliat dan mulai menangis. Air mata memenuhi wajahku, mengaburkan pandanganku, dan sosok gelap di bahuku tertawa kejam (hal. 140). Fragmen tentang Yuki ini akhirnya mengingatkan Retha pada adik perempuannya, dulu.

Setelah Retha, Beato Lanjong mendapat giliran kesepuluh. Ia mendapat banyak wawasan dari para perempuan yang sudah lebih dulu berbicara tentang Lebih Senyap dari Bisikan pada malam itu. Tentang banyak peserta perempuan yang membela Amara, menurutnya perempuan memang harus lebih berhati-hati memilih pasangan. Amara bisa menjalani kehidupan yang baik bila ia mempelajari pola hilang-muncul, hilang-muncul yang dilakukan Baron jika mereka sedang bertengkar (hal. 30). “Seringkali Baron pergi dan tidak berkabar berhari-hari, tetapi ketika ia kembali, Amara justru tetap tidak mampu menolaknya,” katanya. Novel ini mengingatkan Beato pada gaya bertutur Djenar Maesa Ayu, juga pada Ayu Utami dalam beberapa karya mereka yang vulgar. Menurut Beato, mereka hendak menyampaikan ‘protes’ atas realitas sosial-budaya yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua sehingga tidak heran jika karya sastra para penulis perempuan di Indonesia setelah abad 20, yang juga diprakarsai Ayu Utami melalui Saman dan Larung disebut sebagai ‘sastrawangi’.

Armin Bell menjadi pembincang kesebelas pada malam itu. Ia tidak menuntaskan isi novel ini hingga tidak berkomentar begitu dalam. Dari pembacaan para peserta lain ia berkomentar singkat: “Semua yang diceritakan Andina tidak seharusnya membuat kita takut.”

Tidak demikian dengan pembincang terakhir pada malam itu, dr. Ronald Susilo. Ia memberi inside medis yang membuat para peserta tidak penasaran. Hal yang begitu menggetarkan para peserta adalah penjelasan tentang postpartum depression (PPD)—perempuan mengalami depresi setelah melahirkan. “Jika lingkungan tidak menciptakan situasi yang nyaman bagi dirinya setelah melahirkan, kondisi stres ini bisa meningkat menjadi parah,” ujarnya. Menurutnya, Andina mampu menulis secara merata gejala-gejala dan tingkat-tingkat PPD di seluruh novel Lebih Senyap dari Bisikan ini, dari gejala ringan hingga menjadi tingkat depresi yang amat parah. Gejala dan tingkat depresi itu tersebar secara merata dengan menggunakan alur maju. Dokter Ronald mengurutkannya demikian: gejala itu dimulai di halaman 60 ketika Amara putus asa memberi ASI kepada Yuki, lalu terus berlanjut ke halaman 101 ketika Amara mulai memukul kepalanya dengan keras sebagai ganti rasa kesalnya terhadap Yuki, lalu pada saat Amara tertidur lelap di bawah kolong lantai tempat tidur, hingga ia membanting kepalanya di lantai rumah sakit sebelum mencekik Yuki dengan bantal hendak membunuhnya pada halaman 140. Peristiwa-peristiwa ini menurut Dokter Ronald terjadi karena efek pasca-melahirkan yang tidak disadari dan lingkungan tidak membuatnya menjadi lebih baik. “Andina berhasil menulis dari gejala hingga ke tingkat depresi berat lalu menyebarkannya secara merata di seluruh buku,” pungkasnya.

Pada malam itu, para peserta membubuhi bintang empat pada novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina ini. Semua peserta membawa pulang pertanyaan tentang: Apa sebenarnya yang lebih senyap dari bisikan? Pertanyaan ini juga dibawa pulang oleh beberapa peserta yang hadir untuk pertama kali. Mereka adalah Isma Manehat, Diana Manehat, dan Philip Djeharum. Mereka masing-masing dipanggil oleh minat pada aktivitas membaca dan menulis. Selamat bergabung dan sampai jumpa!


Baca juga:
Bunga-Bunga di Ruteng
Liyan dan Ancaman dalam Cerpen Iwan Simatupang


Komentar Anda?