Menu
Menu

Api pada Damar Kambang harus dijaga agar tetap menyala.


Oleh: Abim Gondrong |

Anggota gondrong di Klub Buku Petra. Peracik Kopi Rahmat di Rumah Produksi Kebundaku.id Manggarai.


Memasuki tahun 2022, sudahkah anda membaca buku? Anggota Bincang Buku Petra mengawali tahun ini dengan Damar Kambang, novel perdana dari Muna Masyari. Lalu membincangkannya pada tanggal 15 Januari 2022, mulai pukul 19.00 Wita, di Perpustakaan Klub Buku Petra—Bincang Buku Petra ke-37.

Pada pertemuan ini, ada lima belas peserta yang hadir; Lolik Apung sebagai moderator, dr. Ronald Susilo, Febry Djenadut, Greg Reynaldo, Beato Lanjong, Yasinta Ajin, Maria Pankratia, Armin Bell, Hermin Nujin, Retha Janu, Marcelus Ungkang, Yuan Jonta, Febhy Irene, dan saya sendiri.

Dan, ini adalah notula pertama saya di Bincang Buku Petra; saya mencoba meringkasnya ke dalam beberapa bagian.

Budaya Madura dalam Filosofi Damar Kambang

Damar Kambang adalah sebuah Simbol pernikahan bagi orang Madura. Simbol ini dibuat oleh pengantin perempuan ketika hendak dilamar pengantin pria. Api pada Damar Kambang harus dijaga agar tetap menyala. Biasanya, jika api Damar Kambang padam selagi pengantin wanita dirias di dalam kamar, rencana pernikahan akan mengalami banyak rintangan atau paling buruk berakhir gagal. Damar Kambang terdiri dari beberapa bahan. Ada wadah, minyak kelapa, pelepah pohon pisang, pintalan kapas, dan api. Bahan-bahan ini menyiratkan hal-hal sebagai berikut:

    • Wadah, simbol tempat hidup dan menghidupkan. Penyatuan dari dua kepala, untuk bersepakat hidup bersama, berkeluarga, tanpa keterpaksaan.
    • Minyak kelapa, simbol kesabaran. Pernikahan merupakan masa yang panjang, lama, sehingga membutuhkan kesabaran agar bisa selamat dalam mengarunginya.
    • Pelepah pohon pisang, simbol harapan untuk berproses seperti pohon pisang yang berbuah sekali saja selama hidup. Pernikahan diharapkan berlangsung sekali seumur hidup. Keempat sudut dari pelepah pisang ini mengandung makna tentang agama, kehormatan, harta, dan rupa. Keempat sudut ini diharapkan menjadi fondasi pendukung bagi suami-istri, saling menjaga dan dijaga, tanpa ada yang abai dan terabaikan.
    • Kapas, simbol kelembutan dan kesucian. Inilah yang menjadi sumbu; penerang dalam kehidupan pernikahan. Suami-istri diharapkan untuk melembutkan hati dan menjaga kesucian hatinya.
    • Api, simbol spirit kehidupan pernikahan, perlu dirawat dan diruwat. Jika padam, dalam kepercayaan tradisi Madura dianggap sebagai sebuah tanda bahwa pernikahan tersebut akan mengalami masalah.

Kisah Damar Kambang dimulai dengan sebuah prosesi lamaran. Kacong, si pengantin pria; membawa hantaran yang tidak sesuai dengan harapan keluarga Chebbhing, keluarga dari pihak perempuan. Walhasil pernikahan dibatalkan. Sakit hati, malu, tersinggung, kecewa, dan dendam berputar di gelanggang hantaran, yang segera berubah menjadi pertarungan martabat antara dua keluarga besar. Lebih baik putih tulang daripada putih mata, lebih baik mati daripada dipermalukan (Ango’an apote tolang etembang apote matah) menjadi prinsip reng Medureh (orang Madura) dalam cerita ini.

Kendati konstruksi sosial masyarakat berhasil membatalkan pernikahan, tetapi konstruksi batin—dalam hal ini cinta—tidak menghentikan cerita cinta Kacong dan Chebbhing. Kacong dibantu pamannya, Sakrah, mengguna-gunai Chebbhing dengan angin kiriman agar Chebbing datang kepadanya. Sementara Madlawi, ayah Chebbhing, membangun sekutu dengang seorang Kiai yang bernama Ke Bulla untuk menangkal angin kiriman Kacong dan pamannya. Cerita ini kemudian berlanjut pada penyingkapan identitas, budaya, dan rahasia-rahasia tersembunyi yang dibawa oleh agama dan kebiasaan masyarakat setempat.

Per-empu-an

Peserta bincang buku malam itu membahas perihal perempuan dengan cukup serius. “Sudut pandang dari buku ini dibuat oleh perempuan dan untuk perempuan, novel ini sangat khas Indonesia di mana pendapat dan keinginan perempuan acapkali tidak didengar,” pantik Nadya mengawali diskusi. Hal ini bisa ditemukan di halaman 59: “Meski agak keberatan, aku tidak bisa berkata apa-apa. Suara perempuan seakan selalu tenggelam di balik wajan, dandang, dan perabot lainnya. Percuma saja mendebat panjang.” Premis mayor Nadya dipertegas oleh Febhy: “Perempuan tidak diberi ruang atau kesempatan untuk melakukan apa yang menjadi mimpi atau cita-citanya, apalagi melawan tradisi yang dijunjung tinggi sejak lama.”

Menurut Febhy, Chebbhing dijadikan tumbal dalam cerita ini. Keberadaannya tidak penting. Ia baru berumur empat belas tahun dan sudah dipaksa menikah. The Power of cibiran juga mampu membatalkan niat menikah dari perempuan. Tradisi hantaran dalam novel ini mengingatkan Febhy pada tradisi belis dalam budaya Manggarai. Tidak jarang, jumlah belis yang tidak sesuai membatalkan pernikahan meski kedua calon pengantin saling mencintai. Bedanya dengan cerita dalam Damar Kambang adalah Chebbhing dijodohkan. “Jika novel ini dibaca oleh perempuan, saya kira banyak yang tidak setuju mengapa perempuan harus selalu menjadi pihak yang dikorbankan,” tutupnya.

Selanjutnya Hermin dengan nada emosional menyampaikan bahwa perempuan di dalam novel ini tidak dinomorduakan, tetapi mereka sedang berjuang untuk mengejar dan mendongkrak posisinya masing-masing. Membaca cerita tentang Chebbhing, Hermin merasa bangga menjadi seorang perempuan. Ketika Chebbhing ditekan, dirinya justru menikmati penderitaan tersebut. Novel ini membuat Hermin juga belajar, bahwa seburuk apa pun masa lalu, setidaknya perempuan masih mempunyai masa depan bagi hidup mereka. “Saya bangga dengan Chebbhing, pertumbuhan karakternya bagus, anak umur empat belas tahun yang polos mengenal Damar Kambang. Terlepas dari hal mistis, Chebbhing punya nilai lebih,” akunya.

Yasinta Ajin memberikan komentar bernada sendu malam itu: “Sebenarnya, saya kasihan dengan perempuan dalam kisah ini, karena saya juga perempuan. Mereka diperdaya laki-laki. Ini terjadi pada Chebbing dan Ki Bullah, yang pada awalnya Chebbing menolak tetapi ketika ia disentuh, ia justru menikmatinya. Rasa kasihan saya kepada Cebbhing mendadak hilang begitu saja, keinginan jasmani mampu mengalahkan harga diri. Demikian juga dengan Marinten,” tutur Ajin.

Setelah Ajin, Maria Pankratia menyampaikan pengalaman membacanya. Menurutnya semua yang jahat ada di dalam buku ini. “Membaca novel ini seperti membaca kisah Sodom dan Gomora dalam Alkitab,” ungkapnya. Bagi Maria, cerita di dalam novel ini bukan hanya cerita mistis, melainkan juga sadistik. Maria juga membahas istilah Pocet yang sering digunakan di Madura sebagai metafora untuk menggambarkan pernikahan dini. Secara harafiah, Pocet dalam bahasa Madura berarti buah yang masih muda (beberapa buah dalam Bahasa Madura, selalu menggunakan kata Pocet di depannya untuk menjelaskan kondisi buah tersebut yang belum benar-benar matang).

Berbeda dengan Maria, Retha Janu justru mengomentari guna-guna yang dipakai oleh Kacong dan Sakrah pada Chebbhing. “Mengapa harus ada guna-guna di dunia ini? Saya sangat tidak menyukai hal seperti itu,” tutur Retha. Meskipun demikian, Retha juga berusaha membela Chebbhing yang ‘lari-ikut’ Kacong. Menurutnya hal tersebut bisa dijelaskan sebagai toxic relationship, bukan karena terkena guna-guna dari Kacong.

Setelah Retha, ada Beato yang berkomentar sangat singkat malam itu. Menurut Beato, di dalam buku ini, perempuan digambarkan sebagai barang, sesuatu yang bisa bisa diperjual-belikan oleh laki-laki dan oleh adat-istiadat, dengan gampang.

Selanjutnya dalam pandangan Yuan Jonta, penggambaran tokoh di dalam novel ini bersifat hitam-putih. Semua lelaki diceritakan sebagai tokoh yang perkasa sedangkan semua tokoh perempuan diceritakan sebagai tokoh yang pasrah.

Sebagai yang mendapat giliran setelah Yuan, bagi saya, buku ini baik untuk mengawali tahun 2022 yang sedang santer membahas masalah kekerasan seksual. Novel ini berani berbicara tentang kasunyatan yang terjadi di Madura; perempuan, budaya, tradisi, kiai, dan dukun.

Apa yang Diperjuangkan?

Hampir semua peserta malam itu sepakat dengan detail penyampaian mendalam pada novel ini. Semua unsur pengindraan dilibatkan dalam tulisannya, kandungan sastrawinya juga bagus. Namun, sebagian besar juga merasa bingung dengan narator tiap bab yang berubah-ubah.

Armin Bell mengomentari penggunaan narator di dalam novel ini yang lebih dari lima. Menurutnya, hal itu baik-baik saja jika setiap narator memiliki ciri khasnya masing-masing. Akan tetapi itu tidak terjadi di dalam kisah Damar Kambang ini. Meski menggunakan banyak narator, suara dan ideologi yang mereka bela, semua terkesan sama. Pembaca seperti sedang membaca seorang Muna Masyari saja. Apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan? Armin menyukai kisah Damar Kambang ini, tetapi teknik menggunakan banyak narator dianggapnya tidak sepenuhnya berhasil.

Sebagai moderator, Lolik menyampaikan pendapatnya tentang geliat kategorisasi buku-buku ke dalam kelompok umur. Baginya, novel Damar Kambang tidak cocok dibaca anak-anak, tetapi melihat tokoh utamanya adalah anak berumur empat belas tahun, dirinya mempertanyakan lagi geliat membatasi buku pada kategori umur.

Selanjutnya Dokter Ronald membahas masalah kesehatan yang juga terdapat di dalam buku ini. “Sebagai dokter saya harus menyampaikan kritik tentang kesehatan,” ungkapnya. Ada bagian cerita yang tidak sesuai dengan kebenaran umum dalam dunia kesehatan. Bagian cerita ini ada di halaman 190: setelah cek golongan darah, hanya darah Kacong yang positif sama. Punya suamiku sendiri hasilnya negatif.” Hal ini menurut dokter sangat keliru karena dalam pemeriksaan golongan darah, tidak ada hasil positif atau negatif, yang ada hanya golongan darah A, B, AB, atau O. Menurut Dokter Ronald secara bahasa, apa yang ditulis Muna barangkali bisa langsung dipahami pembaca, akan tetapi dalam bahasa medis tidak ada hasil positif dan negatif untuk pemeriksaan darah.

Malam itu, peserta bincang buku memberikan bintang empat untuk Damar Kambang, novel Muna Masyari. Setelah diskusi selesai, tiga peserta baru yang iku terlibat pada bincang buku malam itu memperkenalkan diri. Mereka adalah Pepeng Marto, Jimi Nabang, dan Alan Siga. Mereka juga diberi kesempatan untuk memberikan komentar tentang diskusi buku yang telah berjalan. Pelbagai komentar muncul dari ketiga anggota baru ini, termasuk ketertarikan mereka terhadap proses diskusi dan keinginan untuk bergabung pada pertemuan selanjutnya.(*)


Baca juga:
Haniyah dan Ala di Bincang Buku Petra
Puisi-Puisi Irma Agryanti – Trubadur


Komentar Anda?