Menu
Menu

La Muli adalah buku kedua Nunuk yang dibincangkan Klub Buku Petra.


Oleh: Veronika Kurnyangsi |

Anggota Klub Buku Petra. Penyiar di Radio Manggarai.


Kamis, 9 Desember 2021 menjadi Kamis termanis bagi para peserta bincang buku Petra. Cuaca hari itu benar-benar bersahabat. Sekalipun mega mendung telah menghiasi langit kota Ruteng sedari pagi, hujan tidak juga turun hingga matahari terbenam. Hal ini meringankan langkah dua belas anggota Klub Buku Petra menghadiri Bincang Buku yang ke-35. Buku yang dibahas hari itu adalah novel La Muli karya Nunuk Y. Kusmiana. La Muli adalah buku kedua Nunuk yang dibincangkan Klub Buku Petra setelah Lengking Burung Kasuari yang dibahas pada tahun 2019 silam.

Bertempat di Perpustakaan Klub Buku Petra, La Muli yang merupakan Naskah Unggulan Novel Basabasi 2019 dibincangkan dengan begitu hangat, sehangat udara pada malam itu.

Banyak Orang yang Kami Temui dalam La Muli

Yasinta Ajin adalah bertugas sebagai pemantik pada Bincang Buku Petra kali ini. Ini adalah kali ketiga Ajin bergabung di Bincang Buku Petra. Saat memantik diskusi, Ajin langsung menyoroti tokoh-tokoh yang sangat banyak dalam novel karya Nunuk Y. Kusmiana ini.

Menurut Ajin, buku ini seharusnya berfokus pada La Muli sebagai karakter sentral sekaligus representasi keluarga nelayan miskin. Kehadiran tokoh-tokoh yang banyak membuat Ajin merasa, beberapa bagian cerita seperti kisah tentang masalah tanah di Kampung Kayo Batu terasa terpisah dari tokoh La Muli yang diceritakan sejak awal. Ajin melihat, fokus cerita dalam novel itu terbagi-bagi: pada bagian sinopsis dijelaskan tentang kehidupan nelayan pendatang dan juga persoalan tanah suku asli yang menjadi warisan masa lalu. Namun, kisah La Muli yang sudah diceritakan dengan baik di awal menjadi tidak nyambung ketika memasuki kisah tentang masalah tanah di Kampung Kayo Batu.

Tokoh kedua yang Ajin soroti adalah Frits Kayapo. Kayapo adalah komandan yang suka bertindak sewenang-wenang. Ia mengharuskan warga membuat dinding di sekeliling sumur dengan alasan mandi di sumur secara terbuka adalah sesuatu yang tidak sopan meskipun perempuan mandi dengan menggunakan kain. Bagi Ajin, Frits memanfaatkan jabatannya untuk menutup ego dan fantasinya saat melihat kaum perempuan mandi di sumur. Ajin juga merasa prihatin dengan kehidupan Sarita. Masyarakat memandang Sarita sebelah mata karena profesinya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Bahkan ketika Sarita dipukul oleh salah seorang pelanggan, tidak ada satu pun tetangga yang datang menolong.

Selepas masalah Sarita, Ajin menyoroti kepekaan pihak gereja terhadap kehidupan warga Kampung Baru. Pihak Gereja menolak La Muli yang datang meminta sumbangan untuk membuat dinding sumur. Pihak gereja mengatakan bahwa mereka tidak minum air dan mandi di sumur tersebut sehingga tidak perlu memberikan bantuan. Ajin merasa pihak gereja kurang peduli dengan warga Kampung Baru. Adapun tokoh yang disukai Ajin adalah Bapak Letnan, sebab meski ia adalah seorang tokoh yang berwibawa, bijaksana dan disegani, ia juga adalah sosok suami-suami yang menghormati istrinya.

Setelah Ajin, Afin Gagu menyampaikan pembacaannya. Afin memulainya dengan menyoroti tokoh Sepuh. Ketika Si Sepuh bertemu dengan La Muli kecil, ia langsung mengatakan jika kelak La Muli akan pergi ke tempat yang jauh dan menjadi orang penting. Pertemuan Si Sepuh dan La Muli kecil dikaitkan Afin dengan kebiasaan orang Manggarai yang menganggap anak kecil dengan semangat juang tinggi akan memiliki masa depan yang cerah. Ternyata masa depan cerah yang dimaksudkan oleh Si Sepuh adalah menjadi Ketua RT.

Sebagai Ketua RT, tugas pertama yang diterima La Muli adalah membuat dinding di sekeliling sumur tempat warga mandi. Banyak sekali tantangan yang dihadapi La Muli. Mulai dari memberikan penjelasan kepada warga tentang maksud pembuatan dinding sumur, pengumpulan iuran, warga yang menolak memberikan iuran, minimnya pengetahuan warga tentang teknik membangun dinding, hingga Mutmainah istrinya, yang mengeluhkan status sebagai ketua RT yang non-profit.

Masa depan yang cerah rupanya tidak harus berkaitan dengan memiliki harta atau status sosial yang tinggi tetapi bisa juga dengan memiliki tanggung jawab mengurus kehidupan bersama. Selain La Muli, para pendatang maupun suku asli di Kampung Nelayan itu juga mendapat sorotan dari Afin. Menurutnya, para warga tidak memiliki kepedulian terhadap kelestarian burung Cendrawasih yang populasinya menurun. Afin sangat menyayangkan perburuan liar yang terjadi di dalam novel ini. Ia kembali mengaitkannya dengan keadaan di Manggarai. “Di Manggarai kita juga punya burung unik yaitu Ngkiong. Semoga saja orang Manggarai mampu melestarikan keberadaan burung ini,” katanya.

Peserta ketiga yang menyampaikan pembacaannya adalah Beato Lanjong. Tokoh yang menarik baginya adalah Sarita. Beato memuji cara Nunuk memilih ‘perempuan untuk semua’ untuk mendeskripsi pekerjaan Sarita sebagai PSK.

Tentang pekerjaan Sarita ini, Beato memeriksa arti kata ‘pelacur’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pelacur berarti perempuan tuna susila. Arti kata ini, menurutnya harus diubah, sebab pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan tetapi juga laki-laki. Di sini terjadi bias gender. Keputusan Nunuk menggunakan ‘perempuan untuk semua’ dibandingkan menyebut pelacur, menurut Beato adalah hal yang sangat bagus. Selain Sarita, Beato juga menyoroti Komandan Frits Kayapo yang memaksakan nilai luar masuk ke Kampung Nelayan meski ia sendiri orang asli Papua. Pemaksaan nilai dari luar inilah yang menyebabkan komandan merasa perlu membangun dinding mandi di sekitar sumur, padahal sebelumnya orang sudah menganggap hal itu sebagai kebiasaan. Nilai itu di kemudian hari runtuh lewat dinding yang tidak dibangun dengan kokoh.

Hermin Nujin mendapat giliran selanjutnya. Hermin menyatakan kesukaannya pada beberapa tokoh dan kekecewaan terhadap tokoh-tokoh yang lain. Hermin menyukai karakter La Muli karena lugu, polos, jujur, dan tidak tertarik mengkorupsi iuran pembangunan sumur meskipun ia dan Mutmainah istrinya hidup susah. Hermin menyukai Mutmainah sebagai sosok yang tetap setia kepada suami, entah ada uang atau tidak. Semangat juang Ondoafi Kayo Batu dalam menyelesaikan persoalan tanah, juga menurut Hermin patut diteladani meskipun mereka menghadapi penolakan berulang dari Gubernur yang tidak mau mengurus surat-surat tanah ulayat milik Suku Kayo Batu dan Kayo Pulo. Tanah-tanah kedua suku itu meliputi seluruh wilayah Jayapura dan kini di atas tanah ulayat ini dibangun gedung-gedung pemerintah dan pemukiman-pemukiman pendatang, hal yang tidak disetujui suku asli karena tidak meminta izin terlebih dahulu. Tokoh yang membuat Hermin kecewa di antaranya adalah Frits Kayapo. Sang komandan seringkali membayangkan seorang perempuan pendatang, Farida yang biasa mandi di sumur meski ia telah beristri.

Retha Janu menjadi pembicara kelima pada Bincang Buku Petra malam itu. Ia menyukai anak kecil yang tergambar pada cover novel ini. Cover ini membuat Retha bergembira. Warnanya yang cerah; kuning dan biru, menarik perhatiannya. Meski demikian, tidak ada tokoh cerita yang membuatnya begitu bergembira. Ia hanya kagum pada cerita tentang tokoh Mutmainah yang setia kepada La Muli suaminya, dan tokoh Stefanus yang mengingatkannya pada seorang teman yang juga bernama Stefanus.

Cerita tentang bunuh diri di laut yang gagal dilakukan Mutmainah, membawa Retha pada gambaran positif tentang laut. Laut adalah simbol kedalaman dan keluasan, meski ia menyimpan banyak misteri. Sedangkan Stefanus adalah tokoh yang diceritakan sepintas, sebagai penggali sumur. Tokoh ini mengingatkannya pada Stefanus sahabatnya yang sering mengajarkannya untuk mengalami seseorang atau sesuatu dengan dalam. Pekerjaan Stefanus sebagai penggali sumur cukup pas dengan nasihat sahabat Stefanus dalam kehidupannya.

Maria Pankratia mendapat giliran selanjutnya. Maria menyoroti juga peran tokoh Si Sepuh di awal cerita. Maria mencoba menafsir ucapan Si Sepuh kepada La Muli: “Kamu akan mengurus banyak orang di kemudian hari.” Maria melihat tugas yang dijalankan La Muli sebagai Ketua RT, sama dengan jabatan-jabatan lain dalam masyarakat yaitu mengurus banyak orang. Maria berharap ada kelanjutan cerita tentang Si Sepuh pada halaman-halaman lain, tetapi ternyata hanya sedikit dan tidak memuaskan.

Maria kemudian menyoroti tokoh Ibu Letnan. Menurut Maria, Ibu Letnan adalah sosok yang lucu dan baik tetapi sangat perhitungan. Ketika Ibu Letnan menyaksikan dinding di tepi sumur runtuh, ia pada akhirnya menyesal karena tidak mengingatkan warga agar menggunakan teknik cakar ayam sebagai fondasi dinding. Ia sebenarnya tahu kalau fondasi dinding itu tidak kuat, tetapi ia memilih diam ketika dinding itu dibangun. Maria menantikan dialog Ibu Letnan dengan tokoh lain di dalam novel, tetapi hingga cerita berakhir, Ibu Letnan hanya digambarkan melalui penceritaan narator. Hal yang paling lucu bagi Maria adalah penampakkan Wa Nona yang mirip pocong.

Setelah Maria, dr. Ronald Susilo mendapat giliran ketujuh. Ia menyukai nama-nama tokoh dalam novel ini. Nama-nama yang baginya sangat keren seperti La Muli, Pendeta Clifford, Frits Kayapo, dan lain-lain. Sementara itu, Armin Bell menyoroti peran yang dimainkan La Muli dalam novel ini. Armin melihat La Muli dalam perspektif orang-orang yang mengejar jabatan. “Kadang kita mencari jabatan karena privilese, sampai kemudian kita sadar bahwa jabatan tersebut  tidak seistimewa yang kita harapkan, sehingga pada akhirnya kita tidak melakukan pekerjaan dengan baik. Akan sangat menyedihkan ketika menikmati jabatan tetapi tidak cukup mampu melaksanakan tugas,” katanya.

Ia juga menyoroti dinding mandi di tepi sumur yang runtuh. Menurutnya, dinding ini runtuh akibat motivasi pembangunan Frits Kayopo yang sangat dangkal. “Ketika kau membangun tanpa skema besar, hanya menyelamatkan orang-orang tertentu, kau tidak akan ke mana-mana. Frits Kayopo membangun dinding hanya untuk menyelamatkan Farida, bukan bermaksud menyelamatkan semua orang,” tutupnya.

Lolik Apung kemudian mendapat giliran kesembilan. Ia tidak terlalu banyak menyukai tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh Nunuk karena tokoh-tokoh itu ditampilkan menggantung. Tokoh La Muli misalnya tidak ditampilkan lebih banyak, padahal La Muli adalah judul buku ini. “Tokoh yang ditampilkan lebih banyak justru adalah Ibu Letnan. Seharusnya Ibu Letnan menjadi judul buku ini,” katanya.

Pembicara terakhir pada malam itu adalah saya. Tokoh-tokoh yang diceritakan Nunuk dalam novel ini membawa saya kembali ke Papua. Saya pernah berada di sana selama beberapa tahun. Apa yang ditulis, sebagian besar pernah saya lihat dan alami. Jadi saya merasa sangat familiar. Apalagi penulis juga menggunakan bahasa tutur Papua yang juga pernah saya gunakan. Meski demikian, beberapa dialog terasa tidak seperti cara bertutur orang Papua. Hal ini membuat saya menyimpulkan bahwa Nunuk hanya memotret Papua dari jauh, tanpa riset yang cukup mendalam.

Salah seorang peserta, Emi Arut, yang tidak sempat hadir pada malam itu mengirim hasil pembacaannya melalui ke grup WhatsApp Klub Buku Petra. Emi menyoroti tokoh La Muli yang tidak mengalami perkembangan karakter yang signifikan setelah mendapat ramalan dari tokoh Si Sepuh yang mengatakan, kelak ia akan menjadi orang penting. Emi mengharapkan La Muli menjadi tokoh yang lebih penting lagi dari sekadar seorang ketua RT. Namun ia juga memuji La Muli yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai seorang ketua RT dengan baik. La Muli bahkan beberapa kali mengorbankan urusan rumah tangganya sendiri.

Penyuntingan yang Longgar dan Tema yang Banyak

Beberapa peserta yang hadir pada malam itu menduga bahwa novel ini diterbitkan terburu-buru. Dokter Ronald satu di antaranya. Ia mengurutkan beberapa alasan. Mulai dari tata letak, kesalahan pengetikan yang cukup banyak, kontrol yang longgar sehingga suara narator dan kutipan langsung tokoh kadang bertukar tempat, serta beberapa paragraf berurutan yang seperti tidak terjaga koherensinya.

Dokter Ronald juga menilai jika Nunuk mengangkat terlalu banyak tema dalam novel ini. Menurutnya, ada tiga masalah besar yang seharusnya diperdalam oleh penulis yaitu tentang kehidupan La Muli, tentang tanktank peninggalan Jepang dan Belanda, serta tentang masalah tanah. Namun, dalam novel ini justru disajikan tanpa pengaturan bab yang cukup jelas. Pekerjaan penyuntingan novel yang longgar ini juga menjadi poin perhatian Armin Bell, selain banyaknya cerita yang akhirnya menguap begitu saja; seperti cerita tentang tank-tank peninggalan penjajah, cerita tentang si sepuh dan bocah di awal cerita, dan cerita tentang La Muli sendiri.

Novel La Muli karya Nunuk Y. Kusmiana ini mendapat tiga bintang pada Bincang Buku Petra malam itu. (*)


Baca juga:
Sentuh Papua: Rindu Tapele Tanjung dan Lautan
Haniyah dan Ala di Bincang Buku Petra


Komentar Anda?