Menu
Menu

Seseorang datang padamu dan mengatakan dia sudah ada di tiga hari terakhir hidupnya.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Anggota Bincang Buku Petra. Ketua Yayasan Klub Buku Petra.


Apa yang akan kau lakukan pada tiga hari terakhir hidupmu? Ketika pertanyaan itu diajukan pada sebuah misa arwah dan tentu saja adalah pertanyaan retoris sebab disampaikan dalam kotbah, saya menunggu pastor yang memimpin misa itu menyampaikan jawabannya. Pada masa menunggu itu, yang hanya beberapa detik saja, ada juga beberapa kemungkinan jawaban di kepala. Jalan-jalan ke Cappadocia? Ha-ha-ha. Saya tertawa kering dalam kepala. Dari Ruteng ke Jakarta satu hari. Mengurus dokumen perjalanan barangkali berhari-hari. Dan waktu tiga hari telah selesai.

“Ada yang mungkin akan memilih minum sopi, makan daging babi panggang, pokoknya semua yang enak yang sebelumnya tidak boleh dia lakukan,” kata pastor yang berkotbah itu. Saya mengangguk-angguk—baik juga rasanya melakukan semuanya sepanjang tiga hari terakhir itu. Saya melirik umat-umat yang lain dan melihat beberapa di antaranya tersenyum. Mungkin mereka memikirkan hal yang sama: foya-foya sebelum mati. “Orang-orang hedon (hedonis) barangkali akan mengambil pilihan itu,” sambung pastor itu. Saya berhenti mengangguk-angguk, senyum hilang dari semua wajah. ” Tetapi ada yang akan menggunakan waktu tiga hari untuk berdamai!” Tidak persis seperti itu kalimat yang saya dengar di kotbah itu tetapi maksudnya kira-kira begitu.

Artinya, selain kelompok hedonis tadi (saya menduga anggota kelompok ini mestilah sangat banyak), terdapat kelompok lain yang akan menggunakan waktunya untuk memperbaiki hal-hal yang rusak akibat pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak menyenangkan kepada dan oleh orang lain selama hidupnya. Meminta maaf, memberi maaf, bermaaf-maafan, agar pergi ke seberang dengan tenang: untuk kebahagiaan abadi. Kira-kira begitu.

Apa yang Adam Lerner lakukan? Jurnalis radio berusia 27 tahun itu berhadapan dengan kenyataan yang mirip. Sebut saja, di ambang kematian. Hidupnya memang belum dipastikan akan berakhir. Apalagi dalam waktu tiga hari. Masih di peluang lima puluh lima puluh. Fifty fifty. 50/50. Tetapi menjelang operasi kanker langka di tulang belakangnya, dia mengalami situasi ‘mau tidak mau harus siap menerima mati’. Bukankah demikian cara sebagian besar dari kita melihat hal yang probabilitasnya lima puluh lima puluh? Adam Lerner menyatakannya: That’s what everyone has been telling me since the beginning, “Oh, you’re gonna be okay,” and “Oh, everything’s fine,” and like, it’s not… it makes it worse… That no one will just come out and say it. Like, “Hey, Man, You’re Gonna Die.”

Oh… Maaf, saya belum bilang. Adam Lerner adalah tokoh di sebuah film. 31 September 2011, sebuah film berjudul 50/50 diluncurkan di Amerika. Adam Lerner, diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt, adalah sosok pemuda ideal: usia 27 tahun, memiliki pekerjaan, pekerjaan itu disukainya, penghasilan yang baik, dan seorang kekasih yang mencintainya.

Adam memiliki semua yang diinginkan pemuda seusianya, barangkali. Sayang, pada usia itu juga ia tahu bahwa ia mengidap kanker langka di tulang punggungnya (dengan kemungkinan yang fatal). Setelah serangkaian terapi yang tidak berhasil, dia akan dioperasi. Dokter yang memimpin operasinya hanya mampu memberi jawaban paling standar: kami akan berusaha melakukan yang terbaik. Bukankah itu terdengar sebagai “bisa jadi operasi ini tidak akan berhasil dan kau akan mati” bagi cukup banyak orang yang ada di situasi itu?

Kyle Hirons, sahabat Adam (diperankan oleh Seth Rogen) barangkali masuk dalam kelompok hedonis. Dia ingin memberikan Adam pengalaman terbaik sebelum mati. Ah, itu film yang bagus. Tentang persahabatan; itu yang seorang sahabat akan lakukan, to? Maksud saya, ketika seseorang datang padamu dan bilang bahwa itu adalah tiga hari terakhir hidupnya dan orang itu adalah sahabatmu, bukankah kau ingin memberinya kesenangan-kesenangan agar dia mati dengan bahagia? Bahkan jika selama ini kau telah menjadi seorang sahabat yang buruk, kau tetap ingin meninggalkan kesan yang baik pada temanmu yang kau tahu akan segera pergi. Begitu?

Sebentar… Siapa sebenarnya yang harus pusing dengan urusan tiga hari terakhir ini? Seseorang yang jatah hidupnya di bumi ini atau kita yang ditinggalkan?

Kotbah itu telah selesai lama. Beberapa pekan setelahnya, ketika mulai menulis untuk Jangka kali ini, saya masih memikirkannya. Memikirkan banyak.

Tentang usaha berdamai, misalnya, apakah harus menunggu tiga hari terakhir? Atau tentang hal lain: seseorang yang datang padamu dan meminta maaf adalah orang yang benar-benar telah menyakitimu secara pribadi dan sosial; apakah kau akan memberinya kedamaian? Selalu ada peluang bahwa tanganmu kau ulurkan tetapi pintu maaf telah kau tutup dan kau buang kuncinya ke palung laut paling dalam. Atau tentang hal lainnya lagi: (kalian harus memikirkannya juga).

Rachael, diperankan oleh Bryce Dallas Howard adalah kekasih Adam. Mengetahui bahwa kekasihnya itu berada di gerbang antara, Rachel memilih memikirkan dirinya sendiri, meninggalkan Adam. Pilihan yang umum. Meninggalkan daripada ditinggalkan. Iya ka?

Apa yang akan kau lakukan pada tiga hari terakhir hidupmu? Pertanyaan itu seharusnya didengar sebagai ini: Apa yang kau lakukan sekarang? Sebab memang begitu. Siapa yang tahu berapa lama lagi dia hidup? Di Manggarai, dalam frasa yang puitis untuk menceritakan kematian, kami sesekali akan bilang kolé kété. Kolé berarti kembali/pulang dan kété berarti tangkai/tempat buah bergantung/tempat asal. Dan, kita semua akan pulang.

Lalu kita mendengar percakapan tentang meminta maaf dan memberi maaf di sekitar kita. Lalu kita memutuskan yang ini boleh yang itu tidak. Lalu? Seseorang yang datang padamu dan meminta maaf pada tiga hari terakhir hidupnya, bisa saja adalah dirimu sendiri. Apa yang kau katakan padanya?

Repot sekali rasanya urusan di seputar tiga hari terakhir ini. Barangkali karena itulah tidak seorang pun boleh tahu kapan dia mati. Setiap orang diminta membangun mimpi tentang masa depan yang cerah. Indah sekali. Lalu?

Adam Lerner memenangkan pertarungan itu. Operasinya berhasil. Melalui tangan dokter dan tim yang menanganinya. Sebab kau tidak sendiri. Kau tidak bisa hidup sendiri. Selalu ada orang lain dalam hidupmu. Mengapa memikirkan tiga hari terakhir dalam hidupmu? Atau mengapa tidak memikirkannya? Toh, kau hanya perlu mengisinya dengan melakukan yang terbaik, termasuk pada seseorang yang datang dan meminta maaf padamu—bisa saja adalah dirimu sendiri. Itu yang kau lakukan sebelum kolé kété, bahkan di tahun sesulit sekarang: kapan pandemi ini selesai? (*)


Ilustrasi: Photo by Jovydas Pinkevicius from Pexels

Baca juga:
Puisi-puisi Joy Olree – Singkatnya Hidup
Jangka – Kita Semua Perantau


2 thoughts on “Tiga Hari Terakhir”

  1. Jerry Gatum berkata:

    Mantap pesannya e.

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Terima kasih, Kak.

Komentar Anda?