Menu
Menu

Bagaimana Leak Tegal Sirah berkisah tentang Leak dan ’65?


Oleh: Beato Lanjong |

Pustakawan Klub Buku Petra. Anggota Bincang Buku Petra.


Memasuki Bincang Buku Petra yang ke-34, novel I Putu Bawa Samar Gantang, seorang penulis dari Bali, dipilih untuk dibahas pada hari Sabtu, 27 November 2021 di Perpustakaan Klub Buku Petra. Sepuluh peserta hadir mendiskusikan Leak Tegal Sirah, novel yang dikerjakan selama kurang lebih sembilan belas tahun ini.

Retha Janu yang menjadi pemantik malam itu, membuka kesan pembacaannya dengan menyampaikan rasa lelah yang dialaminya setelah membaca novel ini. Novel itu ternyata bukan tipe yang disukai Retha; ada jarak dengan istilah yang digunakan penulis yang berlatar belakang budaya Bali. Hal inilah yang membuatnya kesulitan menangkap hal yang hendak disampaikan penulis melalui novel ini.

Tentang PKI yang diangkat sebagai topik utama Leak Tegal Sirah, Retha mengaku merasa seperti dipanggil kembali ke masa ketika masih di SD dan SMP, pada mata pelajaran Sejarah. Menurut Retha, membaca novel ini terasa seperti membaca buku sejarah yang membuatnya harus mengingat daftar nama-nama, tanggal, dan tempat kejadian yang justru membuatnya kesal.

Setelah menyelesaikan sebagian kisah, Retha kemudian paham bahwa sekian banyak nama yang disebutkan di bagian awal novel, menjadi penting—khususnya bagi penulis—untuk dimasukkan ke dalam teks: “Dalam sejarah ada yang dicatat, ada yang dilupakan. Tetapi bagi keluarga yang menjadi korban, di setiap kampung yang warganya hilang entah ke mana, mereka mencatat, mereka mengingatnya turun-temurun. Ketika hilang tak pernah kembali, mereka mengerti bahwa keluarga mereka sudah meninggal” (hal. 68). Penyebutan nama-nama tersebut memiliki tujuan, dan menurut Retha merupakan bagian terbaik dari novel ini.

Tentang judul, Retha melihat Leak Tegal Sirah kurang menggambarkan keseluruhan cerita. Pembahasan mengenai Leak yang tidak banyak dibandingkan pembahasan mengenai pembantaian dan kekejaman terhadap korban menjadi alasan Retha menyampaikan pandangan itu. Retha juga mempertanyakan apakah betul siswa bisa masuk dalam kelompok partai politik dan mengambil andil dalam kekejaman pembantaian pada saat itu?

Teror yang Kuat dalam Leak Tegal Sirah

Bagi saya, novel ini agak “ngeri-ngeri sedap”. Saya pikir, suatu karya besar yang mengagumkan dibuat dari pengalaman luka atau duka. Hal yang paling dominan di dalam novel ini menurut saya justru ‘rasa takut’ atau teror yang sangat kuat. Dapat dilihat pada kutipan percakapan antara Siluh Jibrug dan anaknya Ti Jabrak “namun dalam suasana genting ini, takutlah yang paling dominan” (hal. 66).

Pemerintah zaman itu, demi melanggengkan kepentingan pribadi—dalam dalam hal ini Soeharto, menebarkan rasa takut dan ‘mempropagandakan’ bahwa PKI adalah musuh negara yang harus diperangi. Situasi ini menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah sendiri juga merasa takut.

Mengutip beberapa sumber yang dibaca sebagai data pendukung bahwa partai PKI pada saat itu menjadi partai yang sangat berpengaruh dan sangat konkrit sehingga bisa menjaring masyarakat akar rumput. PKI ternyata bisa membangun solidaritas dari bawah.

Perbedaan cara pandang tentang ideologi partai yang di kemudian hari menjadi kambing hitam dari pertarungan ideologi dunia dan kepentingan primordial lainnya pada saat itu. Sampai pada titik tertentu bahwa wacana akan bahaya pengaruh PKI terus-menerus diproduksi dan kemudian dianggap sebagai kebenaran sehingga genealogi atau reproduksi dari kekerasan terhadapat korban terus berlanjut sampai kepada orang-orang yang  “dianggap” keturunan PKI. Penayangan film penumpasan PKI sebenarnya hanya menceritakan kisah sejarah dari sisi “orang-orang–yang menganggap diri–menang”.

Dari novel ini, saya mendapat suatu simpulan dari “perspektif korban” atau orang-orang yang kalah. Di bagian akhir, penulis juga menyertakan pengetahuan mengenai adat, kebudayaan, dan kebiasan orang Bali yang menjadi pengetahuan tambahan bagi pembaca.

Berbeda dengan saya yang menganggap novel ini ngeri-ngeri sedap, Ajin mendapat kesan bahwa novel ini seram tetapi konyol. Leak yang merepresentasikan begitu seram dan horornya novel ini, pada bagian lain malah menampilkan hal-hal yang terasa konyol dan lucu sehingga membuat pembaca tertawa. Sama seperti Retha, Ajin melihat bahwa Leak yang digunakan sebagai judul buku ini, tidak begitu signifikan dibahas dibandingkan dengan pembahasan tentang para korban PKI.

Ajin juga melihat repetisi dalam pembahasannya dan beberapa istilah yang diikuti penjelasan menjadi percuma, karena sebenarnya telah terdapat pada glosarium di bagian akhir novel. Kesan akhir dari pembacaan Ajin, novel ini disukainya walaupun dalam beberapa bagian terasa membosankan.

Lalu giliran Emi Arut yang baru pertama kali mengikuti bincang buku bersama Klub Buku Petra. Fokus Emi dalam komentarnya adalah reproduksi pengetahuan mengenai PKI; pertentangan antara apa yang diperoleh di bangku sekolah dengan narasi-narasi baru yang muncul beberapa tahun terakhir.

Setelah Emi, Armin Bell menyampaikan hasil pembacaannya. Menanggapi pernyataan saya yang membahas tentang “luka”, Armin melihat bahwa penulis yang datang dari situasi “terlalu terluka” kemudian menceritakan terlampau banyak. Sebagai akibatnya, pembaca akhirnya menguras banyak energi dan seperti membaca informasi yang berulang; baik dalam tubuh novel maupun di luar novel. “Butuh perjuangan untuk membaca novel ini, dan saya gagal menyelesaikan (membacanya) dengan baik,” demikian Armin menutup kesan pembacaannya terhadap novel ini.

Febri Djenadut juga mengalami situasi yang mirip ketika membaca Leak Tegal Sirah. Ia yang biasanya menjadikan novel sebagai media untuk hiburan atau menghilangkan rasa penat, kemudian merasa terlampau banyak informasi yang tidak ia butuhkan dan tetapi mesti ia lahap. Novel ini, menurutnya, sangat detail dan situasi itu ditemukannya dalam setiap bab, walaupun dalam beberapa bagian terdapat hal yang lucu dan konyol. Berhadapan dengan situasi itu Febri bingung, harus bereaksi seperti apa?

Tentang Leak yang oleh beberapa anggota Bincang Buku Petra lainnya dianggap kurang mewakili keseluruhan cerita, Febri melihatnya dengan cara yang berbeda. Menurutnya penggunaan Leak pada judul novel I Putu Bawa Samar Gantang adalah metafora yang menggambarkan seluruh ketakutan yang dikisahkan di dalam novel ini.

Berbeda dengan yang lain, Hermin Patrisia yang berprofesi sebagai seorang perawat di Klinik Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose, Ruteng, menanggapi adegan Siluh Jibruk yang ketakutan melihat arwah para petani yang dipenggal kepalanya. Dalam novel dikisahkan bawah mereka adalah orang-orang yang terdaftar dalam nama-nama yang dieksekusi. Menurut Hermin, Siluh Jibrug mengalami halusinasi yang berlebihan akibat rasa bersalah yang terlalu dalam terhadap orang-orang yang daftar namanya telah ia berikan untuk dieksekusi. Hermin melihat Siluh Jibrug sebagaimana pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa yang sering ia tangani.

Sedangkan mode penceritaan yang lompat-lompat membuatnya kurang memahami maksud cerita. Ditambah lagi kisah kematian yang dimasukkan di bagian awal cerita, terkesan terlalu tergesa-gesa dan sebagai akibatnya Hermin melihat cerita selanjutnya menjadi terasa biasa.

Land Reform dan Peristiwa ’65 yang Belum Selesai

Sementara itu, dr. Ronald Susilo yang mendapatkan giliran setelah Hermin menyoroti kesalahan pengetikan serta hal-hal lain yang luput dalam proses penyuntingan sehingga cukup banyak pesan yang ingin penulis sampaikan justru agak sulit ditangkap pada pembacaan pertama. Tentang isi novel, Dokter Ronald menitikberatkan pembacaannya pada istilah dan kebijakan land reform yang menjadi topik utama di dalam novel ini—yang kemudian menjadi alasan utama pecahnya pemberontakan serta peristiwa pembantaian dalam Leak Tegal Sirah; sesuatu yang menarik dan informatif.

Berikutnya, Maria Pankratia menyampaikan hasil pembacaannya. Maria membahas isu PKI di Bali. Sebagai orang yang pernah menetap di Bali dan aktif mengikuti berbagai geliat komunitas, ia mengaku cukup sering menyaksikan kawan-kawan yang keluarganya pernah menjadi korban kekejaman di tahun 1965, terus berusaha memulihkan nama baik keluarganya yang telah hilang dan dibantai. Kisah para keluarga korban, trauma masa lalu yang didapat saksi mata pembantaian, pemutaran film dokumenter, dan kegiatan lainya adalah bagian dari adanya kesamaan rasa. Namun pihak keluarga yang menuntut keadilan dari pemerintah untuk para korban yang “dituduh” PKI yang seperti persoalan yang tidak penting dan jarang ditanggapi. Karenanya, isu mengenai PKI menjadi isu yang tidak pernah habis dibahas di Pulau Bali. Salah satunya adalah yang diangka I Putu Bawa Samar Gantang dalam Leak Tegal Sirah.

Sementara itu, tentang Leak. Maria justru baru mengetahui detilnya setelah membaca buku ini. Selama ini, ia hanya mendengarkan cerita dari teman-temannya, bagaimana rupa Leak, dan hal-hal yang sering mereka lakukan. Ia juga menyukai beberapa bagian dalam novel ini, terutama tentang hal-hal terkait tradisi dan kebudayaan orang Bali.

Lolik Apung yang mendapat giliran terakhir pada bincang buku malam itu memberikan kesan pembacaan sebagai berikut:

Secara ide, komunis itu tanpa kita sadari, dipraktikkan dalam keseharian masyarakat zaman ini. Misalnya ditemukan dalam lingkup biara yang tinggal di dalam komunitas dan mendapat penghargaan yang setara. Sementara, pengalamannya yang pernah mengikuti seminar yang membahas tentang korban PKI di Maumere yang menghadirkan penjagal atau yang bertugas untuk mengeksekusi anggota (atau yang dianggap anggota) PKI menjadi sesuatu yang menarik. “Para penjagal ini juga sebenarnya diancam bila tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan tentara kepada mereka. Sebenarnya mereka melakukannya di bawah otoritas, yang memaksa mereka untuk berbuat sesuai dengan yang diperintahkan,” papar Lolik.

Hal lainnya, menurut Lolik, adalah tentang cerita yang mengangkat hal-hal surealis dan magic di dalam novel ini yang masuk secara konkret dalam lingkungan pembaca yang notabene mempunyai hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya Leak atau suanggi yang merupakan setan khas orang-orang timur. Model seperti itu membuat pembaca lebih mudah menerimanya, karena mengangkat hal-hal yang serupa dengan yang ada dalam lingkungan kehidupan pembaca.

Malam itu, para peserta memberikan bintang tiga untuk novel I Gusti Putu Bawa Samar Gantang yang berjudul Leak Tegal Sirah ini. (*)


Baca juga:
Puisi Li-Young Lee – Rahasia yang Kami Bagi
Cerpen Raudal Tanjung Banua – Arjuna Mencari Nisan


2 thoughts on “Leak Tegal Sirah dan Hal-Hal yang Belum Selesai dari Tragedi ’65”

  1. Raudal Tanjung Banua berkata:

    Salut, forum Bincang Buku ini tampak sangat serius. Perbincangan yg disertai catatan, menunjukkan ketekunan studi, semangat kolektif; apresiatif dan punya hasrat berbagi. ??

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Terima kasih banyak.

Komentar Anda?